Versi cetak

Kamis, 20 Desember 2012 15.06

Sampai Tahun Depan, Hingga Seterusnya

— 19 Desember 2012

Sand Clok
Sand Clok
s-caruso.deviantart.com

Sejak tengah malam kemarin dulu, peranti telekomunikasi saya lebih sibuk bergetar dibanding hari biasa. Berbeda dengan ramalan kiamat yang kerap berganti tanggal, saya malah tidak perlu bimbang bahwa pada tanggal 19 Desember kemarin adalah hari yang sudah definitif bagi berakhirnya sesuatu.

Pada tanggal tersebut, genap sudah perjalanan tambahan selama 1 tahun dalam kehidupan saya. Sehingga, secara sah, tanpa harus mendeklarasikan diri secara sepihak maupun mempermasalahkan makna semantik dalam AD/ART, saya berhak memasuki komunitas yang dihuni secara eksklusif oleh orang-orang yang mulai menapaki usia 49 tahun. Members only. Orang dengan usia lain dilarang masuk :-)

Kepastian waktu itulah yang —tampaknya— membuat sekian kawan saya seperti berlomba menyampaikan ucapan pengingat. Saya sangat yakin bahwa mereka melakukan hal ini bukan karena khawatir saya lupa pada tanggal istimewa ini sehingga merasa perlu untuk menggugah saya, melainkan karena ingin berbagi sukacita bahwa kami semua masih bersama-sama di alam yang sama sekaligus berbagi harapan tentang kebaikan-kebaikan yang akan diperoleh di hari-hari mendatang.

Selain disampaikan secara langsung dan pribadi, beberapa ucapan selamat disampaikan melalui milis. Baru sekitar setahun ini saya aktif bersosialisasi dengan komunitas alumni Ganesha melalui milis. Melalui dunia maya ini, sekonyong-konyong saya mendapat sekian banyak kenalan baru. Walau banyak yang belum saya ketahui sosok dan wajahnya, setidaknya saya mengetahui nama, jurusan, dan angkatan mereka. Saya pikir hal yang sebaliknya juga berlaku bagi para anggota milis. Saya berharap tidak ada yang merasa mendapat lawan baru ataupun mainan baru :-)

Perkenalan di dunia maya tadi ternyata ada yang ditindaklanjuti dengan pertemuan di dunia nyata yang kerap disebut "kopdar" alias "kopi darat" (yang diambil dari istilah di dunia komunikasi rakyat melalui radio). Ada yang bersifat resmi kelembagaan dengan berbagai label organisasi kealumnian ataupun profesi, ada yang punya agenda khusus membahas sesuatu, ada yang bertujuan merayakan sesuatu, ada pula yang tanpa alasan tertentu selain bertemu dan makan bersama (kadang plus nyanyi dan tari juga :-))).

Milis menjadi sarana berkomunikasi bersama. Di tempat inilah semua anggota saling berbagi pemahaman, pengalaman, pendirian, berita, kecaman, juga lelucon. Walau ada juga beberapa kejadian dimana beberapa kawan saling mencerca dengan kata-kata yang cukup keras dan kasar, saya pikir, secara umum, milis masih merupakan tempat yang nyaman untuk berinteraksi.

Salah satu berita yang kerap membuat saya tercenung sejenak adalah yang berkenaan dengan kematian. Apalagi, tidak sedikit, yang berkabar tentang kematian rekan alumni yang usianya bahkan jauh lebih muda dibanding saya.

Bagi mereka, perjalanan dalam ruang dan waktu sudah berakhir. Tidak akan ada lagi ucapan selamat ulangtahun yang disampaikan pada mereka melalui berbagai moda komunikasi. Tidak ada lagi peranti telekomunikasi yang terus bergetar mulai tengah malam.

Saat ini, saya baru sampai di tahap mengalami kehilangan kawan milis yang belum sempat saya kenal secara langsung. Mungkin (bahkan bukan hanya mungkin, melainkan niscaya) lain kali saya akan kehilangan kawan dari milis yang sudah saya kenal secara pribadi. Atau, sebaliknya, saya yang lebih dulu menghilang.

Di sisi lain, beberapa kali pula (walau jumlahnya lebih sedikit) muncul berita sukacita kelahiran anak dari kawan alumni. Atau ucapan selamat ulangtahun pada teman alumni seperti yang saya alami kemarin.

Milis jadi seperti dunia paralel. Ada kisah kehidupan dengan berbagai dinamika dan siklus-siklus ekstrimnya. Dari kebermulaan kehidupan (yang sebenarnya harus dihitung bukan dari berita kelahiran sang anak melainkan dari hari pernikahan yang —secara umum— segera dilanjutkan dengan proses penciptaan kehidupan baru alias "malam pertama" :-) ) hingga ke penggenapan keberadaan satu individu yang ditandai dengan hembusan napas terakhir.

Pemikiran seperti itulah yang membuat saya sadar bahwa seiring dengan berakhirnya sebuah masa, pada saat itu definitif pula ketentuan bahwa saya akan memulai sebuah perjalanan baru untuk mengawali usia selanjutnya. Dan hal ini akan berlangsung terus, terus, dan terus hingga satu saat ketika masa kehidupan saya di sini harus bertukar dengan kematian (atau kehidupan di "tempat dan waktu" yang lain).

Dari sekian ucapan selamat yang saya terima, ada satu ucapan yang mungkin terdengar sebagai candaan belaka (demikian jugalah yang kemarin saya rasakan karena pengirimnya memang suka melontarkan komentar jenaka), "Met HBD bung alof.. Semoga sehat dan bahagia selalu. Tahun depan aku ucapin hbd lagi ya."

Ucapan yang disampaikan Lian Lubis BI84 melalui BlackBerry Messenger kemarin sore termasuk yang "terlambat" datang dibandingkan kawan-kawan lain yang sudah mengawali sejak tengah malam sebelumnya. Tetapi, sejak semalam hingga pagi ini, justru ucapan tersebut yang masih bergaung memenuhi kepala saya.

Ya, Allah, ini adalah sebuah ucapan yang sungguh padat janji.

Jika tahun depan Lian masih mengucapkan selamat ulangtahun pada saya, maka saya dan Lian tentunya harus masih hidup di alam yang sama. Untuk itu, haruskah kami berjanji untuk menjaga kehidupan kami sebaik-baiknya agar fisik dan pikiran masih cukup sehat untuk berkomunikasi satu sama lain?

Pada saat itu, di tahun mendatang, tentunya antara kami tetap terjalin silaturahim yang membuat kami tidak sungkan ataupun sekedar berbasa-basi saat mengucapkannya. Haruskah kami berjanji untuk memelihara tenggangrasa atas segala perbedaan yang mungkin mengecewakan, bahkan menyakitkan, agar kata-kata yang kami sampaikan tidak menjadi hambar?

Menyelinap juga pertanyaan dalam pikiran, seberapa banyak kesan baik dan berkualitas yang bisa kami rajut dalam kenangan yang patut kami kisahkan pada kawan-kawan lain maupun anak-cucu kami esok?

Juga beberapa pemikiran lain yang berloncatan di antara sekian banyak pemahaman yang mungkin lebih pas jika disodorkan berbarengan dengan konsep-konsep kebajikan yang berterima dalam ruang pemahaman yang lebih dari sekedar "saya — kamu, kami — kalian".

Ucapan pendek yang dikirimkan kemarin sore membuat saya harus berpikir keras tentang sebuah rentang masa dalam kehidupan saya yang sudah definitif berakhir, sekaligus awal dari sebuah perjalanan baru menapaki waktu hingga 1 angka selanjutnya. Ada sekian puluh hari yang terentang untuk diisi dengan makna. Terhampar sederet misteri yang kerap melahirkan kegairahan sekaligus kegentaran. Mysterium, tremendum et fascinans.

Kalaupun terlalu panjang waktu yang harus ditempuh hingga ke tahun depan, setidaknya, bolehlah kita ucapkan "sampai berjumpa esok" dengan semangat yang tidak kurang kualitasnya.

Dan kalaupun tulisan ini tidak jelas ke mana arahnya, anggaplah ini sebagai pelajaran di hari pertama untuk menerima keberadaan saya apa adanya tanpa harus menghela napas panjang :-)

Pada kesempatan ini pula, saya ucapkan terimakasih pada semua kawan atas perhatian yang diberikan secara khusus pada peringatan hari kelahiran saya kemarin. Terutama pada kawan-kawan yang justru belum pernah berjumpa dan berkenalan secara langsung di dunia nyata. Semoga esok kita bisa berjumpa secara bermuka-muka.

Selamat siang, para sahabat.
Selamat menapaki waktu demi waktu.
Selamat menuntaskan yang satu dan mengawali yang lain.
Sampai tahun depan, hingga seterusnya.

— PinAng: Kamis, 20 Desember 2012 15:06

Minggu, 20 Mei 2012 13.49

Satu Hari Minggu di Bulan Mei

— Mengenang Onyek

Kornel Mandagi Sihombing
Onyek dan Habibie
kornelsihombing.org

Di hari Kebangkitan Nasional tahun ini, kota Jakarta menyelenggarakan acara Jakarta International 10K Run yang sudah menjadi tradisi sejak tahun 2004. Pada tahun ini, dikabarkan ada sekitar 35.000 peserta lari yang akan menjajal rute Monas — MH. Thamrin — Bundaran Hotel Indonesia — Sudirman — berputar di Jembatan Semanggi — kembali ke Monas.

Pada hari ini, sekitar 60 orang alumni ITB plus simpatisan (termasuk seorang anak lelaki bernama Francesco Manuel yang usianya diperkirakan tidak lebih dari 10 tahun) membuat acara resmi kota Jakarta tersebut menjadi lebih gegap-gempita. Tanpa promosi berlebihan, sekian puluh orang tersebut menjadi aksen di antara ribuan peserta lari. Alih-alih menggunakan seragam kaus hijau pembagian Milo selaku sponsor, mereka menggunakan kaus kutung (alias you can see) berwarna putih dengan gambar Kornel Mandagi Sihombing alias Onyek di bagian depan, plus tulisan solidarity forever yang merupakan semboyan Himpunan Mahasiswa Mesin ITB. Sementara pada bagian belakang kaus mereka tertulis kata-kata

profesional | peduli | sederhana

yang merupakan 3 kata [yang dianggap] paling tepat menggambarkan citra seorang Onyek.

Agar kharisma para pelari berkaus putih ini tidak meredupkan cahaya lautan hijau manusia yang mengikuti acara Jakarta 10K Run, maka mereka pun berbagi tugas. Hotasi Nababan SI83, Heru Setiawan MS83, dan beberapa orang lain yang dirahasiakan namanya diutus untuk mengikuti acara lari 10K tersebut dengan target: jangan sampai menang, karena ini adalah operasi senyap (silent operation) yang tidak boleh ditengarai sebagai aksi yang dapat mengkooptasi agenda pemerintah.

Sebagian lain dibagi ke dalam beberapa regu yang ditugaskan untuk berjalan santai namun siaga guna mengamankan jalur Monas hingga Bundaran HI. Segelintir lainnya diposisikan sebagai pasukan penyapu dengan menggunakan sepeda.

Tanpa banyak membuang waktu, operasi pun dilangsungkan bersamaan dengan saat dibunyikannya sinyal berlari pada pukul 06.30. Dan, sesuai dugaan, semua berlangsung lancar seturut skenario. Tidak ada satu pun aparat Pemerintah yang mengendus kehadiran pasukan istimewa berkaus putih tersebut.

Namun aura mereka yang penuh kharisma ternyata tetap mengundang perhatian, sehingga beberapa Polisi Wanita (atau Wanita Polisi?) bersepatu roda pun menyempatkan diri untuk berfoto dengan mereka. (Rekan Mamo MS83 atau Ardjuna TI83 atau Bobby Maengkom MS83 sila menyampaikan foto-foto tersebut sebagai bukti otentik).

Sekitar pukul 08.15, seluruh gerombolan berkaus putih berhimpun kembali di Patung Arjuna Jalan MH. Thamrin. Setelah pasukan khusus pelari melepas lelah sejenak, maka semua anggota gerombolan kaus putih membentuk formasi khas: foto bersama. Di sini hadir pula Chandra Sihombing MS82 yang adalah abang dari Onyek. Tercatat salah satu relawan pemotret adalah Arya Sinulingga SI89 yang pada hari ini mengerahkan tim pemberita terbaiknya untuk mendokumentasi kegiatan gerombolan kaus putih.

Tuntas berfoto, semua peserta mengheningkan cipta dan berdoa bagi Onyek dipimpin oleh Hardianto Darjoto MS83. Selanjutnya seluruh anggota gerombolan melakukan parade penghormatan sambil membentangkan spanduk selamat jalan, Onyek memutari Jalan MH. Thamrin sejak Patung Arjuna hingga Jalan Kebon Sirih, dan akhirnya berbelok ke Jalan Sabang 16, menuju Restoran Sere Manis yang menjadi titik akhir operasi.

Di sini, gerombolan kaus putih langsung dielu-elukan oleh tim penyambutan yang dikomandani oleh Basar Simanjuntak SI83 dan Edward Sihombing PL85 yang tampak asyik ngopi-ngopi sambil merokok. Setelah saling bersilaturahmi sejenak, semua anggota gerombolan langsung menuju lantai 2 yang sudah disterilkan. Hanya ada 1 orang yang tampaknya agak ignorant sehingga masih saja asyik makan cemilan di situ. Untunglah dia segera sadar untuk angkat kaki sebelum tim perusak mengangkat kursi plus meja dan cemilannya ke luar ruangan.

Minuman dan makanan ringan segera dilayankan dengan sigap oleh para petugas restoran bagi para anggota gerombolan yang tampak sekali gairah haus dan laparnya.

Tanpa harus dipandu oleh protokol, acara berbagi kenangan tentang Onyek pun mengalir lancar. Diawali oleh Hotasi Nababan, dilanjutkan oleh Chandra Sihombing, Hardianto Darjoto, Edward Sihombing, Ridwan Djamaludin GL82, Sahat Gunawan Sitorus IF83, Arya Sinulingga, Gembong Primadjaja MS86, Illon BI84, Dwi Larso TI84. (Mudah-mudahan semua sudah saya sebutkan namanya walau urutannya tidak sesuai sekuens faktual.)

Para sahabat Onyek menyampaikan beberapa hal yang mungkin tidak diketahui oleh banyak orang. Misalnya tentang kiprah Onyek saat masih mahasiswa yang bersedia mengutus dirinya sendiri menjadi juru damai jika himpunan mahasiswa Mesin sedang bertikai dengan Geologi. (Saya ingat satu saat Onyek pernah menggunakan jaket kuning Gea ke Mesin sehingga kawan-kawan secara bergurau mempertanyakan, "Nyek, loe tuh anggota HMM atau Gea sih? Yang jelas dong!")

Begitu pun keteguhan Onyek untuk bertahan di PT Dirgantara Indonesia (PTDI) ketika tidak sedikit koleganya yang memutuskan keluar dari PTDI dan bekerja di perusahaan lain termasuk industri dirgantara milik negara lain. Tawaran posisi dari produsen pesawat terbang kelas dunia ditampiknya dengan tegas karena Onyek memilih untuk setia mengusung Merah-Putih dan Garuda Pancasila dalam segenap karya-baktinya.

Tidak banyak orang yang tahu bahwa Onyek yang mengemban posisi bergengsi sebagai Kepala Divisi Integrasi Bisnis pada Direktorat Aerostructure PTDI adalah seorang yang ulet mempertahankan hidup PTDI melalui negosiasi-negosiasi bisnis dengan berbagai industri dirgantara kelas dunia agar PTDI dapat sintas (survive). Tidaklah mengherankan jika beberapa kalangan menjulukinya sebagai negosiator ulung. Dan, tampaknya, tidak berlebihan pula jika ada orang yang mengatakan bahwa Onyek adalah penyelamat PTDI dan industri dirgantara Indonesia pada umumnya.

Tak ketinggalan pula kisah tentang komitmen Onyek bagi lingkungannya, khususnya bagi gereja, generasi muda, dan komunitas lintas agama.

Fakta lain yang membuat trenyuh adalah kesederhanaan hidup Onyek. Tanpa bermaksud mendramatisasi kenyataan, saya mengutip komentar pendek Bobby, "Bahkan hidup seorang pramugari pun lebih mewah dibanding Onyek". Sila dimaknai sendiri...

Genap sudah semboyan profesional | peduli | sederhana mengejawantah dalam diri seorang Kornel M. Sihombing. Dia adalah contoh par excellence seorang manusia yang punya kejelasan visi dan misi, serta kegairahan (passion) penuh daya dalam mensublimasikan dirinya menjadi tindakan.

Itulah sosok Onyek dalam berbagai potongan puzzle yang dituturkan secara ringkas oleh para sahabat Onyek dari berbagai jurusan dan angkatan. Dalam hati saya hanya bisa bergumam, "Betapa besar makna hidupmu bagi banyak orang, kawan. Saya kehilangan dirimu. Kami kehilangan engkau."

Sekitar jam 12, satu demi satu anggota gerombolan kaus putih meninggalkan lokasi untuk meneruskan hidup masing-masing.

Onyek sudah pergi namun jejaknya dalam hidup kita mungkin masih lama akan terukir karena dia sudah menyentuh relung terdalam hidup kita dengan kesungguhan dan totalitas dirinya.

Selamat jalan, Onyek. Semoga kau tadi tersenyum tatkala kami, kawan-kawanmu dari Jurusan Mesin, mengumandangkan seruan kebanggaan kita di bawah komando Gembong, Ketua Ikatan Alumni Mesin ITB kita:

Yell, boys! Yeah!
Yell, boys! Yeah!
Yell, boys! Yeah!

Union, union, machine strong!
Union, union, machine strong!
Union, union, machine strong!

Solidarity forever
Solidarity forever
Solidarity forever
For union machine strong!

Yell, boys! Yeah!

— orat-oret di saat ngopi sendiri @ Pacific Place: Minggu, 20 Mei 2012 13:49

# catatan kaki