Versi cetak

Rabu, 04 Januari 2006 23.12

Sekelumit Catatan Kopdar #2

Terra Incognito

GKPS
gkps.or.id

Berkumpul-kumpul dalam acara semacam kopdar forum diskusi maya di internet (milis) sesungguhnya tidak termasuk kegiatan yang saya kategorikan penting bagi saya. Selain karena saya bukan termasuk orang yang pandai bicara (sehingga kerap perbincangan pun mati akibat saya tidak tahu topik pembicaraan yang menarik bagi kawan bicara yang baru saya kenal), juga karena kopdar biasanya diikuti oleh berbagai orang dengan berbagai interes sehingga pertemuan lebih cenderung menjadi obrolan ngalor-ngidul tanpa arah atau malah membentuk kelompok-kelompok bicara sendiri-sendiri.

Saya hitung-hitung, baru tiga kali saya mengikuti pertemuan semacam itu. (Tidak termasuk kopdar pribadi, tentunya :-).) Yang pertama adalah beberapa tahun yang lalu, ketika rekan-rekan dari milis gerejakatolik berjumpa di Chase Plaza untuk "menikmati" misa Jum'at Pertama yang dilayankan oleh Romo Yohanes Gani CM. Yang kedua adalah ketika memenuhi nazar pribadi untuk berjumpa dengan Pendeta Daniel Harahap dari milis hkbp di Lapo Ni Tondongta Jalan Sabang pada tanggal 10 September 2005.

Yang terakhir adalah yang dilangsungkan beberapa hari menjelang pergantian tahun, bersama rekan-rekan dari milis barita-simalungun (sebagai tempat "pengungsian" sekian warga milis gkps yang sekonyong-konyong kehilangan naungan akibat milisnya lenyap ditelan server yahoo tanpa kejelasan).

Seperti yang semula dirasakan dan dibayangkan oleh Pendeta Martin Lukito Sinaga (sebagaimana diakuinya dalam posting terakhir), saya pun tidak punya harapan khusus dari kopdar terakhir ini. Datar-datar saja. Walau sebelumnya sudah pernah saya sampaikan melalui milis agar kopdar tidak hanya menjadi forum kenal-mengenal dan ngobrol, saya sadar betul bahwa minat saya belum tentu sama dengan minat sekian kepala lainnya. Masing-masing punya agenda sendiri.

Nyaris saja saya berhasil menyelamatkan diri dari situasi sulit seperti ini. Apalagi saya punya alasan bahwa pada hari itu saya masih harus berurusan dengan klien dalam temu konsultansi yang berlangsung dari pagi sampai sore. Tetapi ultimatum Caroline melalui interlokal dari Pematang Siantar sehari sebelumnya serta SMS gencar dari Eben membuat saya tidak berkutik. Alhasil, hadirlah saya di Lapo Ni Tondongta pada tanggal 30 Desember 2005 itu sekitar jam 6 petang, terlambat satu jam dari jadwal yang ditetapkan.

Okelah. Setidak-tidaknya, inilah kesempatan untuk bertemu muka dengan Pendeta Martin yang beberapa tahun lalu —secara tidak sengaja— sempat satu kali saya berbincang-bincang dengannya. Juga bisa berjumpa dengan Ebenezer Siadari yang tulisan-tulisannya tentang pengalaman masa lalunya demikian enak dibaca (setara dengan kenikmatan saat membaca tulisan Mula Harahap tentang masa kecil maupun kesehariannya. Namun sayang sekali, orang yang terakhir ini masih belum berhasil saya jumpai secara langsung.) Saya rasa saya tidak akan terlalu merugi sepulang dari kopdar kali ini, hibur saya dalam hati :-).

Setelah berbasa-basi beberapa jenak, tibalah acara pembukaan yang memeteraikan pertemuan. Makan! Dan tentunya kita sudah tahu apa menu utama di lapo. Apa lagi selain saksang dan panggang B2? Dan tentunya tidak lupa memanjatkan doa sebelum makan :-).

Setelah urusan perut terpenuhi, masuklah kami ke dalam agenda perbincangan. Dengan demikian, kami sudah memenuhi diktum klasik primum esse, tum philosophary, manusia hanya bisa berfilosofi jika perutnya kenyang :-).

Pendeta Martin, yang sebelumnya didaulat untuk memimpin doa makan, langsung terkena fait accompli untuk menjadi moderator perbincangan. Siasat yang dilancarkan Eben (dan sebelumnya saya dukung penuh dari balik layar SMS :-) ) itu tidak dapat ditolak. Saya rasa memang tepat jika Martin yang menjadi moderator bagi sekian banyak orang yang belum mengenal dengan baik satu sama lain. Apalagi beliau sudah terbiasa menjadi anchorman bincang-bincang di radio dan forum-forum diskusi antariman yang pasti jauh lebih sulit :-).

Acara yang diawali dengan proses memperkenalkan diri ternyata bukan sekedar menyampaikan kedirian seseorang. Dengan amat trengginas, Caroline langsung mengemukakan pengalaman, perasaan, harapan, maupun keputusasaannya sehubungan dengan kondisi gereja dan masyarakat. (Dalam konteks kopdar ini, tentunya berkenaan dengan gereja GKPS dan masyarakat Simalungun.)

Semangat seorang penggiat kemasyarakatan yang menggebu-gebu dan tidak pernah surut itu —yang sudah saya lihat sejak beberapa tahun lalu saat pertamakali mengenalnya secara pribadi— ternyata langsung menulari rekan-rekan lain, sehingga semua terjangkiti kegairahan yang sama. (Ataukah semuanya memang pada dasarnya memiliki kegairahan semacam itu, saya tidak tahu.)

Begitu juga halnya dengan Lestari. Perempuan muda ini tidak kalah semangatnya saat mengemukakan pelajaran yang dapat ditariknya dari pengalaman bersama dengan gereja dan generasi muda di tempat perantauan. Studi banding semacam itu tentulah sangat bermanfaat untuk dikaji dan dipertimbangkan sebagai masukan untuk merumuskan langkah ke depan.

Singkat kata, meletup-letup adalah kata yang cocok untuk menggambarkan suasana yang terbangun saat itu. Apalagi kedua perempuan yang hadir di situ bukan sekedar menjadi "penghias" maupun "nyonya rumah" belaka, melainkan penuh dengan magma pemikiran yang siap meledak setiap saat. Sesuatu yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh Rasul Paulus saat menulis suratnya bagi jemaat di Korintus :-).

Hampir semua orang terlibat dalam diskusi. Walaupun agak simpang-siur dan kadang melebar ke sana ke mari dengan beberapa bumbu selingan, namun tetap memiliki benang merah yang jelas yakni tentang bagaimana membumikan berbagai pokok pikiran dan persoalan yang pernah [dan masih terus berulang] didiskusikan dalam forum maya milis ke dalam rencana yang realistis dan kemudian memuarakannya dalam tindakan konkret.

Gagasan dan jaringan (networking) adalah 2 hal utama yang dapat saya tengarai dari pertemuan itu, yang kesemuanya bersumber pada kepedulian masing-masing orang pada institusi gereja dan masyarakat yang mereka cintai, terlepas dari seberapa potensial kedua faktor itu untuk digalang (bisa dipindai pada kesempatan berikutnya). Sedangkan soal dana —yang tidak bisa dipungkiri telah menjadi kebutuhan penting hampir dalam setiap kegiatan— saya rasa bisa dibicarakan pada tahap selanjutnya.

Persoalan kunci yang belum sempat diselesaikan saat itu —karena jam telah menunjukkan pukul 10 malam dan para petugas lapo tampaknya sudah tidak sabar menantikan bubarnya kami— adalah memetakan semua itu ke dalam langkah-langkah taktis dan strategis yang terukur. Tapi, setidak-tidaknya, masing-masing orang sudah mengenali —walau masih belum sangat jelas— posisi berdiri setiap pihak dalam konteks utama perbincangan itu. Dan dari penuturan masing-masing orang tentang apa yang pernah dan masih dilakukannya dalam konteks tersebut, saya rasa semua pihak bisa saling melengkapi.

Saya pikir, satu pertemuan memang amat belum cukup. Namun, pertemuan kali ini rasanya sudah melampaui apa yang dapat saya perkirakan. Tinggal menantikan konsistensi masing-masing untuk menindaklanjutinya sehingga kemeriahan letupan-letupan malam itu tidak hanya tinggal sebagai angan maupun kenangan.

Bagi saya, mengikuti kopdar dengan orang-orang yang belum dikenal adalah seperti memasuki terra incognito, daerah tak dikenal yang tak terramalkan, karena saya tidak pernah tahu siapa yang akan saya temui maupun bahan perbincangan yang menarik untuk diangkat serta bagaimana kelanjutannya.

Namun demikian, —mungkin seperti yang dirasakan para awak wahana ruang angkasa USS Enterprise dalam kisah fiksi-ilmiah Star Trek— walau kita tidak pernah tahu apa yang ada di seberang sana, senantiasa ada harapan dan kegairahan yang muncul di balik kegentaran mengarungi the next frontier.

Penyeberangan dari tahun 2005 ke 2006 yang baru lalu ini adalah perbatasan pertama yang hendak dilalui. Layar sudah dikembangkan, sauh sudah ditarik, biduk pun harus dilautkan. Let's make this the point of no return.

On your mark!
Get set!
Go!

Bagian serius dari kopdar kali ini akan saya tuliskan pada kesempatan selanjutnya. Sebagaimana biasa ... kalau sempat dan tidak malas menulis :-(

— Beth: Rabu, 04 Januari 2006 23:12

0 tanggapan:

# catatan kaki