Versi cetak

Rabu, 30 April 2003 01.41

Karunia Keselamatan #1

— Antara Iman dan Perbuatan #1

Faith Hope Charity Love
Faith Hope Charity Love
catholicshopper.com

1. Karunia Keselamatan

Martin Luther menurunkan doktrin bahwa keselamatan adalah semata-mata kasih karunia Allah secara cuma-cuma. Sola gratia.

Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.
— Roma 3:23-24

Tidak ada persoalan dengan pernyataan tersebut. Bahkan sangat masuk akal. Berdasarkan konsep awal bahwa keselamatan kekal (sorga) adalah rumah Tuhan, maka sangat masuk akal jika Tuhan sebagai tuan rumah memiliki hak penuh untuk memilih orang-orang yang layak hadir di rumahNya.

Jika kita menggunakan doktrin predestinasi TULIP dari John Calvin yang menyatakan bahwa Tuhan sudah menentukan siapa manusia yang akan selamat (masuk surga) bahkan sebelum dunia ini diciptakan, maka diskusi kita berakhir sampai di sini.

TULIP adalah doktrin mengenai takdir yang disosialisasikan oleh sekelompok pengikut aliran calvinisme, yang merupakan singkatan dari:

  • [T]otal depravity = kerusakan total
  • [U]nconditional election = pemilihan tak bersyarat
  • [L]imited atonement = penebusan terbatas
  • [I]rresistible grace = anugerah yang tidak dapat ditolak
  • [P]erseverance of the saints = ketekunan orang-orang kudus

Dengan takdir keselamatan yang tidak terbatalkan itu, tidak ada gunanya membicarakan tujuan penyelamatan yang dilakukan oleh Kristus melalui kematian dan kebangkitanNya. Bahkan sama sekali tidak ada gunanya membicarakan kekristenan dan segala aspek-aspeknya.

2. Iman yang Menyelamatkan

Luther pun mengintroduksikan doktrin yang menyatakan bahwa hanya iman sajalah yang dapat menyelamatkan, sedangkan perbuatan tidak menyelamatkan. Sola fide.

Jika demikian, apakah dasarnya untuk bermegah? Tidak ada! Berdasarkan apa? Berdasarkan perbuatan? Tidak, melainkan berdasarkan iman! Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat.
— Roma 3:27-28

Penekanan pada iman sebagai satu-satunya sumber keselamatan mengakibatkan kita kerap lupa bahwa kita hidup di dunia dengan berbagai dinamika kehidupan sosialnya. Dunia menjadi tidak penting, bahkan seringkali dianggap sebagai sumber dosa. Kita mengalienasi diri dari kehidupan nyata.

Kita beranggapan bahwa iman adalah sesuatu yang sudah final dan independen sehingga tidak memerlukan dukungan apa-apa lagi. Padahal, Yesus mengatakan bahwa dengan iman sebesar biji sesawi saja kita sudah bisa memindahkan gunung (bdk. Matius 17:20).

Siapakah orang yang pernah memindahkan gunung hanya dengan menggunakan iman dan percayanya? Hanya legenda Sangkuriang saja yang kita tahu.

Maka, timbul pertanyaan dalam diri kita: "Iman macam apakah yang sesungguhnya dapat menyelamatkan? Apakah ritual dan segala aktivitas bernuansa keimanan yang kita lakukan sudah mampu menjadi jaminan?"

Surat Yakobus [yang tidak disukai oleh Luther] menyatakan:

Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? [...] Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong? [...] Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna. [...] Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman. Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.
— Yakobus 2:14, 20, 22, 24, 26

Oleh sebab itu, sangatlah tidak bijaksana jika kita mengutamakan bagian yang satu dan mengabaikan bagian yang lain dari Alkitab, seperti dikatakan oleh Paulus tentang banyak anggota dalam satu tubuh yang tidak bisa saling mengabaikan (1Korintus 12:14-21). Kita perlu mencari benang merah dari berbagai ayat yang "kelihatannya" saling bertentangan.

3. Amandemen Hukum Taurat

Ketika membaca Roma 3:27-28, kita sering berhenti pada pernyataan bahwa perbuatan tidak akan menyelamatkan. Keterbatasan eksplorasi konsep keselamatan yang berbasiskan iman semata kerap menjadikan kita terpaku pada upaya-upaya mempertahankan iman melalui kegiatan pemahaman Alkitab, pendalaman iman, kebangunan rohani, persekutuan doa, praise & worship, dan berbagai aktivitas yang kental dengan nuansa ritual religius.

Aktivitas-aktivitas lain yang tidak secara langsung berhubungan dengan kekristenan menjadi sekunder dan bersifat voluntarisme belaka. Tritugas gereja —marturia, kononia, diakonia— lebih banyak ditujukan secara terbatas pada sesama Kristen atau "calon" Kristen.

Yang terpenting adalah iman kita kepada Kristus dan kekristenan. Titik habis.

Timbullah keraguan dalam diri kita, apakah Paulus berbeda pemahaman dengan Yakobus dalam soal keselamatan?

Jika kita mengamati secara cermat, maka Roma 3:27-28 jelas-jelas menerakan bahwa manusia tidak akan selamat hanya karena melakukan Hukum Taurat! Inilah bagian yang sering [sengaja?] kita lupakan.

Hukum Taurat adalah petunjuk tindakan pasif yang menekankan pada keharusan dan larangan. (Ingat konsep totem & taboo pada agama-agama primitif yang sudah saya singgung dalam artikel Keselamatan Bagi Umat Manusia #1: Menggagas Demitologisasi Eksklusivitas Keselamatan.)

Sebelum persoalan menjadi semakin pelik ketika pernyataan Paulus itu kita konfrontasikan dengan pernyataan Yesus tentang keabsahan hukum Taurat hingga ke titik terkecilnya sehingga tidak bisa dibuang dan dinyatakan tidak berlaku (bdk. Lukas 16:17), kita baca dahulu pernyataan Yesus:

Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.
— Matius 5:17-18

Jadi, Yesus datang untuk menggenapinya. Hal ini pun ditegaskan oleh Paulus dalam Roma 10:4. Perjanjian antara Tuhan dan manusia yang dimeteraikan dalam Hukum Taurat telah dipenuhi oleh Yesus sehingga manusia dibebaskan dari kepasifannya dan berubah menjadi proaktif.

Dan kemudian Yesus mengartikulasikan esensi Hukum Taurat ke dalam 2 pokok Hukum Kasih yang dinamis dengan perspektif yang jauh lebih luas:

Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."
— Matius 22:37-40

Dengan demikian, kita perlu memahami bahwa perbuatan yang tidak menyelamatkan adalah perbuatan yang hanya dilandaskan pada keharusan dan larangan yang tertera dalam Hukum Taurat, karena kita sudah memiliki hukum baru yang lebih sempurna, sebagaimana amandemen yang menyempurnakan konstitusi.

Maka, sangat tepatlah Yakobus ketika menyatakan bahwa perbuatan akan menyempurnakan iman.

4. Perbuatan yang Menyempurnakan

Lantas, perbuatan macam apakah yang dapat menyelamatkan dan menyempurnakan iman kita dalam Kristus?

Yesus menyatakan bahwa "segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku, segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku" dengan memberikan contoh orang yang lapar, haus, memerlukan tumpangan, sakit, dipenjara (bdk. Matius 25:40, 45).

Sayangnya, kita kerap membatasi pelayanan kemanusiaan kita terhadap contoh yang diberikan oleh Yesus di atas. Kita menyumbangkan makanan, pakaian, melawat orang sakit dan narapidana. Padahal problematika kemanusiaan tidaklah sebatas itu saja.

Dan Paulus menjelaskan dalam surat-surat pastoralnya:

Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat.
— Roma 13:10

"Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.
— 1 Korintus 13:2,13

Dengan demikian, genap pulalah nas yang menyatakan bahwa keselamatan itu adalah sebuah proses kemitraan Tuhan dengan manusia yang membutuhkan perjuangan:

Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.
— Filipi 2:12-13

— Rabu, 30 April 2003 01:41

From: Riris Siahaan
To: hkbp@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, 29 April 2003 09:45
Subject: RE: [hkbp] Keselamatan Bagi Umat Manusia: Menggagas Demitologisasi Eksklusivitas Keselamatan

Dalam Ef 2:8-10, jelas dikatakan bahwa manusia tdk dpt menyelamatkan diri dg segala daya upaya sendiri atau dg berbuat baik.

Ay.8 : Sebab krn kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tt pemberian Allah
Ay.9 : itu bukan hasil pekerjaanmu: jgn ada orang yg memegahkan diri.
Ay.10 : Krn kita ini buatan Allah, diciptakan dlm Kristus Yesus utk melakukan perbuatan baik, yg dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, spy kita hdp di dlmnya.

Mengenai tafsiran perumpaan Tuhan Yesus ttg "Orang Samaria yg Murah Hati" Luk 10:25-37, saya punya pandangan yg berbeda.

Coba lihat ay.29 "Dan siapakah sesamaku manusia?"
Kalimat ini hendaklah jgn diartikan scr pasif, ttp dipahami scr aktif. Sehingga menjadi "Apakah saya sdh membawakan diri saya kepada sesama manusia?"
Dg kata lain, Yesus tdk memberi keterangan ttg siapa yg hrs ditolong oleh seseorang, sb gagalnya org memenuhi perintah itu bukanlah timbul dr tdk adanya keterangan, tp dr tdk adanya cinta kasih (lihat jawaban ahli Taurat ktk ditanya Yesus (ay.27).

Yesus mau menegaskan kpd ahli Taurat yg sdg men-tes Yesus bahwa: " Kamu gak butuh pengetahuan baru (krn pd dasarnya sdh tahu) tp yg kamu butuhkan adalah hati yg baru. Kalau mau bicara 'saklek' sih, yg kamu butuhkan itu adalah pertobatan."

Itu inti tafsiran dr perikop di atas (baca Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius-Wahyu:Yayasan Komunikasi Bina Kasi/OMF.hal 219)

Sebagaimana Ito sdh share ttg keyakinan iman Ito, biarlah saya jg share utk apa yg saya pahami (dan tidak).

Menurut pikiran saya, seberapa beramalnya seseorang, seberapa baiknya, solehnya, dermawannya, tdk mungkin dia tdk pernah berbuat dosa (saya meyakini bahwa even M.Gandhi pun pasti pernah berbuat dosa). Karena di surga tdk ada timbangan/neraca kebaikan dan dosa, maka sekecil apapun dosa adalah tetap dosa. Dosa dan kebaikan tdk bisa di net-off (spt debit credit di akuntansi)

Atas dosa2 manusia, Tuhan telah menyatakan keadilanNya. KeadilanNya yg terbesar, nyata di atas kayu salib. Yang besar menggantikan yg tdk benar, spy kita dpt dibenarkan di dlm Kristus (Rom 3:21-26, II Kor:18-21).

Salam,
---(ri)2s.

Selasa, 29 April 2003 04.36

Pembaptisan Dunia

— Antara Kristenisasi, Kristiani, dan Kristianisasi

Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.
— Matius 28:19-20

Hands Holding World
Hands Holding World
whillschurch.org

Amanat Yesus dalam ayat-ayat di atas dapat dengan mudah dimaknai sebagai perintah mengkristenkan (kristenisasi) semua orang. Pengertian semacam ini tidak bisa dihindari apabila kita menganut presuposisi yang menyatakan bahwa menjadi murid/pengikut Yesus sama artinya dengan beragama Kristen.

Di lain pihak, kristenisasi adalah salah satu kata yang sangat mencemaskan penganut agama lain, sebagaimana orang Kristen takut pada islamisasi. Yang menjadi pokok persoalan dari terminologi itu bukanlah apakah kekristenan itu manusiawi atau tidak, melainkan citranya yang cenderung bernuansa pemaksaan sebagaimana yang terbawa dalam pengalaman sejarah.

1. Trauma Sejarah

Umat Islam belum bisa melupakan Perang Salib yang berlangsung selama puluhan tahun dalam beberapa babak perang besar. Dunia mencatat proselitisasi dan inkwisisi yang menghabisi atau mengusir orang non-Kristen, yang terutama sangat dahsyat berlangsung di Spanyol. Orang masih ingat gencarnya kolonialisasi dunia oleh bangsa-bangsa Eropa yang bersemboyankan Gold — Glory — Gospel. Dan kemudian, tidak sedikit yang beranggapan bahwa kapitalisme pun dilahirkan oleh kekristenan, terutama ajaran Calvinis.

Belakangan ini, dampak kebencian global terhadap dominasi Amerika Serikat tidak jarang diungkapkan melalui perusakan gereja dan penindasan terhadap umat Kristen. Banyak orang yang secara salah kaprah menganggap Amerika sebagai representasi kekristenan. Kebencian ini kian menguat pada masa pemerintahan Presiden George Walker Bush Jr. yang melancarkan kebijakan preemptive terhadap Afghanistan dan Irak dengan dukungan kalangan Kristen fundamentalis Amerika Serikat. Apalagi Bush secara gegabah pernah menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan crusade yang mengingatkan pada Perang Salib.

Tidak usah jauh-jauh ke seberang lautan, mari kita tengok apa yang terjadi di Indonesia. Walau Kristen aliran Nestorian diduga sudah lebih dahulu masuk ke Sumatera Timur (Barus?) secara damai (sekitar abad 7 ZB?), agama Kristen baru hadir secara mantap di Indonesia pada masa penjajahan dengan cara membonceng para kolonialis. Portugis membawa Katolik, dilanjutkan oleh Belanda yang membawa Protestan. (Setelah Portugis hengkang dari Indonesia, umat Katolik di berbagai daerah pendudukan Belanda pun dipaksa menjadi Protestan!)

Sejarah penyebaran agama Kristen —khususnya Protestan— di Indonesia yang didominasi para penginjil (zendeling) Jerman mencatat peranan kuat penguasa kolonial dalam bentuk dukungan keuangan dan kekuasaan (senjata, kebijakan publik, dan administrasi), sehingga dapat dikatakan bahwa penguasa koloniallah yang membantu perkembangan agama Kristen di Indonesia.

Keseluruhan "penderitaan" tersebut di atas masih membekas maupun membelenggu hingga hari ini. Dan, celakanya, kesemuanya membawa-bawa nama Kristen walau secara tidak langsung.

Dari perjalanan sejarah yang keras itu, amatlah wajar jika orang menjadi trauma pada kristenisasi. Dan amat wajar pula jika mereka lantas memilih agama lain —khususnya Islam— sebagai simbol perlawanan terhadap penguasa kolonial yang diasosiasikan dengan agama Kristen. Contohnya adalah seperti yang tergambar dalam film "Cut Nyak Dien", dimana rakyat Aceh menyebut penjajah Belanda sebagai kapeh alias kafir alias non-Islam.

2. Amanat Pembaptisan

Baptisan dalam nama Bapa — Anak — Roh Kudus hampir selalu dikaitkan dengan masuknya seseorang ke dalam komunitas Kristen alias menjadi pemeluk agama Kristen. Padahal tidak ada rujukan yang secara eksplisit menyatakan bahwa Yesus pernah membaptis orang. Para rasul dan murid-Nyalah yang melakukan pembaptisan (bdk. Yohanes 4:2) dengan mengadopsi ritual pertobatan yang diperkenalkan Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan.

Tiada janji yang diberikan oleh Yesus selain keselamatan kekal dalam Kerajaan Allah dan berjumpa dengan Bapa. Berkenaan dengan pembaptisan, Yesus menekankan hanya orang yang dilahirkan dari air dan Roh sajalah yang dapat melihat/masuk ke Kerajaan Allah.

Jawab Yesus: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah
— Yohanes 3:5

2.1 Air

Kalaupun ada, saya rasa, tidak banyak penafsiran tentang dilahirkan dari air. Salah satu, jika bukan satu-satunya, yang dominan adalah ritual pembaptisan yang lazim dilakukan oleh kebanyakan gereja arusutama (mainstream) Kristen, entah dengan cara percik ataupun selam.

Dalam tulisan ini saya bermaksud mengajukan sisi pandang lain yang dirujukkan pada kisah penciptaan.

Semua manusia dilahirkan dari dalam air, yakni air ketuban ibunya (thanks to my mother!). Air ketuban menjadi sumber hidup manusia secara jasmani. Pada saat ini, janin menjalani tahap ketergantungan total pada kuasa Tuhan melalui proses ajaib pasokan kandungan ibu bagi napas dan makanannya.

Setelah dilahirkan, dunia mengambil alih sebagian kekuasaan Tuhan. Manusia terikat dan tergantung pada hukum-hukum material alam tentang bertahan (survival). Semua orang dihadapkan dan dikenai kodrat yang sama, dimana berlaku prinsip kesetaraan takdir alamiah.

2.2 Roh

Bagi orang beragama, khususnya orang Kristen, proses selanjutnya adalah mengembalikan kekuasaan Tuhan agar penuh lagi dalam dirinya. Dalam hal ini, orang Kristen berupaya melahirkan dirinya kembali dalam Roh.

Agama Kristen kemudian melembagakan proses ini dalam bentuk sidi (Protestan) atau sakramen krisma (Katolik), seakan-akan melalui prosesi ini seseorang menjadi lahir baru. Padahal yang dimaksud sebagai lahir baru atau baptisan Roh merupakan awal dari sikap hidup baru dalam Roh Kudus, bukan semata-mata inisiasi dan sertifikasi dari gereja di hadapan jemaat.

* * *

Atas dasar itu, saya simpulkan bahwa karunia keselamatan hanya diperuntukkan bagi manusia-manusia alamiah saja. Kalaupun kelak ada manusia jenis lain yang keberadaannya bukan berdasarkan kehendak Tuhan —seperti klon, cyborg, ataupun android seperti dalam fiksi ilmiah—, masih disangsikan bahwa Tuhan akan memperlakukan mereka sebagai citra-Nya yang berhak atas karunia keselamatan, sebab dalam diri mereka tidak ada roh yang berasal dan akan kembali kepada Tuhan di akhir jaman. Hal ini dikuatkan oleh Paulus yang menyatakan hanya tubuh alamiah yang mengacu pada Adam sajalah yang akan memiliki tubuh rohaniah yang dikaruniakan Yesus (bdk. 1Korintus 15:44-49).

3. Amanat Pengajaran Berbuat

Beragama Kristen tidak otomatis membuat seseorang bersikap hidup Kristen. Masih diperlukan penghayatan terhadap ajaran Kristus yang kemudian diaktualisasikan dalam sikap hidup sehari-hari. Sikap hidup semacam ini disebut kristiani, yakni bersifat Kristen dalam pengertian bersesuaian dengan ajaran Kristus. Itu pulalah kewajiban para pengikut Yesus saat mengajarkan manusia melakukan apa yang sudah diperintahkan-Nya. (Perhatikan: bahkan hingga akhir pengabdian-Nya secara jasmaniah di bumi ini, Yesus tetap menekankan pentingnya perbuatan!)

Maka, terlontarlah pertanyaan, "Pengajaran seperti apakah yang sepantasnya dilakukan oleh orang Kristen?"

Mengajar berbuat dan perbuatan itu sendiri selayaknya menjadi satu paket tindakan yang integral, karena perbuatan itu sendiri adalah sebuah bentuk pengajaran yang amat nyata. Dari situlah muncul apa yang dikenal sebagai keteladanan, integritas, dan praksis.

Dalam Alkitab tertulis bahwa sepanjang hidup-Nya Yesus senantiasa mengajar dan berbuat. Ajaran dan perbuatan-Nya itulah yang menjadi Kabar Baik bagi semua orang. Dengan kata lain, Injil sebagai kabar baik merupakan praksis yang diteladankan oleh Yesus Kristus sendiri dalam menyikapi problematika dan dinamika kemanusiaan dalam berbagai dimensinya. Itulah praksis kekristenan, praksis kristiani.

Oleh sebab itu, dapat dimengerti mengapa Yesus sering mengecam orang-orang Farisi sebagai orang yang pandai mengajar tetapi munafik/hipokrit karena tidak selarasnya kata dengan tindakan. Mereka hanya pandai berteori dan berkotbah, namun tidak bersedia melakoninya.

Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya".
— Matius 23:2-3

Pertanyaan selanjutnya, "Perbuatan-perbuatan apakah yang bisa menggambarkan sikap-sikap kristiani yang merupakan cerminan sikap hidup baru dalam Roh?"

Paulus melabelkan tindakan-tindakan kristiani itu sebagai buah-buah Roh, yang beberapa penjabarannya tertera dalam Surat kepada Orang Galatia:

Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.
— Galatia 5:22-23

Amat tepat jugalah Surat Yakobus yang menekankan bahwa tindakan sangatlah penting dalam hal keselamatan (yang membuat Martin Luther pernah berniat membuang Surat Yakobus dari kanon Perjanjian Baru karena bertentangan dengan prinsip sola fide yang didoktrinkannya).

Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?

Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?

Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.

Tetapi mungkin ada orang berkata: "Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan", aku akan menjawab dia: "Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku."

Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.

Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong?

Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah? Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna. Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: "Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran." Karena itu Abraham disebut: "Sahabat Allah."

Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.

Dan bukankah demikian juga Rahab, pelacur itu, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia menyembunyikan orang-orang yang disuruh itu di dalam rumahnya, lalu menolong mereka lolos melalui jalan yang lain?

Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.
— Yakobus 2:14-26

Dan Petrus menyatakan bahwa:

Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.
— Kisah Para Rasul 10:35

Semua itu menegaskan bahwa kita perlu menunjukkan bukti keimanan dengan perbuatan nyata, bukan sekedar omongan. Perbuatan adalah penjelasan tak terbantahkan atas iman, yang berlaku bagi setiap orang.

4. Praksis Kristiani

Sudah dimaklumi bahwa mewartakan Injil ke seluruh dunia dan menjadikan semua orang sebagai murid-Nya merupakan salah satu tugas orang Kristen. Namun, berdasarkan penjelasan di atas, pengertian mewartakan itu selayaknya tidak lagi diperangkap secara literal (hurufiah dan harafiah) bahwa seseorang menjadi pemeluk agama Kristen (kristenisasi) dengan mengutamakan pengakuan verbal dan formal semata-mata. Kita perlu menyorotinya melalui makna yang lebih hakiki dari Injil sebagai Kabar Baik, yakni mewujudnyatakan ajaran dan perbuatan Kristus, bukannya buku yang berjudul "Injil".

Oleh sebab itu, pewartaan Injil yang otentik seyogianya dilakukan melalui tindakan-tindakan yang membuat orang lain terangkat dari kubangan kemarjinalan sehingga hidupnya menjadi lebih baik (manusiawi). Dengan begitu, bukan suatu keanehan jika mereka lalu berkata, "Rupanya, beginilah sikap hidup orang-orang Kristen. Inilah Kabar Baik yang disebut Injil itu."

Perilaku semacam ini sudah berulangkali dilakukan oleh para relawan Kristen yang turun ke daerah bencana atau perang, walau para korban tidak beragama Kristen. Namun, yang lebih penting, semua itu tidak dilakukan dalam nama dan demi mengibarkan panji-panji kekristenan, juga bukan dalam rangka menemukan domba-domba yang hilang dengan dalih mentobatkan dan menyelamatkan jiwa-jiwa, melainkan karena roh yang membimbing mereka meneladani Yesus.

Tindakan anonim semacam itulah yang —menurut hemat saya— sangat tepat dalam menunjukkan citra kekristenan. Kehadiran Yesus, secara incognito sekaligus secara nyata, terungkap jelas di hadapan orang-orang yang dahulu selalu menjadi prioritas utama pembelaan Yesus. Tindakan Romo J.B. Mangunwijaya terhadap masyarakat Kali Code merupakan contoh yang sangat luar biasa.

Lebih jauh lagi, hal ini bisa meredam sikap apriori dan antipati orang-orang non-Kristen yang selama ini dihantui kristenisasi akibat perilaku sebagian orang Kristen yang melakukan penginjilan secara ofensif dan provokatif.

5. Penginjilan Kosmos/Kristianisasi

Jika kebanyakan orang mengandalkan Matius 28:19-20 sebagai pembenar kristenisasi, saya lebih terpukau pada Markus 16:15 yang mengatakan, "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala mahluk". Amat mengejutkan bahwa Yesus menyatakan segala mahluk, bukan hanya bangsa manusia!

Mungkin saja terlintas pertanyaan nakal dalam benak kita, "Jika demikian, perlukah kita menginjili kucing, anjing, ayam, ikan, pohon, dan sebagainya yang adalah mahluk ciptaan Tuhan juga?"

Terdengar agak gila, bukan?

Sebaliknya, saya tidak menangkap nada kegilaan dalam pesan tersebut, malah menemukan pengertian yang luar biasa dalamnya saat mengembalikan makna Injil ke pengertian awalnya sebagai kabar baik yang bersifat pembebasan, kesukacitaan, dan keharmonisan, yang ditujukan bagi semua orang berikut lingkungannya. Dengan kata lain, kabar baik bagi seluruh ciptaan Tuhan.

Kepedulian akan keadilan sosial, pendidikan, teknologi, bencana alam, kesehatan, perang, kekerasan, perdamaian, penindasan, kelestarian lingkungan, kemiskinan, ketersediaan pangan, energi, dan berbagai aspek kehidupan lainnya merupakan tanggung jawab yang sangat nyata dan mendesak. Melalui kepedulian itulah kita secara nyata membaptis dunia ini dalam nama Bapa — Anak — Roh Kudus. Bukan hanya memercikkan, melainkan membanjiri dan membenamkan seisi dunia dalam kebajikan yang menghidupkan, yakni kehidupan material —sebagaimana air ketuban dalam rahim ibu— dan buah-buah Roh dalam relasi sosio-ekologis yang harmonis. Itulah yang disebut kristianisasi.

Konsep penginjilan kosmos semacam ini kiranya dapat disetarakan dengan konsep yang diajukan oleh agama Islam, yaitu rahmatan lil 'aalamin (rahmat bagi semesta alam).

Menggarisbawahi semuanya, amanat pewartaan Injil perlu direnungkan dan disikapi secara lebih hati-hati agar tidak terjerumus dalam perilaku Farisi modern. Tidak perlulah kita gencar menjadikan orang lain sebagai pemeluk agama Kristen dengan jargon menjala jiwa-jiwa baru. Jauh lebih berharga untuk menunjukkan sikap-sikap kristiani yang sesungguhnya sebagaimana diajarkan Yesus. Itulah yang membuat kristenisasi dan kristianisasi menjadi 2 hal yang sangat berbeda.

Akhirnya, tidak ada yang lebih dikehendaki oleh Yesus selain ketekunan kita mencari dan menemukan Kerajaan Allah, yakni kesejahteraan dan keselamatan semua manusia. Di lain pihak, keselamatan dan Kerajaan Allah hanya dapat dicapai jika kita sudah lahir/hidup baru (bdk. Yohanes 3:3) sebagai manusia yang ilahi (memiliki sifat-sifat ketuhanan, bdk. Mazmur 82:6, Yohanes 10:34), karena manusia sesungguhnya adalah citra Tuhan yang nyata di atas bumi ini (bdk. Kejadian 1:27). Dan hanya kitalah, manusia, yang bisa menjadikan dunia ini sebagai neraka atau surga bagi dirinya sendiri dan sesamanya.

— Selasa, 29 April 2003 04:36
[revisi: Kamis, 26 Nopember 2004 04:10]

From: Riris Siahaan
To: hkbp@yahoogroups.com
Sent: Monday, 28 April 2003 08:57
Subject: RE: [hkbp] Q : Tuhan Mahatahu II

Trus, bagaimana dg Amanat Agung Tuhan seperti di Mat.28:19 " Karena itu pergilah, jdkanlah semua bgs murid-Ku & baptislah mrk dlm nama Bapa & Anak & Roh Kudus" ?

Salam,
---(ri)2s.

Nb.:
Istilah Kristenisasi bagi saya terlalu radikal. Sense nya menjadikan kekristenan itu menjadi hal yg tidak manusiawi dan tidak independen bagi pemilihnya. Seakan2 menjadikan sesuatu yg hrs dipaksakan tanpa pandang bulu. Menakutkan sekali... :-(

Sabtu, 26 April 2003 02.08

Keselamatan bagi Umat Manusia #1

— Menggagas Demitologisasi Eksklusivitas Keselamatan

Salvation
Salvation
urbanvector.net

Persoalan keselamatan manusia setelah kematian merupakan salah satu —jika tidak bisa dikatakan sebagai yang pertama dan utama— dari sekian banyak tawaran ajaran agama.

Untuk memudahkan pembahasan, dalam tulisan ini saya gunakan istilah agama juga terhadap ajaran spiritualisme lain yang tidak mengenal konsep Tuhan.

1. Konsep Kekekalan dalam Agama

Observasi para pengamat sosio-antropologi terhadap agama-agama kuno (primitive religions) memberi kesimpulan bahwa agama lahir dari budaya dan intelektual masyarakat pada jaman tersebut sebagai tanggapan atas keterbatasan mereka menghadapi kekuasaan alam.

Mereka meyakini bahwa alam ini dikuasai oleh kekuatan-kekuatan tertentu, yang spesifik bagi setiap fenomena. Maka muncullah mitos-mitos tentang para dewa-dewi yang mengatur pertanian, perang, perburuan, sungai, hutan, kesuburan, matahari, dan sebagainya. Dari situ, lahirlah prosesi pemujaan dalam upaya melunakkan hati dewa-dewi tersebut serta menyerap kekuatan mereka agar alam lebih bersahabat dan dapat dikendalikan.

Fenomena alam yang berganti-ganti menimbulkan interpretasi bahwa para dewa-dewi silih berganti berebut kekuasaan. Salah satu contohnya adalah legenda dewa-dewi Yunani di Olympus yang bersaing dan bertikai satu sama lain. Maka, pencarian manusia untuk menemukan kekuasaan yang melampaui para dewa-dewi alam tersebut melahirkan konsep tentang Yang Sakral, yang berkuasa mutlak atas kekuatan alam (profan).

Maka, ritual pemujaan pun berkembang menjadi prosesi mendekatkan diri dan menyatu dengan Yang Sakral tersebut, misalnya dengan upacara memakan daging [dan darah] binatang suci. (Perhatikan kemiripannya dengan Komuni dan Perjamuan Kudus.)

Berdasarkan keyakinan bahwa Yang Sakral itu mahakuasa, dimana waktu pun tidak berlaku atasnya, lahirlah konsep kekekalan. Maka, manusia pun berkeyakinan bahwa mereka yang bisa menyatu dengan Yang Sakral itu juga dapat mencapai kekekalan. Dari situlah lahir doktrin-doktrin pemujaan dan larangan (totem and taboo) serta petunjuk-petunjuk cara penyatuan diri dengan Yang Sakral dalam ritual dan norma sosial.

Konsep kekekalan ini tentu saja bertolak-belakang dengan kenyataan yang mereka hadapi bahwa manusia pasti akan mati. Oleh sebab itu, muncullah gagasan tentang kehidupan sesudah kematian.

Pertanyaan besarnya adalah: "Apa yang terjadi setelah kita mati? Selamatkah atau celaka? Senangkah atau susah?"

Inilah persoalan utama semua agama di dunia sejak dahulu hingga sekarang! Dan jawaban atas pertanyaan besar itulah yang dicoba dijajakan oleh setiap agama. Masing-masing mengklaim bahwa agama mereka adalah yang paling sempurna, paling benar, paling menjamin. Semua agama melakukannya, termasuk agama Kristen!

2. Eksklusivitas Agama dan Konsep Keselamatan Kekalnya

Ketika tiap agama menjual eksklusivitas kekekalan a-la mereka, mau-tidak-mau timbullah kompetisi keunggulan berdasarkan versi masing-masing. Celakanya, masing-masing mengandalkan sisi pandangnya sendiri yang didasarkan pada kitab suci yang mereka yakini paling benar.

Tidak ada satu kitab suci pun yang secara eksplisit "memberi ijin" penganut agama lain masuk ke dalam konsep kekekalan yang mereka yakini. (Kecuali al-Qur'an pada masa awal turunnya, yang menganggap penganut agama Yahudi, Nasrani, dan Shabi'in sebagai kaum beriman juga.)

Dalam pertandingan memenangkan jiwa-jiwa manusia (baca: penganut), konsep kekekalan pun dirumuskan ke dalam 2 cabang ekstrim:

  1. keselamatan kekal
    yang direpresentasikan dengan surga, nirwana, firdaus, dan sebagainya; yang penuh dengan kenikmatan, kedamaian, kesukacitaan, ataupun ketiadaan ego dan nestapa —bahkan hasrat/nafsu/keinginan.
  2. penderitaan kekal
    yang direpresentasikan dengan neraka dan penghukuman abadi yang luarbiasa sadisnya. (Lain kali akan kita diskusikan apakah benar neraka itu sama dengan penghukuman kekal.)

Dalam hal ini, mereka mendeklarasikan keselamatan kekal sebagai hak eksklusif mereka. Di luar mereka, hanya ada penderitaan kekal.

Jika konsep-konsep semacam itu hanya merupakan sebuah deklarasi iman, tentunya tidak akan menjadi masalah besar bagi umat manusia. Setiap manusia bebas memilih ajaran agama sesuai dengan kenyamanan hati masing-masing.

Tetapi, pada kenyataannya, kompetisi konsep telah bermetamorfosis menjadi ajang adu eksistensi yang kemudian dibumbui dengan perilaku-perilaku ofensif terhadap pihak lain. Timbullah inkwisisi, persekusi, proselitisasi, genosida, perang antaragama, dan berbagai tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama, maupun yang tidak secara langsung (fisis) menyerang/menghina agama seperti yang banyak terjadi di media maya internet.

Di sinilah kita menghadapi persoalan besar kemanusiaan. Agama yang semula menjanjikan kesejahteraan dan kedamaian, telah berubah rupa menjadi sumber ancaman. Dunia menjadi runyam dan penuh teror.

3. Konsep Keselamatan dalam Agama Kristen

Pada mulanya, agama Kristen dianggap sebagai sebuah sempalan agama Yahudi, yakni yang berakar pada sekte Essenne.

Banyak kitab Perjanjian Lama dikonfirmasikan oleh Naskah-naskah Laut Mati/Dead Sea Scroll yang ditemukan di wilayah Qumran, yang oleh banyak ahli diyakini sebagai tempat pengucilan diri komunitas sekte ini. Yohanes Pembaptis dan Yesus kerap dianggap sebagai anggota komunitas ini.

Agama Yahudi sendiri pada mulanya tidak mengenal konsep neraka sebagai tempat penghukuman kekal. Mereka memiliki keyakinan bahwa setiap orang [Yahudi] akan kembali ke Rumah Allah YHWH. Paling banter, yang mereka tahu adalah sheol (dunia orang mati). Setelah munculnya Perjanjian Baru, barulah konsep neraka dikenal luas oleh orang Kristen.

Adapun konsep keselamatan dalam agama Kristen dirumuskan sebagai Kerajaan Allah, yang digambarkan dalam berbagai perumpamaan yang diberikan Yesus. Walaupun telah berada di antara manusia, Kerajaan Allah ini bukan diberikan begitu saja oleh Allah, melainkan haruslah dicari oleh manusia. Manusia tetap harus berbuat/bertindak untuk menemukannya (bdk. Lukas 17:21, Matius 6:33).

Kerajaan Allah yang didambakan oleh setiap orang Kristen, dimana semua orang mendapatkan kesukacitaan, adalah janji Allah melalui Yesus kepada dunia yang mau menerima Yesus dan melakukan yang benar (bdk. Yohanes 3:16-21).

Dari sudut pandang Kristen, pernyataan ini kerap dimaknai bahwa hanya orang yang menerima Kristus sajalah yang berhak atas Kerajaan Allah. Dengan kata lain, hanya orang Kristen sajalah yang akan selamat.

Ditegaskan oleh amanat Yesus sebagaimana tertera dalam Matius 28:19 agar para murid-Nya membaptis semua orang dalam nama Bapa + Anak + Roh Kudus, maka semakin yakinlah orang-orang Kristen bahwa keselamatan sejati hanya ada di dalam kekristenan. Pandangan seperti inilah yang menjadi bahan bakar gerakan pengkristenan dunia.

4. Orang-orang Baik di Luar Agama Kristen

Kini kita dihadapkan pada pertanyaan: "Apakah hanya agama Kristen yang mewarisi keselamatan kekal yang dijanjikan Allah? Bagaimana pandangan kita terhadap penganut agama lain yang mampu menampilkan kebaikan dan kesalehan melebihi kebanyakan orang Kristen?"

Sebagai ilustrasi: Mohandas Karamchand Gandhi adalah seorang Hindu yang tindakannya sangat terpuji sampai-sampai dijuluki Mahatma (Jiwa Agung). Walau beragama Hindu, tanpa malu-malu dia mengakui bahwa jiwa "Kotbah di Bukit" yang disampaikan oleh Yesus (bdk. Matius 5:3-12) memiliki pengaruh kuat pada pandangan hidup dan perjuangannya.

Gandhi menerapkan konsep-konsep keberpihakan pada kaum marjinal sebagaimana Yesus melayani kaum tersisih dalam masyarakat Yahudi pada masa-Nya. Seperti Yesus, dia melakukannya dalam semangat antikekerasan. Dan akhirnya, Gandhi dibunuh oleh seorang Hindu fanatik, sebagaimana Yesus diserahkan pada maut melalui tangan pengadilan agama Yahudi (Sanhedrin).

Apakah Gandhi tidak berhak atas keselamatan kekal hanya karena dia tidak beragama Kristen?

Sebagai catatan pula, Gandhi pernah mengemukakan niatnya untuk masuk agama Kristen ketika dia bermukim di Afrika Selatan. Namun gereja yang didominasi oleh kaum kulit putih Eropa menolaknya. Selain itu, Gandhi pun kecewa terhadap perilaku buruk orang Kristen di sana, yang dianggapnya telah menodai ajaran Yesus.

Mahatma Gandhi adalah salah satu contoh besar. Bagaimana pula halnya dengan orang-orang tidak terkenal yang ada di sekitar kita, yang secara jelas kita lihat dan rasakan kebaikannya kepada masyarakatnya —termasuk kita?

5. Konsep Manajemen Sumber Daya Manusia

Karl Rahner, seorang teolog moderat Katolik, mengintroduksi istilah kristen anonim (anonymous Christian), yakni orang-orang non-Kristen yang kristiani (bersifat, bersikap, berperilaku sesuai ajaran Kristen; bukan dalam ritual dan tradisinya). Dengan istilah lain, mereka disebut sebagai orang-orang Kristen dalam jubah agama lain.

Begitu pula dalam filsafat Kristen, dikenal istilah Naturaliter Christianus Christiana (semua manusia dilahirkan Kristen). Dalam benak saya, slogan ini saya bunyikan: pada dasarnya setiap manusia memiliki potensi atau sifat-sifat kristiani.

Menurut hemat saya, menjadi kristiani adalah lebih penting daripada sekedar beragama Kristen. Ini adalah sebuah paradoks yang perlu kita elaborasi. (Ada satu tulisan saya yang menyinggung soal ini, Pembaptisan Dunia: Antara Kristenisasi, Kristiani, dan Kristianisasi.) Tetapi, dalam pembahasan kali ini, akan saya gunakan pendekatan konsep manajemen sumber daya manusia.

Kita simulasikan dengan mengajukan pertanyaan awal: "Apakah yang harus dilakukan oleh seorang Kristen sebagai kesaksian atas imannya?"

Banyak jawaban akan bermunculan. Kita akan disodori 1001 perilaku kunci (key behavior) yang akan membedakan orang Kristen dengan non-Kristen, yang pada umumnya mengandung kata harus, tidak boleh, atau jangan (yang menggugah ingatan kita kembali ke konsep totem & taboo dalam agama-agama primitif).

Dari situ, timbul pertanyaan lagi: "Apakah orang non-Kristen tidak mungkin memperlihatkan perilaku yang dilakukan oleh orang Kristen?"

Mulailah timbul kebimbangan. Karena, pada kenyataannya, tidak semua orang Kristen mencerminkan perilaku yang kristiani. Sedangkan satu-satunya perilaku orang Kristen yang tidak mungkin dilakukan oleh orang non-Kristen tidak lebih dari ritual dan tradisinya saja!

Kita pertajam lagi fokus pengamatan kita dengan mengesampingkan ritual dan tradisi agama Kristen.

Kini kita gunakan indikator kinerja kunci (key performance indicator/KPI) yang akan menjadi tolok ukur penilaian prestasi. Jadi, kita akan mengukur "kekristenan" seseorang berdasarkan apa yang dihasilkannya.

Persoalannya, apa yang dapat kita jadikan patokan ukuran kinerja kekristenan seseorang?

Mari kita simak apa yang dikatakan oleh Alkitab:

Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.
— Galatia 5:22-23

Jika seseorang menampilkan perilaku seperti disebutkan Paulus di atas, apakah kita akan menolaknya sebagai buah Roh hanya karena dia bukan seorang Kristen? Apakah kita bisa membatasi ruang gerak Roh Allah dalam kisi-kisi yang kita tetapkan?

Untuk itu, perlulah kita mengingat sabda Yesus yang mengatakan bahwa buah yang baik hanya akan dihasilkan oleh pohon yang baik pula, demikian pula sebaliknya. Kebaikan hanya datang dari sumber/perbendaharaan kebaikan, demikian pula sebaliknya (bdk. Matius 12:33-35).

Itulah KPI yang kita gunakan dalam memandang "kekristenan" seseorang, terlepas dari label agama yang dianutnya.

Menjadi orang Kristen tanpa mengamalkan ajaran-ajaran Yesus (yang utamanya adalah cinta kasih), tidak akan membuat kita lebih baik daripada orang-orang Farisi. Kurang apa orang-orang Farisi dalam pengetahuan agama dan menjalankan hukum Musa? Tetapi Yesus mencerca mereka karena mereka tidak melakukannya dengan kesadaran bahwa setiap manusia adalah sesamanya. Mereka membeda-bedakan manusia —bahkan yang sesama Yahudi— dari status sosial, pekerjaan, kecacatan, kekayaan, jenis kelamin, dan lain-lain.

6. Keterbukaan Keselamatan Bagi Semua Orang

Konsep di atas mungkin belum bisa memuaskan pertanyaan "Apakah orang non-Kristen lantas berhak memperoleh keselamatan kekal?"

Saya  tidak bisa memberikan jawaban definitif di sini karena persoalan keselamatan adalah hak prerogatif Allah. Namun saya bisa berbagi sedikit pemahaman atas sebuah ilustrasi yang bersumber dari sabda Yesus sendiri, yang kiranya dapat menjadi renungan bagi kita semua.

Kita tentu sudah mengenal kisah paling populer dalam Alkitab, yakni "Orang Samaria yang Murah Hati" (bdk. Lukas 10:25-37). Perikop ini diawali dengan pertanyaan seorang ahli Taurat (yang jelas-jelas bukan pengikut Yesus, jadi bukan orang Kristen): "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?".

Saya tekankan lagi: hidup yang kekal alias keselamatan.

Orang Samaria adalah musuh bebuyutan orang Yahudi. Secara sosial-politik, mereka terpisah dari orang-orang Yahudi. Dan, walaupun sama-sama mengakui hukum Musa (Taurat), mereka memiliki agama sendiri yang tidak ada kaitannya dengan imam-imam Yahudi di Yerusalem atau bagian mana pun dari wilayah Yehuda. Bahkan, kitab Taurat yang mereka gunakan pun berbeda bahasanya. Bagi orang Yahudi, orang Samaria adalah kafir!

Siapakah yang melaksanakan Hukum Kasih Yesus dalam perumpamaan tersebut (bdk. Lukas 10:27)? Si orang Samaria.

Dan apa yang diperintahkan Yesus pada akhir perikop tersebut? Yesus berkata, "Pergilah, dan perbuatlah demikian!" (Lukas 10:37).

Saya tekankan lagi: perbuatlah demikian!

Jadi, sangat jelas dari pembukaan dan penutupannya, bahwa untuk memperoleh hidup kekal kita perlu melakukan seperti yang dilakukan oleh orang Samaria yang murah hati itu. Bukan agama atau ajaran apa pun yang bisa menyelamatkan, melainkan bagaimana memperlakukan sesama.

Dan mungkin anda akan sangat terkejut jika saya katakan bahwa kesempatan itu berlaku juga bagi orang kafir! (dalam contoh orang Samaria tadi). Oleh sebab itu, mari kita simak beberapa ayat berikut ini:

Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.
— Matius 7:21

Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku. Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, tetapi orang benar ke dalam hidup kekal.
— Matius 25:40, 45-46

Siapakah yang menurut anda berhak atas Kerajaan Sorga?

Bukankah sangat jelas bahwa konsep Yesus tentang keselamatan sedemikian revolusioner sedemikian hingga memberi kesempatan pada orang kafir —si orang Samaria itu— untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah dan beroleh hidup kekal?

Allah seperti inilah yang saya sembah, yang penuh cinta dan pengorbanan.

Dari situ, saya memberanikan diri untuk meyakini bahwa Allah tidak akan mencampakkan manusia ciptaan-Nya —yang adalah citra-Nya sendiri— ke neraka jahanam hanya lantaran mereka tidak beragama Kristen. Demikianlah pendapat dan keyakinan saya pribadi [yang tidak harus diterima sebagai kebenaran umum].

Dan sebagai penutup, saya sertakan sebuah ayat dari Amsal [Sulaiman] yang konon adalah manusia paling berhikmat:

Setiap jalan orang adalah lurus menurut pandangannya sendiri, tetapi TUHANlah yang menguji hati. Melakukan kebenaran dan keadilan lebih dikenan TUHAN daripada korban."
— Amsal 21:2-3

Ada point lain yang relevan dengan soal demitologisasi eksklusivitas keselamatan ini, yakni konsep kemahahadiran (omnipresent) Allah yang beremanasi dalam ajaran agama lain. Akan kita diskusikan lain waktu jika topiknya sudah tepat.

— Sabtu, 26 April 2003 03:19
[revisi: Rabu, 28 Desember 2005 23:38]

From: JhonSihaloho@...
To: <undisclosed-recipients>
Sent: Thursday, 24 April 2003 10:45
Subject: [hkbp] Q : Tuhan Mahatahu II

Hi All,

Terima kasih buat masukan rekan rekan, sebanyak 14 buah, ada yang memberikan tanggapan sesuai realitas kehidupan, analogi analogi yang masuk akal, penggunaan firman Tuhan dsb. Dengan mengucap syukur atas jawaban rekan-rekan, saya juga telah memberikan jawaban seperti ato hampir mirip dengan yang rekan rekan sampaikan dengan kata pembuka HANYA TUHAN YANG TAHU, malah saya tambahi lagi dengan firman "mintalah, maka akan Aku berikan... seandainya kita minta kita dihentikan begitu mau melakukan pekerjaan jahat, pasti Tuhan bisa, seandainya kebutuhan kita, kita minta, pasti Tuhan berikan dll..... (sesuai pertanyaan sessi I)

Maka ini lanjutan pertanyaan kedua

  1. Bagaimana dengan orang yang sejak lahirnya tidak mengenal Tuhan (Non Kristen) tapi punya agama, bukankah mereka juga ciptaan Tuhan, yang diberi akal?
  2. bukankah mereka juga berdoa dan meminta kepada tuhan yang bukan Tuhankita ?
  3. Bukankah mereka juga ada yang berbuat baik dan berbuat jahat?
  4. Bukankah mereka juga memperoleh kebutuhannya?
  5. Bagaimana dengan orang yang mengaku tidak mengakui Tuhan (komunis) ?
    bukankah mereka juga hidup dan mempunyai kebutuhan hidup ???

Dipandang sekilas, pertanyaan ini memang ndablek, tapi menjawabnya susah, (sama seperti menjawab pertanyaan anak kecil yang bertanya "kenapa panas kalo pake selimut ?). Memang kita bukan TUHAN, tapi saat ini kita berdiskusi, bukan menolak saran saran yang masuk, kemaren ada jawaban yang sepertinya kurang enak jawabannya seperti itu kalo kita lagi berdiskusi.

Moga rekan rekan tetap bersemangat menjawab, setelah ini akan muncul sessi III

Sebagai informasi, pertanyaan ini muncul dari salah satu peserta Pendalaman Firman yang kami lakukan setiap hari selasa dan rabu malam, buat warga gereja yang mau datang, dibimbing oleh majelis gereja.

salam
oho
Thursday, 24 April 2003 02:08

Kamis, 24 April 2003 02.08

Perbedaan Pendapat dalam Diskusi

Debate
Debate
way.fm

Sama sekali tidak ada yang salah dengan perbedaan pendapat (perdebatan) dalam diskusi. Jika kita mau berpikiran/berprasangka positif (positive thinking), maka setiap perbedaan pendapat patutlah disyukuri sebagai tanda kepedulian orang lain terhadap kita.

Pada saat mengemukakan pendapat, sudah barang tentu kita berusaha memaparkannya sejelas mungkin agar pihak lain (baik lawan bicara maupun pemirsa) dapat memahami dasar pertimbangan serta alur berpikir kita. Dalam hal ini, kita biasa menggunakan data, fakta, bukti, dan referensi (rujukan) yang tidak terbantahkan sebagai dasar presuposisi maupun variabel pembenar (justifikasi).

Namun demikian, dengan mempertimbangkan hak manusia yang memiliki kebebasan dalam menggunakan pikirannya, bisa saja suatu hal ditanggapi secara berbeda atau bahkan bertolak-belakang. Apalagi jika topik pembahasannya masih berada di daerah abu-abu (gray area) ataupun mendua (ambigu). Hal ini dapat menyebabkan pihak lain tidak sepakat dengan kita.

Menurut pendapat saya, ketidaksepakatan pihak lain itu biasanya (atau sekurang-kurangnya) berkenaan dengan beberapa hal berikut:

1. Justifikasi (Masukan/Input)

Dalam hal-hal yang sifatnya eksak (sesuai hukum alam), sangat sedikit peluang bagi munculnya justifikasi yang amat bertentangan dengan justifikasi yang kita gunakan, karena hukum alam sudah memiliki pola yang baku sehingga hampir tidak mungkin sebuah kebenaran bertentangan dengan kebenaran lain. Truth cannot contradict truth, demikian katanya.

Sementara dalam bidang yang membahas permasalahan non-eksak yang tidak secara langsung berkenaan dengan benda/materi —seperti teologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, budaya— sangatlah terbuka kemungkinan berbenturannya satu justifikasi dengan justifikasi lainnya. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian perkembangan objek pengamatan maupun kuantifikasinya.

Dalam hal inilah, satu pihak bisa sangat bertentangan dengan pihak lainnya secara dahsyat tanpa adanya jalan tengah. Masing-masing memiliki atau bahkan menciptakan justifikasi sendiri. Di sini berlaku hukum tidak ada kebenaran mutlak, semuanya relatif.

Hal ini sangat terlihat jelas dalam diskusi teologi (agama). Satu ayat yang dijadikan andalan justifikasi dapat dihantam oleh sepuluh ayat lain yang [kelihatannya] menentang. Alhasil, kita akan menemukan "perang ayat" dalam sebuah diskusi.

2. Metode Pendekatan (Proses)

Walaupun justifikasinya sudah sama-sama disepakati, belum tentu keduabelah pihak menggunakan metode yang sama. Dengan kata lain, keduabelah pihak berangkat dari titik yang sama tetapi melalui jalan pendekatan yang berbeda.

Biasanya, hal ini dapat dirujukkan kembali ke teori-teori dasar dan perangkat analisis yang sudah disepakati/dibakukan sebagai konvensi, kecuali jika kita bisa memperkenalkan metodologi baru yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Sebagaimana justifikasi, metode pendekatan dalam bidang eksak tidaklah sebanyak dalam bidang non-eksak. Maka, sekali lagi, ada peluang terjadinya perdebatan yang tidak terdamaikan di dalam diskusi yang membahas persoalan-persoalan non-eksak.

3. Penyimpulan (Keluaran/Output)

Kesulitan ternyata belum berakhir, karena justifikasi yang sama pun belum tentu menghasilkan kesimpulan yang sama walau metode pendekatannya sudah sama. Konon pula jika metode pendekatannya memang berbeda.

Di bidang non-eksak, perbedaan penyimpulan biasanya berhubungan dengan kearifan seseorang dalam memandang perjalanannya sejak awal melangkah.

* * *

Dalam ketiga hal yang berkenaan dengan Input—Proses—Output (IPO) di ataslah pada umumnya kita "bermain" dalam diskusi. Dari situlah kita akan melihat diskusi yang seru dan berbobot, dimana keduabelah pihak mengajukan argumentasi-argumentasi logis dari berbagai sudut pandang.

Walau tetap tidak ada jaminan bahwa keduabelah pihak akan menemukan kata sepakat, kita dapat memetik hikmah yang sangat berharga, yakni mempertimbangkan masukan dari keduabelah pihak sebagai kepustakaan yang akan memperkaya wacana pemahaman kita sebelum mengambil keputusan.

Namun demikian, ada hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam sebuah diskusi, yaitu cara yang baik dalam menyampaikan buah pikiran. Untuk itu, dibutuhkan:

  1. Alur pemaparan yang runtut agar semua pihak dapat mengikuti perjalanan pemikiran kita secara utuh sejak awal hingga akhir.

  2. Penggunaan bahasa yang baik agar semua pihak dapat memahami maksud kita dengan baik. Dalam hal ini, perlu dihindarkan penggunaan istilah-istilah yang samar/bias atau ambigu. Juga diperlukan penyusunan kalimat yang sesuai dengan kaidah tata bahasa, termasuk penggunaan tanda baca dan simbol-simbol seperti emoticons dan neticons.

Penggunaan kata-kata yang sederhana akan jauh lebih efektif daripada menempelkan istilah-istilah asing agar kelihatan keren. Kalaupun sangat diperlukan menggunakan istilah asing yang tidak populer, jangan lupa untuk memberi sedikit penjelasan atau definisinya, sehingga semua pihak mengerti fungsinya dalam kalimat. (Ingat: sebuah istilah asing bisa memberikan beberapa makna atau bahkan berbeda makna dalam bahasa kita.)

Penggunaan kata-kata populer atau bahasa pergaulan (slang) bukanlah suatu hal yang diharamkan. Demikian juga dengan ilustrasi, perumpamaan/kiasan (alegori), peribahasa (aforisme), dan analogi. Jika dipergunakan dengan tepat, akan berdampak efektif dalam menegaskan suatu maksud.

Namun demikian, masih ada yang jauh lebih penting dibanding semua hal yang sudah disebutkan di atas, yakni:

1. Niat

Ketika memasuki gelanggang diskusi atau perdebatan, perlulah kita mendasarkannya pada tujuan yang baik, yakni mempertajam diskusi itu sendiri agar kelihatan utuh dari berbagai sudut pandang. Janganlah berdebat hanya demi perdebatan (yang umumnya disebabkan oleh sikap apriori atau sentimen kepada orang tertentu).

Patut dicatat bahwa dengan menggunakan prasangka positif dalam kerangka penyelesaian konflik (conflict resolution), setiap perbedaan pendapat tidaklah lain daripada kehendak baik dari keduabelah pihak untuk mencapai kualitas yang lebih tinggi/baik.

2. Kesetaraan (Egaliter)

Di forum diskusi maya seperti mailing list (milis), banyak orang yang hadir dengan nama panggilan/alias ataupun fiktif (email/internet nickname) sehingga kita tidak tahu persis siapakah orang yang kita hadapi. Oleh sebab itu, diperlukan kesadaran untuk menempatkan semua pihak secara setara dan hormat secara sepantasnya.

Orang yang hadir dengan segala titelnya —baik akademis maupun agamawi— tidaklah berarti lebih pintar atau lebih bijak sehingga menimbulkan ketakutan kita untuk berbeda pendapat. Begitu pula halnya dalam soal umur.

Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk merasa lebih tinggi atau lebih kecil dibanding orang lain, karena tidak ada seorang pun yang sudah pasti paling benar. Tidak ada pihak yang berhak untuk mendominasi pihak lain.

3. Fokus

Tidak setiap orang memiliki tingkat emosi atau cara bertutur yang sama. Ada yang meledak-ledak (impulsif, reaktif), sinis atau sarkastis, kasar atau keras, sabar, santun, apatis, tidak serius, terlalu serius, dan berbagai perilaku lainnya. Itulah risiko dari sebuah forum diskusi yang memberi kesempatan bagi setiap anggotanya untuk berpartisipasi.

Walau ada kaidah yang mengatakan it's not what you say, but the way you say it (bukan yang dikatakan, melainkan cara mengatakannya), tidaklah bisa kita memaksa semua orang bertutur dan bersikap sesuai keinginan kita. Oleh sebab itu, perlu juga kita menerapkan di sini prinsip it's not the messenger but the message, don't shot the messenger. Jangan persoalkan orangnya, melainkan pesan yang dibawakannya. Jangan menyerang pribadi (argumentum ad hominem), melainkan argumen yang disampaikannya.

Maka, diperlukan kesungguhan untuk tetap fokus pada topik dan isi diskusi, bukan pada cara atau siapa orang yang mengatakannya. Hanya itulah yang dapat menjaga kita agar tidak terjerumus pada perdebatan yang tidak produktif.

4. Keterbukaan

Sebagaimana sudah saya sampaikan di atas, banyak hal yang dapat membuat seseorang berbeda pendapat dengan orang lain. Jika tujuan berdiskusi adalah demi kebaikan bersama dalam suasana kesetaraan (egaliter), maka tidak ada yang berhak menghakimi siapa yang benar atau siapa yang salah. Dengan demikian, diperlukan keterbukaan semua pihak untuk menerima keberadaan pemahaman pihak lain yang tidak sejalan dengan pemahamannya. Di sinilah ini berlaku prinsip sepakat untuk tidak sepakat.

Ingatlah kata-kata bijak Voltaire, I disapprove of what you say, but I will defend to the death your right to say it. Akan saya bela sampai mati hak anda untuk menyatakan pendapat walau saya tidak sepakat dengan pendapat anda itu.

Maka, janganlah ada tindakan usir-mengusir atau pengucilan dari forum diskusi hanya karena alasan perbedaan pendapat.

* * *

Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, niscaya dengan perbedaan pendapat itulah kita bisa memandang suatu permasalahan melalui perspektif lain yang mungkin saja selama ini luput dari pertimbangan kita. Dengan demikian, pemahaman kita akan suatu hal menjadi lebih komprehensif (utuh, menyeluruh).

Bukankah ini sangat bermanfaat bagi kemajuan dan kedewasaan kita sendiri?

— Kamis, 24 April 2003 02:08

Kemahatahuan Tuhan

— Pembiaran Kejahatan

The Eye of God
The Eye of God
by Colleen D. Gjefle

Hal utama yang paling sering dilekatkan sebagai sifat Tuhan adalah mahatahu (omniscience). Dari sifat itu —yang sering dianalogikan dengan sifat manusia— maka manusia pun beranggapan bahwa Tuhan pastilah mengetahui segala sesuatu hingga yang sekecil-kecilnya.

Lebih lanjut lagi, manusia —dalam keterbatasannya— menyimpulkan bahwa Tuhan bahkan sudah mengetahui segala sesuatunya sebelum sesuatu itu terjadi.

Namun, yang paling celaka adalah ketika manusia menyimpulkan bahwa Tuhan sudah menentukan ketetapan yang tak terubahkan terhadap segala sesuatunya, termasuk orang-orang yang akan masuk surga dan neraka, bahkan sebelum dunia ini diciptakan.

Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya.
— Efesus 1:4-5

Aku telah menjaga mereka dan tidak ada seorang pun dari mereka yang binasa selain dari pada dia yang telah ditentukan untuk binasa, supaya genaplah yang tertulis dalam Kitab Suci.
— Yohanes 17:12

Beberapa ayat itulah yang menjadi dasar pembenar (justifikasi) bagi lahirnya doktrin takdir/predestinasi di kalangan Protestan —yang terutama dirumuskan oleh John Calvin dalam doktrin TULIP— yang mengaitkan kemahatahuan dan kemahakuasaan Tuhan menjadi takdir manusia.

TULIP adalah doktrin mengenai takdir yang disosialisasikan oleh sekelompok pengikut aliran calvinisme, yang merupakan singkatan dari:

  • [T]otal depravity = kerusakan total
  • [U]nconditional election = pemilihan tak bersyarat
  • [L]imited atonement = penebusan terbatas
  • [I]rresistible grace = anugerah yang tidak dapat ditolak
  • [P]erseverance of the saints = ketekunan orang-orang kudus

Untuk memudahkan diskusi ini, kita anggap saja bahwa semua yang tertulis dalam kitab suci itu mutlak benar adanya, demikian juga tafsir-tafsir serta doktrin-doktrin yang diyakini oleh arusutama (mainstream) kekristenan. (Dalam kesempatan lain, bisa saja kita membahas soal inerrancy/ketidaksalahan Alkitab berikut penafsirannya.)

1. Antara Kehendak Tuhan dan Perbuatan Manusia

Jika Tuhan mahatahu, tentu Dia tahu jika seseorang hendak berbuat jahat. Maka, kita dihadapkan pada pertanyaan: Mengapa Tuhan seakan-akan membiarkan terjadinya kejahatan dan penderitaan di dunia ini? Bukankah dengan kemahakuasaanNya Dia bisa mewujudkan semua kehendakNya dengan mudah?

Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sangat mendasar dan kerap diajukan oleh kaum agnostik, freethinker, maupun atheis yang tidak [terlalu] peduli —atau bahkan menampik— soal-soal ketuhanan.

Pertanyaan yang lebih tajam lagi: Jika Tuhan mahakuasa dan sudah menetapkan ketentuannya (baca: takdir) atas alam semesta ini, mengapa manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya? Bukankah Tuhan sendiri yang sudah menentukan segala sesuatunya? Perbuatan kita, apapun itu, adalah kehendak Tuhan. Kenapa kita harus bertanggung jawab atas apa yang ditetapkan oleh Tuhan sendiri?

Bukankah Yesus sendiri tahu bahwa Dia akan dikhianati oleh Yudas sehingga Dia bahkan mendorong Yudas untuk melaksanakan niatnya (bdk. Yohanes 13:27)? Bukankah tanpa pengkhianatan Yudas maka kematian Yesus tidak akan terjadi, yang otomatis akan menghilangkan peristiwa kebangkitanNya, yang pada gilirannya mengakibatkan iman Kristen menjadi kesia-siaan (bdk. 1Korintus 15:14)?

Dengan kata lain, apakah bukan Tuhan sendiri yang menghendaki Yudas Iskariot mengkhianati Yesus? Apakah bukan Tuhan sendiri yang menghendaki terjadinya kejahatan dan penderitaan di dunia ini?

Dari ekstrim-ekstrim di atas, kaum theis akan diperhadapkan pada pertentangan yang membingungkan antara kehendak dan kemahatahuan Tuhan dengan pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya. Hal yang tidak ditemukan pada ajaran non-theis yang mengutamakan peningkatan kualitas budi pekerti manusia maupun konsep karma.

2. Antara Kebaikan dan Kejahatan

Kaum theis pada umumnya memegang keyakinan bahwa Tuhan adalah penyebab utama (causa prima, prime mover) atas segala sesuatu. Di lain pihak, kita seringkali melemparkan kesalahan atas munculnya kejahatan di dunia ini kepada sosok yang kita kenal dengan nama Iblis atau Setan.

Kita kembali menemukan dualisme pemikiran yang saling berlawanan tanpa dapat menjelaskan proporsinya.

  1. Jika Tuhan adalah penyebab utama, maka tidak bisa dihindarkan munculnya anggapan bahwa seluruh kejahatan dan penderitaan di atas bumi ini adalah ciptaan dan disebabkan oleh Tuhan juga. Dalam hal ini, Iblis dianggap sebagai ciptaan Tuhan juga.

    Lantas, apa maksud Tuhan membiarkan Iblis bersimaharajalela dan memiliki pengaruh pada manusia untuk berbuat kejahatan?

  2. Ataukah Tuhan yang merepresentasikan seluruh kebaikan memiliki rival yang setara —yang kita sebut Iblis— yang mewakili seluruh ketidakbaikan? Dalam hal ini, manusia disodori 2 pilihan yang berimbang: Tuhan atau Iblis. Mungkin inilah yang menyebabkan ada manusia yang memutuskan untuk menjadi pengikut Setan dan mendirikan gereja Setan.

    Lantas, dimana letak kemahatahuan dan kekuasaan Tuhan atas manusia jika ada kekuatan lain yang dapat dipilih oleh manusia, apa pun konsekuensinya?

Ada pendapat ke-3, yang sangat tidak populer di kalangan monoteistik samawi, yang mempercayai bahwa Tuhan memiliki sifat kebaikan dan kejahatan sekaligus dalam dirinya. (Bedakan dengan ajaran yang merepresentasikan kebaikan dan kejahatan dalam 2 sosok [dewa] yang berbeda!)

Kepercayaan ini pernah berkembang di Yunani monoteistik masa lampau yang berbeda dengan politeisme hirarkis dewa-dewi di bawah kepemimpinan Zeus. Tuhan yang bernama Abraxas ini adalah Tuhan yang mahalengkap, yang memiliki sisi putih dan hitam secara bersamaan dan absolut.

Lalu, bagaimana kita sebagai orang Kristen menempatkan dilema-dilema tersebut pada proporsi yang imani sekaligus rasional?

Tidak mudah mencari jawabnya. Kita harus menemukannya dalam dasar-dasar ajaran Kristen sebagaimana yang diwartakan dalam Alkitab. (Ingat, dalam diskusi ini saya mengacu pada posisi yang menyatakan bahwa Alkitab itu bebas dari kesalahan!)

3. Manusia dan Dunia

Setelah manusia Adam jatuh ke dalam dosa, maka tanah (bumi) yang menjadi tempat tinggalnya dikutuk oleh Tuhan. Tanah tidak lagi menjadi penyedia kebutuhan manusia secara mudah. Manusia harus bekerja keras untuk mengolahnya. Tanah menjadi medan perjuangan manusia (bdk. Kejadian 3:17-19).

Pada saat yang bersamaan, Tuhan tidak mengusir Iblis —yang direpresentasikan dalam wujud ular— dari bumi manusia. Namun Tuhan mendeklarasikan pertempuran abadi antara manusia (yang diwakili oleh perempuan Hawa dan keturunannya) dengan iblis dan keturunannya (bdk. Kejadian 3:14-15).

Bila kita kaji lebih teliti, kisah Kejadian 3 dalam Alkitab menyiratkan bahwa manusia sesungguhnya sudah memiliki kebebasan (free will) untuk memilih antara perintah Tuhan dengan bujukan Iblis, bahkan sebelum pengetahuan itu menjadi milik manusia.

Dengan demikian, manusia mengemban 2 kewajiban di dunia, yakni: bekerja mengolah bumi demi kehidupannya dan bertarung melawan kekuatan Iblis (kejahatan). Tetapi, pada saat yang bersamaan, manusia memiliki kebebasan untuk menetapkan pilihan keberpihakannya.

Apakah dengan demikian Tuhan kehilangan kekuasaanNya atas manusia dan dunia? Apakah dengan demikian Tuhan tidak mahatahu lagi? Dan dimana letak tanggung jawab manusia kepada Tuhan?

4. Konsep Probabilitas

Saat ini begitu banyak permainan (games) dalam komputer atau playstation yang bersifat interaktif. Kita dapat memainkannya sesuka hati kita. Dalam hal ini, kita memberikan masukan (input) kepada komputer dalam bentuk data melalui mouse, keyboard, atau joystick.

Dalam setiap situasi, masing-masing pemain bisa memberikan masukan yang berbeda sehingga hasilnya pun akan berbeda antara pemain yang satu dengan yang lain. Namun demikian, tetap ada aturan yang harus dipatuhi oleh setiap pemain guna mencapai tujuan utama (ultimate goal) permainan tersebut. Setidak-tidaknya, kita harus menggunakan tombol tertentu dengan cara tertentu untuk menjalankan permainan. Kita tidak bisa seenaknya memberikan masukan jika ingin mencapai keberhasilan.

Kita bisa menganalogikan tujuan utama permainan tersebut sebagai keselamatan kekal dan aturan-aturannya itu sebagai tuntunan dasar (manual, handbook, user's guide) yang diberikan Tuhan melalui Kitab Suci dan hukum alam.

Dimana letak kekuasaan Tuhan dalam hal ini?

Letaknya adalah di dalam kesempurnaan algoritma pemrograman permainan yang mengantisipasi segala kemungkinan masukan yang diberikan oleh pemain. Dalam hal ini, setiap langkah pemain akan memberikan tanggapan atau hasil tertentu yang akan mempengaruhi keseluruhan jalan dan hasil permainan. (Kecuali pada program yang belum tuntas sehingga menghasilkan error atas suatu masukan yang tidak terduga.)

Misalkan dalam permainan sepakbola. Setiap tendangan seorang pemain akan menghasilkan reaksi pada pemain-pemain lain. Setiap tendangan seorang pemain akan mengubah kemungkinan jalan dan hasil akhir permainan. Tidak ada permainan yang persis sama.

Lalu, dimana letak kemahatahuan Tuhan?

Letaknya adalah dalam setiap peluang (probabilitas) yang mungkin timbul. Sebuah masukan akan menghasilkan banyak kemungkinan, dimana setiap kemungkinan tersebut akan menghasilkan banyak cabang kemungkinan lainnya seperti dalam sebuah deret hitung eksponensial pangkat tak terhingga.

Dalam hal ini Tuhan sudah tahu hasil akhir dari setiap percabangan yang tak terbilang jumlahnya itu.

5. Kehendak Tuhan dan Kebebasan Manusia

Lantas, mengapa Tuhan tidak serta-merta menentukan percabangan mana yang harus terjadi? Bukankah Tuhan menghendaki agar manusia taat pada perintah-perintahNya? Bukankah Tuhan ingin manusia hidup dalam kebaikan dan menjauhkan kejahatan?

Untuk itu, kita harus kembali merenungkan konsep probabilitas di atas:

  1. Tuhan sebagai penyedia algoritma program dan media interaktifnya.
  2. Manusia sebagai pengolah permainan (=dunia).
  3. Adanya petunjuk dasar guna mencapai tujuan utama permainan.

Tuhan menginginkan kita menemukan percabangan yang terbaik. Tuhan ingin manusia berikhtiar dalam mengemban 2 kewajiban dunianya. Tuhan menginginkan kita mencari Kerajaan Allah, bukan menyodorkannya bulat-bulat pada kita. Seek and ye' shall find (bdk. Matius 7:7).

Apakah dengan demikian manusia tidak bisa sekehendak hati memainkan permainan tersebut? Bisa saja. Risikonya adalah tidak mencapai angka tertinggi atau kalah atau malah gagal sama sekali (disqualified).

Di pihak lain, dengan menggunakan kemampuan akal-budinya dalam menafsirkan petunjuk dasar tersebut, manusia dapat melakukan kombinasi-kombinasi teknik dan terobosan (breaktrough) yang mengagumkan. Namun demikian, tidak berarti bahwa petunjuk dasar tersebut lantas menjadi percuma. Itu tetap menjadi penuntun dalam menentukan pilihan tindakan dalam pencapaian tujuan utama.

Apapun yang kita lakukan, kita akan tetap bermain dalam koridor algoritma probabilitas tersebut. Letak persoalan sesungguhnya adalah: apakah kita melakukan demi kebaikan bersama ataukah demi pemuasan diri sendiri? Di situlah letak pertanggungjawaban kita sebagai orang Kristen (bdk. Matius 6:33).

Pada akhirnya, permainan yang baik selalu terbuka pada setiap kemungkinan. Di situlah kita menemukan kegembiraan bermain dan belajar di panggung kemuliaan Tuhan, theatrum gloriae Dei.

Tentang hubungan antara kemahatahuan Tuhan dengan doa manusia akan saya tulis dalam posting terpisah. Kalau sempat :-(

— Kamis, 24 April 2003 02:08

From: JhonSihaloho@...
To: hkbp@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, April 23, 2003 8:42 AM
Subject: [hkbp] Q : Tuhan Mahatahu

Hi all,

Tadi malam ada diskusi yang agak berat dengan teman teman, ringkasnya adalah kami sedang membahas bahwa Tuhan itu mahatahu, bahkan sebelum manusia itu berbuat, Tuhan sudah tahu (band. Maz 139). Pertanyaan lugu dan sulit ku jawab adalah,

  1. kenapa kalo Tuhan udah tau kita akan berbuat jahat, tidak langsung dihentikanNya/dilarangNya?
  2. Tuhan pasti tau kebutuhan manusia (saya), kenapa saya harus minta sama Tuhan ???
  3. Tuhan yang memenuhi kebutuhan manusia, untuk apa saya berdoa?? bukankah Dia tahu apa yang saya butuhkan dan tahu apa yang akan terjadi pada saya ?

mohon pencerahan

ohoyangtidakpuasmemberikanjawaban

# catatan kaki