Versi cetak

Senin, 31 Maret 2003 01.27

Politik dan Kekristenan

Jesus Christ Superstar
Jesus Christ Superstar
mtow.org

Beberapa minggu tidak aktif membuka email, ternyata diskusi yang berlangsung di forum diskusi gkps sudah demikian berkembang ke topik yang muncul lebih awal dari dugaan saya. Tentu saja hal ini merupakan sebuah perkembangan yang sangat menarik, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan pemulihan (revitalisasi?) gereja yang rupanya juga mendapat tempat dalam sisi keprihatinan beberapa anggota forum ini.

1. Polarisasi Sikap

Secara garis besar, apa yang dikemukakan oleh Caroline tentang terpolarisasinya sikap orang Kristen mengenai politik ke dalam 2 kubu adalah suatu fakta umum. Hal ini pun terjadi dalam semua segmen masyarakat, tanpa memandang atribut-atribut sosio-kultural maupun psiko-spiritualnya.

Ada —jika tidak dapat dikatakan sebagian besar— orang Kristen yang berpendapat bahwa politik adalah kotor sehingga tidak pantas diterjuni. Tentu saja hal ini akan berdampak pada penolakan terhadap keberadaan partai-partai politik yang membawa-bawa nama Kristen maupun anggota jemaat atau pendeta yang berpartisipasi dalam partai politik atau terlibat dalam aktivitas politik. Pada gilirannya, sikap ini menimbulkan penolakan terhadap institusi gereja yang berpolitik.

Sementara itu, ada [sebagian kecil?] orang Kristen lain yang berpendapat bahwa politik adalah sarana yang sah dan legal untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka sehingga partisipasinya dalam bidang politik tidaklah bertentangan dengan ajaran Kristen. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang justru beranggapan bahwa berpolitik adalah salah satu kewajibannya sebagai pengikut Kristus.

Ada 2 ekstrim yang harus kita hadapi sebagai kenyataan. Namun, sebagai seorang yang menghargai perbedaan pendapat, saya tidak akan menyatakan pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah. Hak saya hanyalah memilih mana yang sesuai dengan penghayatan spiritualitas saya serta menyuarakan pendapat saya dalam koridor hak asasi manusia.

2. Pengertian

Sebelum memberikan penilaian pribadi terhadap alternatif yang tersedia, ada baiknya jika kita kembalikan pokok-pokok persoalannya ke dasarnya (back to basic) untuk memperoleh pemahaman yang lebih jernih. Dalam hal ini, ada 2 pokok landasan yang benar-benar harus dimengerti, yakni politik dan kekristenan.

2.1 Politik

Istilah politik berasal dari bahasa Yunani politikos, turunan dari kata polites yang berarti rakyat atau warga negara (citizen). Dalam perkembangan selanjutnya, kata politik memberikan makna tentang seni atau pengetahuan tentang penyelenggaraan pemerintahan/ketatanegaraan (art or science of government) berikut seluruh tindakan, praktik, dan kebijakannya. Termasuk juga ke dalamnya adalah upaya untuk mengarahkan atau mempengaruhi kebijakan pemerintahan (guiding or influencing governmental policy).

Gustavo Gutierrez, seorang teolog Teologi Pembebasan Amerika Latin, membedakan politik dalam 2 arti, yaitu:

  1. Politik sebagai tindakan kemasyarakatan.
    Yang dimaksud adalah tindakan seseorang dalam relasi dengan orang lain demi perwujudan tanggung jawab historisnya sebagai manusia yang bebas dan bertanggungjawab.

  2. Politik sebagai suatu orientasi kekuasaan.
    Berbagai bentuk artikulasi politik sebagai orientasi kekuasaan bertolak dari aspirasi dasar manusia yang ingin mengisi kehidupannya dan menjadi penanggungjawab nasibnya sendiri. Dengan kata lain, arti politik yang kedua terkandung dalam arti pertama.

Dengan demikian, sekompleks apapun perkembangannya, politik selalu berkenaan dan tidak bisa lepas dari persoalan kemasyarakatan (baca: kemanusiaan dan hubungan sosialnya). Politik adalah bagian dari dinamika sosial dan merupakan dimensi yang meresapi seluruh kehidupan manusia. Politik adalah determinasi universal dan medan kolektif untuk pemenuhan dan perwujudan diri manusia. Inilah prinsip dasar yang harus dipahami.

2.2 Kekristenan

Membicarakan kekristenan sudah barang tentu tidak bisa lepas dari teladan dan ajaran Yesus semasa keberadaan-Nya secara fisik di dunia sekitar 2000 tahun yang lampau. Namun, singkatnya catatan tentang pengajaran Yesus mengakibatkan terbatasnya petunjuk definitif tentang bagaimana seharusnya seorang Kristen (pengikut ajaran Kristus) bersikap terhadap dinamika dunia secara aktual dan kontekstual. (Sementara agama Islam memiliki banyak risalah tentang sunnah dan sirah Muhammad sehingga memiliki rujukan perilaku dan sikap dalam berbagai spektrum kehidupan.)

Akibat keterbatasan rujukan ini, orang Kristen sangat tergantung pada interpretasi/tafsir yang dibangun oleh para teolog semenjak Paulus. Tentu saja hal ini membuka peluang terhadap perbedaan pendapat maupun "koreksi" atas tafsir sebelumnya. Yang lebih riskan, tafsir teologis atas ajaran Yesus dibangun di atas tafsir yang diberikan oleh Paulus dan rasul-rasul lain dalam surat-surat pastoralnya. Artinya, kita berdiri di atas tafsir berlapis tafsir.

Namun demikian, hal itu tidak menjadi kendala bagi kita dalam merumuskan sikap dalam berbagai persoalan, sepanjang kita dapat menemukan acuan pembenar (justifikasi) dari Injil. Malah, keleluasaan yang kita peroleh selayaknya dapat menjadi modal dasar yang sangat berharga dalam mengembangkan ciri-ciri khas kristiani yang peka terhadap dinamika kehidupan.

3. Dikotomi Transenden dan Profan

Yang kini menjadi pokok persoalan kita adalah menjawab pertanyaan: "Apakah pengajaran Yesus menyentuh bidang politik? Bagaimanakah sikap politik Yesus?".

Tentu saja kita akan serta-merta menjawab bahwa Yesus tidak berpolitik jika kita memiliki anggapan bahwa politik tidak lebih dari sekedar orientasi kekuasaan yang membicarakan persoalan-persoalan setingkat negara (sebagaimana diyakini oleh sebagian besar manusia berdasarkan kenyataan yang dilihatnya dari perilaku sebagian orang yang diberi gelar "politisi"). Padahal politik tidak hanya membicarakan persoalan makro sekelas negara, melainkan meresap hingga ke tatanan sosial terbawah masyarakat.

Sebagai gambaran nyata, keikutsertaan kita dalam pemilihan umum (pemilu) adalah sebuah sikap politis. Dan itu bukan hanya sekedar sikap politis dalam makna pasif. (Bahkan, ada paradoks yang mengatakan bahwa keputusan untuk tidak memilih dan bersikap a-politis adalah sebuah keputusan politik juga!)

Keikutsertaan dalam pemilu tidak dapat dilepaskan dari nuansa keberpihakan terhadap calon penguasa yang diharapkan dapat memberikan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik daripada yang ada saat itu. Kita melakukan penilaian dan pemilihan terhadap program-program masa depan yang dijanjikan berbagai partai politik pada masa kampanye.

Apa hubungan semua itu dengan Yesus dan kekristenan?

Banyak orang yang menafsirkan bahwa ucapan Yesus yang tercantum dalam Matius 22:21 adalah sebuah petunjuk  jelas tentang sikap politik Yesus. Reddite Caesaris caesari, dei Deo. Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.

Lebih lanjut dikatakan bahwa kehidupan spiritual harus dipisahkan dari kehidupan profan (duniawi). Dengan demikian, terdapat dikotomi dan dualisme kehidupan orang Kristen: yang tampak nyata dan yang tidak tampak nyata. Hal ini mengingatkan kita pada kisah "Dr. Jekyll & Mr. Hyde" yang berkepribadian ganda.

4. Dunia Ini Penting

Benarkah Tuhan menginginkan orang Kristen memisahkan kedua kehidupan tersebut secara dikotomis?

Pertanyaan itu dapat dijawab dengan mudah bahwa Tuhan tidak bermaksud demikian. Dan itu dibuktikan dengan peristiwa inkarnasi Tuhan sendiri dalam diri Yesus.

Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.
— Yohanes 1:14

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.
— Yohanes 3:16-17

Dari ayat-ayat di atas terlihat jelas bahwa dunia ini demikian penting sehingga Tuhan sampai memandang perlu untuk "mendunia", menjadi daging, demi menyelamatkan dunia dan manusia dari cengkeraman hukum Taurat yang mematikan (bdk. 2Korintus 3:6).

5. Dunia Sebagai Ajang Dialektika dan Praksis Kristen

Pernyataan Yesus dalam Matius 22:21 harus dimaknai sebagai kewajiban ganda orang Kristen secara pribadi sejalan dengan 2 dimensi kehidupannya. Kedua dimensi ini bukan berarti pembedaan dan pemisahan (dikotomi) melainkan keterpaduan dan keselarasan (harmoni) kodrat sebagaimana telah ditunjukkan oleh Yesus: 1 pribadi dengan 2 kodrat, yakni ilahi dan manusiawi. (Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini dapat dilihat dari sejarah konflik dan perumusan syahadat iman.) Demikian pula halnya selayaknya seorang Kristen, menuju kepenuhan dimensi transenden yang ilahi serta dimensi profan yang duniawi/manusiawi.

Sudah bukan saatnya kita mempertanyakan manakah yang lebih dahulu atau lebih utama, karena keduanya harus menjadi siklus penuh yang kian menyempurnakan satu sama lain. Dari penghayatan dimensi spiritual (teologis) kita memasuki dimensi material (antropologis), kemudian kembali ke dimensi spiritual untuk memperbaharui pemahaman setelah memperoleh pengayaan pengalaman. Itulah yang dinamakan dialektika kekristenan. Itulah yang dinamakan praksis kekristenan.

6. Amanat Duniawi

Berulangkali pula kita diingatkan pada kewajiban seorang Kristen untuk menjadi garam dunia dan terang dunia. Apa maknanya dalam konteks pembicaraan kita saat ini?

Perlu diperhatikan di sini bahwa Yesus melekatkan kata dunia pada garam dan terang. Sudah barang tentu Yesus tidak serampangan memilih kata tanpa makna hanya demi memaniskan peribahasa. Sangatlah mubazir bagi seorang radikal dan revolusioner semacam Yesus untuk merangkai kata-kata mutiara bersayap. Apalagi Dia berulangkali menggunakan kata "dunia" dalam berbagai pengajarannya.

Semenjak kejatuhan Adam ke dalam dosa, citra Allah yang diinkarnasikan dalam Kejadian 1:26 menjadi rusak, sehingga manusia terasing (teralienasi) dari Tuhan dan menjadi bagian dari dunia ini (bdk. Yohanes 8:23). Dan inkarnasi Tuhan dalam rupa Yesus adalah suatu proses pembenaran baru sehingga manusia dapat kembali ke kodrat awalnya sebagai citra Allah (bdk. Yohanes 15:19).

Bukan dunia ini yang dibenci Tuhan, melainkan dunia yang dikreasikan oleh manusia seturut hasrat duniawi. Dunia yang dikasihi Tuhan ini (bdk. Yohanes 3:16) telah dirusak oleh keserakahan dan kebebalan manusia. Namun Tuhan tidak akan memusnahkannya untuk kedua kali sejak Dia mengadakan perjanjian dengan Nuh (bdk. Kejadian 9:11).

Di lain pihak, berulangkali disebutkan dalam Alkitab bahwa Kerajaan Allah akan datang dan sudah dekat (bdk. Matius 4:17). Datang kemana? Apakah datang ke dunia ini? Bagaimana mungkin Kerajaan Allah yang kudus itu datang ke dunia yang demikian rusak? Bukankah kekudusan (terang) tidak mungkin bersatu dengan kedurhakaan (gelap) (bdk. 2Korintus 6:14)?

Tidak ada pilihan lain bagi dunia ini selain dimurnikan dan dikuduskan. Dan dalam hal ini, menjadi kewajiban orang Kristen selaku pengikut Kristus untuk memperbaiki dunia ini, menjadikannya siap menyongsong bumi dan langit yang baru (bdk. Wahyu 21:1), sehingga layak menjadi tempat bertahtanya Kerajaan Allah.

Dalam konteks inilah kita memperoleh pemaknaan atas tugas menjadi garam dunia dan terang dunia.

Garam memiliki fungsi memberi rasa asin kepada materi lain di sekitarnya. Rasa asin itu akan diresap sehingga memberikan kelezatan maupun fungsi pengawetan. Dengan demikian, setiap orang Kristen memiliki kewajiban untuk "mengasinkan" lingkungan sekitarnya, yakni memberi pengaruh (influencing) pada perikehidupan sosial guna mencapai kondisi masyarakat yang sejahtera secara berkesinambungan (sustainable), merata, dan kekal (eternal).

Sedangkan terang bermakna memberikan kejelasan yang tidak ditabiri kepalsuan. Menjadi titik cahaya di ujung terowongan ketidakpastian atau ketidaktahuan. Dengan demikian, adalah kewajiban bagi setiap orang Kristen untuk menjadi tanda bahwa harapan akan kebaikan tidak pernah musnah serta memberikan petunjuk (guiding) bagaimana harapan itu dapat dicapai.

Harus diakui bahwa 2 peran tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah. Masyarakat (dunia, pemerintah) tidak akan segan-segan memusuhi kita karena suara kebenaran yang kita kemukakan (bdk. Yohanes 15:18-19). Oleh sebab itu, diperlukan berbagai persiapan dan perlengkapan.

Keberanian saja tidak cukup, karena hanya akan melahirkan martir-martir konyol. Maka, diperlukan juga kepekaan terhadap dinamika masyarakat dan kemauan untuk terus-menerus mendialektikakan dimensi profan dengan dimensi transenden agar kita senantiasa memiliki cara-cara yang elegan dalam bersaksi sebagai garam dunia dan terang dunia (bdk. 1Petrus 3:15).

Dan di atas semua itu, diperlukan ketulusan tanpa pamrih pribadi yang didasarkan pada kebenaran, keadilan, dan kasih (bdk. Efesus 6:14-15, 1Tesalonika 5:8), sehingga risiko kematian pun tidak menjadi kendala dan ancaman yang menakutkan melainkan keuntungan (bdk. Filipi 1:21).

7. Lalu Apa?

Anda mungkin akan mengulangi pertanyaan dasar yang menjadi alasan mengapa kita sampai merasa perlu untuk mengusungnya ke dalam diskusi ini: Apakah pengajaran Yesus menyentuh bidang politik? Bagaimanakah sikap politik Yesus?.

Berhubung tulisan  ini sudah cukup panjang, saya akhiri sampai di sini dulu agar tidak membosankan. Lagipula, hanya akan menjadi suatu kesia-siaan saja jika saya membuang-buang waktu untuk menuliskan posting yang tidak menarik untuk dibaca dan dibahas. Siapa tahu kita sendiri tidak terlalu serius untuk mengkajinya.

Namun demikian, saya tetap berharap agar potongan-potongan pemikiran yang tertuang dalam posting ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi kita semua.

— Senin, 31 Maret 2003 01:27

# catatan kaki