Versi cetak

Sabtu, 22 November 2003 01.07

Ibu Kita, Maria

— Perempuan yang Terlupakan

The Assumption of The Blessed Virgin Mary
The Assumption of The Blessed Virgin Mary
apologetics

Ditinjau dari sudut karya keselamatan Allah, kita kerap menganggap Maria sekedar alat/sarana saja. Ibarat pipa saluran air yang tidak memberikan makna apa-apa kepada air itu. Akibatnya, kita sering lupa akan peran pipa itu. Kita tidak pernah memberi perhatian padanya dan baru ingat pada saat air tidak mengalir akibat pipa yang bocor atau mampat.

Dalam semangat radikal para pengikut Reformasi Protestanisme di abad ke-16 (dan diwarisi hingga kini), semua hal yang berbau Katolik hendak disingkirkan dari gereja. Dan penghormatan terhadap Maria adalah salah satu hal yang hendak dibabat. Secara salah-kaprah, penghormatan (devosi/adorasi) kepada Maria dicela sebagai penyembahan yang bertentangan dengan iman Kristen.

Padahal orang-orang Katolik bukan mendewa-dewakan dan menyembah Maria, melainkan menghormatinya sebagai ibunda Tuhan sebagaimana dahulu Elisabet (ibu Yohanes Pembaptis) menghormati Maria dengan pujian dan penghormatan,

"Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?"
— Lukas 1:42-43

1. Perempuan Istimewa

Tidak ada perempuan lain yang mendapat kedudukan demikian istimewa dalam Alkitab sebagai perempuan utama selain Hawa dan Maria. Dalam Perjanjian Lama, Hawa dipandang sebagai ibu dari semua umat manusia secara lahiriah, sementara Maria dalam Perjanjian Baru menjadi ibu murid-murid Yesus. Dari kedua perempuan inilah kita mewarisi kemanusian Kristen seutuhnya.

Dalam Injil Lukas dikisahkan bagaimana reaksi Maria ketika malaikat Tuhan mengunjunginya.

Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau."

Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu.

Kata malaikat itu kepadanya: "Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah."
— Lukas 1:28-30

Keterkejutan Maria bukan dikarenakan kedatangan malaikat, melainkan makna yang dikandung dalam salam tersebut. Hal ini menandakan bahwa salam itu sangatlah tidak lazim dan sangat istimewa. Salam itu merupakan sebuah proklamasi bahwa Maria adalah orang yang dikaruniai dan disertai Tuhan. Sebuah kedudukan yang sangat istimewa yang tak seorang pun pernah mendapatkan pernyataan serupa itu.

Dalam bahasa Inggrisnya, salam itu berbunyi, "Hail, full of grace, the Lord is with you" (terjemahan yang kemudian menggunakan favored one). Maria disebut sebagai orang yang penuh rahmat. Kata ini diterjemahkan dari bahasa Yunani kecharitomene (dari asal kata charis yang bermakna rahmat/anugerah) yang mencerminkan kualitas karakter Maria.

Term Yunani ini mengandung makna rahmat yang kekal/permanen dan sempurna, yang dimiliki secara ekstensif sepanjang hidup sejak dalam kandungan. Sehingga eksegese Katolik tentang hal ini melahirkan doktrin Immaculate Conception yang menyatakan bahwa Maria sendiri dikandung tanpa dosa.

Keistimewaan Maria ini pun dikuatkan melalui penegasan malaikat Tuhan:

Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.
— Lukas 1:35

Penyertaan Tuhan membuat Maria terbebas dari dosa asal maupun dosa pribadi. Bahkan dari ayat di atas, dinyatakan bahwa yang dibawa oleh Yesus dari Maria bukan hanya jasad kemanusiaan-Nya, melainkan juga kekudusan.

Mengenai ketidakberdosaan Maria, Martin Luther, reformator Protestanisme, pun tidak menyangkalnya:

She is full of grace, proclaimed to be entirely without sin- something exceedingly great. For God's grace fills her with everything good and makes her devoid of all evil.
— Personal {"Little"} Prayer Book, 1522.

It is a sweet and pious belief that the infusion of Mary's soul was effected without original sin; so that in the very infusion of her soul she was also purified from original sin and adorned with God's gifts, receiving a pure soul infused by God; thus from the first moment she began to live she was free from all sin".
— Sermon: "On the Day of the Conception of the Mother of God," 1527.

2. Perempuan yang Percaya

Yudas mengkhianati Yesus. Petrus, murid yang paling utama, menyangkali Dia tiga kali. Murid-murid lain terbirit-birit menyembunyikan diri ketika Yesus ditangkap dan disalibkan. Mereka baru berani menampakkan diri setelah mendapat kabar bahwa Yesus sudah bangkit.

Ragu!

Ya, mereka meragukan Yesus. Hilang rasa percaya mereka kepada Yesus semenjak Dia ditangkap. Bahkan mereka sangat takut atas keselamatan jiwa mereka. (Jadi ingat kasus Pondok Nabi yang dihancurkan massa setelah pemimpinnya di-"aman"-kan pihak yang berwajib.)

Sementara, sejak mula, Maria tidak menyangsikan kehendak Tuhan. Ketika malaikat mengatakan bahwa Maria akan mengandung dan melahirkan seorang anak, dia hanya mengajukan pertanyaan,

"Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?"
— Lukas 1:34

Pertanyaan itu terdengar biasa-biasa saja. Kita tidak pernah heran bahwa pertanyaan itu sangatlah aneh, yang tentu saja tidak akan dilontarkan oleh Maria jika dia benar-benar akan menikah dengan Yusuf, tunangannya. Tetapi kita biasanya tidak terlalu mencermati hal itu karena pola pikir kita terpaku pada belum menikahnya Maria dengan Yusuf.

Alkitab memang mengatakan bahwa Maria bertunangan dengan Yusuf. Namun, pengertian bertunangan di sini tidaklah selalu akan berlanjut dengan perkawinan, melainkan semacam di bawah perlindungan. Alkitab pun tidak pernah menyebutkan bahwa pada akhirnya Yusuf mengawini Maria.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa Maria dipersembahkan oleh orangtuanya untuk mengabdi di Bait Allah. Dan mereka tetap menjaga keperawanannya (seperti suster di biara) hingga akhir hayatnya.

Maria tidak takut mendapat aib di mata masyarakat Yahudi akibat kehamilan yang terjadi tanpa pernikahan. Padahal, sesuai hukum Musa, aib semacam itu dianggap zinah yang berisiko dirajam dengan batu sampai mati. Maria tidak takut menghadapi dunia ini.

Kata Maria,

Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.
— Lukas 1:38

3. Ibu Keluarga Besar Kristus

Sebelum kematian-Nya, dari atas salib Yesus menyampaikan pesan yang berkenaan dengan keluarga dan pengikut-Nya yang ditinggalkan di dunia ini. Injil Yohanes mencatatnya sebagai berikut:

Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu!". Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.
— Yohanes 19:26-27

Dengan perkataan-perkataan itu, Yesus menyatakan bahwa murid yang dikasihi-Nya (Yohanes) menjadi anak Maria dan Maria menjadi ibu Yohanes. Mereka dibaptis-Nya menjadi satu keluarga. Yesus menyerahkan ibu-Nya ke dalam perlindungan murid yang dikasihi-Nya dan menyerahkan murid-Nya ke dalam asuhan Maria.

Dalam hal ini, orang Katolik menempatkan diri sebagai pengikut/murid yang dikasihi Yesus dan menjadi bagian dari keluarga besar Kristus. Itu sebabnya mereka menempatkan Maria sebagai bunda rohani mereka, sebagai ibu mereka sendiri.

Tidak ada orang yang mengenal kita sebaik ibu sendiri. Dialah yang paling bisa berempati pada luka-luka, kegembiraan, keresahan, dan berbagai suka-duka kita. Tidak ada jalinan yang lebih kuat dibanding ikatan batin seorang ibu kepada anaknya. Tidak ada doa yang lebih tulus daripada doa seorang ibu bagi anak-anaknya.

Itulah yang mendasari kepercayaan orang Katolik untuk menghormati Maria dan berdoa bersama-sama (bukan kepada!) Maria kepada Tuhan. Ketidakberdosaan Maria adalah sebuah jaminan atas kebenaran doa yang dipanjatkannya.

Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.
— Yakobus 5:16

Saya jadi ingat lirik sebuah lagu yang membuat saya selalu merinding haru, "di doa ibuku, namaku disebut...".

— Sabtu, 22 November 2003 01:07

# Pandangan umum terhadap Bunda Maria

Mary is the Mother of Jesus and the Mother of all of us even though it was Christ alone who reposed on her knees... If he is ours, we ought to be in his situation; there where he is, we ought also to be and all that he has ought to be ours, and his mother is also our mother.
— Martin Luther, Sermon, Christmas, 1529.

No woman is like you. You are more than Eve or Sarah, blessed above all nobility, wisdom, and sanctity.
— Martin Luther, Sermon, Feast of the Visitation, 1537.

# Tentang doa Salam Maria

Our prayer should include the Mother of God. What the Hail Mary says is that all glory should be given to God, using these words: "Hail Mary, full of grace. The Lord is with thee; blessed art thou among women and blessed is the fruit of thy womb, Jesus Christ. Amen!"

You see that these words are not concerned with prayer but purely with giving praise and honor. We can use the Hail Mary as a meditation in which we recite what grace God has given her. Second, we should add a wish that everyone may know and respect her. He who has no faith is advised to refrain from saying the Hail Mary.
— Martin Luther, Personal Prayer Book, 1522.

# Tentang keperawanan abadi Bunda Maria (Perpetual Virginity)

It is an article of faith that Mary is Mother of the Lord and Still a Virgin... Christ, we believe, came forth from a womb left perfectly intact.
— Works of Luther.

There have been certain folk who have wished to suggest from this passage [Matt 1:25] that the Virgin Mary had other children than the Son of God, and that Joseph had then dwelt with her later; But what folly this is! For the gospel writen did not wish to record what happened afterwards; he simply wished to make clear Joseph's obdience and to show also that Joseph had been well and truly assured that it was God who had sent His angel to Mary. He had therefore never dwelt with her nor had he shared her company... And besided this Our Lord Jesus Christ is Called the first-born. This is not because there was a second or a third, but because the gospel writer is paying regard to the precedence. Scripture speak thus of naming the first-born whether or no there was any question of the Second.
— John Calvin, Sermon on Matthew 1:22-25.

# Tentang pendapat bahwa Bunda Maria dikandung tanpa noda dosa (Immaculate Conception)

It is a sweet and pious belief that the infusion of Mary's soul was effected without original sin; so that in the very infusion of her soul she was also purified from original sin and adorned with God's gifts, receiving a pure soul infused by God; thus from the first moment she began to live she was free from all sin".
— Martin Luther, Sermon: "On the Day of the Conception of the Mother of God," 1527.

She is full of grace, proclaimed to be entirely without sin- something exceedingly great. For God's grace fills her with everything good and makes her devoid of all evil.
— Martin Luther, Personal {"Little"} Prayer Book, 1522.

# Tentang penghormatan kepada Bunda Maria

The veneration of Mary is inscribed in the very depths of the human heart.
— Martin Luther, Sermon, 1 September 1522.

# Tentang kemungkinan penghormatan kepada Maria dapat menyingkirkan peran Yesus Kristus

One should honor Mary as she herself wished and as she expressed it in the Magnificat. She praised God for his deeds. How then can we praise her? The true honor of Mary is the honor of God, the praise of God's grace. Mary is nothing for the sake of herself, but for the sake of Christ. Mary does not wish that we come to her, but through her to God.
— Martin Luther, Explanation of the Magnificat, 1521.

Jumat, 07 November 2003 06.49

Belajar Memasak di Festival Rakyat

— Sebuah Refleksi tentang Forum Diskusi GKPS

Grand Aventures in Cooking
Grand Aventures in Cooking
4shared.com

Ada sebuah pepatah yang mengatakan rumput di pekarangan tetangga lebih hijau daripada rumput di pekarangan rumah kita sendiri. Kedengarannya memang bertendensi negatif. Tetapi, jika kita mau lebih arif, kita bisa melihat menarik hikmahnya dari berbagai sisi:

  1. Apakah dengan demikian kita lebih suka menikmati atau bermain di pekarangan tetangga?

    Alangkah gawatnya jika istri tetangga lebih cantik daripada istri kita sendiri :-). Orang-orang semacam ini adalah para pengkhayal yang lupa pada kenyataan dirinya sehingga terlena dalam mimpi di siang bolong ataupun orang-orang yang lupa kacang akan kulitnya alias malu pada identitas aslinya.

  2. Apakah kita akan memuji-muji pekarangan tetangga seraya menghina pekarangan kita sendiri?

    Inilah tipologi penggerutu yang hanya ingin mendapat kenikmatan tanpa mau berupaya. Dia ingin orang lain mengerjakan semuanya sampai selesai sehingga dia bisa berleha-leha menikmatinya.

  3. Apakah kita akan mempelajari kiat-kiat tetangga kita agar kita pun memiliki pekarangan yang hijau dan asri?

    Jika kita mau berbesar hati pada kekurangan kita dan mau rendah hati untuk memperbaikinya, niscaya kita pun akan berbangga akan keberadaan kita. Ini pekerjaan yang tidak mudah karena menuntut kita menyiangi pekarangan, menanam, memupuk, menyirami, dan sebagainya.

  4. dan lain-lain (silakan jabarkan sendiri)

Penghayatan kita terhadap pesan orang tua jaman baheula melalui pepatah itulah yang menjadi cermin jati diri kita.

Fenomena itu jugalah yang kita hadapi saat "merantau" ke berbagai forum diskusi lain. Ketika kita mengabarkan betapa asrinya taman tetangga, kita akan dihadapkan pada beberapa sikap tanggapan seperti di atas. Kabar yang kita sampaikan bisa menjadi kabar baik ataupun kabar buruk.

Sepanjang yang saya ketahui dari berbagai forum diskusi yang saya ikuti, tidak satupun dari mereka yang dapat dikatakan sempurna. Kelebihan mereka adalah keterbukaan untuk menerima berbagai persoalan yang diangkat oleh para anggotanya, serta kesetiakawanan sesama anggota untuk menjadi bagian dalam pemecahan masalahnya.

Tentu saja tidak dapat dihindari adanya oknum-oknum yang egois dan keras-kepala. Tetapi, semua itu adalah proses pembelajaran bersama yang dapat dijadikan bagian paling bermutu dari resolusi konflik, yakni kesediaan untuk menerima satu sama lain, yang pada intinya membutuhkan kesabaran dan kesadaran.

Forum diskusi semacam mailing list (milis) GKPS ini bukanlah media indoktrinasi satu arah. Forum ini adalah media berbagi pemahaman dan ajang menguji buah pikiran dalam adu argumentasi. Sebuah forum diskusi yang baik dapat diibaratkan sebagai kuali penggodogan. Semua bahan yang diperlukan dimasukkan sesuai takarannya dan diolah sesuai dengan tujuannya.

Forum diskusi juga bukanlah sebuah restoran siap-saji (fast food), dimana kita bisa memesan makanan matang sesuai selera kita. Sebaliknya, forum diskusi dapat dianalogikan dengan sebuah festival rakyat yang menyajikan berbagai hidangan. Kita semua adalah juru masaknya. Dan kita semua juga yang akan menikmati sajiannya.

Mengharapkan sajian matang tanpa mau repot berpanas-panas di dapur adalah mental priyayi (ningrat) feodal atau bayi yang hanya bisa menanti disuapi. Dan bukan itu —kalau saya tidak keliru— tujuan forum diskusi GKPS ini. Kita semua hadir di sini untuk saling mendewasakan pikiran, yang untuk kemudian —diharapkan— dapat dipancarkan dalam sikap hidup.

Walau tidak semua hidangan sesuai dengan selera kita, kita tidak berhak menetapkan jenis-jenis hidangan yang boleh disediakan di atas meja, karena orang lain memiliki selera yang berbeda dengan kita. Kita tidak berhak membatasi topik bahasan selama masih berada dalam koridor visi dan misi forum diskusi GKPS yang ditetapkan oleh pemilik (owner) forum.

Lagipula, semua posting ke forum ini sudah diperiksa oleh moderator. Ibaratnya dalam literatur Katolik, sudah mendapat cap imprimatur (sudah diperiksa) dan nihil obstat (tidak berkeberatan) dari pihak yang berwewenang.

Soal bumbu juga tidak perlu dijadikan persoalan besar. Ibarat makan saksang, ada yang tidak kuat pedas, sementara bagi yang lain masih kurang menggigit. Bagi seseorang, diskusi dan debat yang bersemangat (keras) merupakan ajang berdialektika yang menguatkan jiwanya, sementara bagi orang lain tampak sebagai debat kusir atau pertengkaran.

Semuanya sah-sah saja. Kita hanya perlu kembali ke tujuan awal kita bergabung di sini: apakah hendak makan di restoran siap-saji ataukah berpartisipasi aktif dalam festival rakyat yang meriah? Oleh sebab itu kita perlu mengetahui secara pasti model forum diskusi yang kita ikuti. Dan sejauh yang saya alami, model forum GKPS adalah festival rakyat. Kitalah yang dituntut meramu semua bahan yang kita punya agar dapat membuat hidangan yang nikmat untuk disantap bersama.

Di sinilah peran moderator sebagai wasit, jangan sampai semua hidangan terlalu pedas sehingga hanya bisa dinikmati oleh segelintir kecil orang saja, yang mengakibatkan kemubaziran. Juga menjaga agar festival tidak terlalu hingar-bingar dengan suara-suara keras yang tidak keruan semisal caci-maki.

Ada beberapa forum diskusi yang moderatornya cukup rajin [dan punya waktu] untuk menyimpulkan diskusi. Kesimpulan itu tidak musti merupakan suara tunggal. Bisa saja tetap ada 2 pendapat yang bertentangan, tetapi moderator bisa menarik inti dari masing-masing pendapat tersebut untuk dikaji sendiri oleh pembacanya. Memang tidak mudah menjadi moderator forum diskusi. Saya bukannya menuntut harus begitu lho... :-)

Berbicara soal bahan-bahan religius, realitas, serta teknologi dalam satu racikan; saya hanya bisa menyarankan salah satu menu, yaitu Teologi Pembebasan. Dalam teologi itu dibahas peran religiositas —khususnya Kristologi dan Eklesiologi— dalam menyikapi persoalan nyata marjinalisasi kaum miskin. Jika membutuhkan menu hidangannya, bisa saya rekomendasikan:

  1. Sebagai pembukaan (cocktail):
    Teologi Pembebasan, Michael Lowy, INSIST Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.
    Hidangan ini sangat ringkas, padat, dan gurih seperti nyamikan (camilan).

  2. Sebagai pembangkit selera (appetizer):
    Teologi Pembebasan — Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, Fr. Wahono Nitiprawiro, LKiS, Yogyakarta, 2000.
    Dengan hidangan ini, metabolisme dalam perut kita sudah lebih siap untuk menerima makanan berat.

  3. Sebagai hidangan utama (main course):
    Teologi Pembebasan Asia, Michael Amaladoss, Pustaka Pelajar, INSIST Press, Cindelaras, Yogyakarta, 2001.
    Hidangan ini lebih dianjurkan mengingat kemiripan kultur Indonesia dengan negara-negara Asia lainnya (Korea, India, Filipina) dibanding dengan Amerika Latin yang menjadi asal-muasal teologi ini.

  4. Sebagai penutup (desert):
    Teologi Gustavo Gutierrez — Refleksi dari Praksis Kaum Miskin, Martin Chen Pr., Kanisius, Yogyakarta, 2002.
    Dalam sajian penutup ini kita bisa menikmati asal-muasal lahirnya pemikiran teologi tersebut dari teolog utamanya sehingga semua hidangan yang sudah kita santap lebih terhayati rasanya.

    (Saya baru sadar kalau semua hidangan dalam menu di atas berasal dari Yogyakarta. Jangan-jangan semuanya adalah gudeg :-).)

  5. Sebagai oleh-oleh, kita bisa minta dibungkuskan kudapan dalam kemasan merah-muda yang menawan:
    Iman: Akali dan Nir-Akali — Mengenai Pengetahuan Iman dan Kenyataan, C. Sanders, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1977.
    Dalam kemasan kecil ini, kita diajak menikmati hubungan iman Kristen dengan ilmu
    pengetahuan.

  6. Atau sekotak permen berwarna kuning dengan label:
    Biarlah Kemuliaan Allah Terpancar, Peter G. van Breemen SJ., Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2000.
    Dalam kotak ini kita bisa menikmati renungan-renungan tentang hubungan iman dengan kehidupan sehari-hari.

Jika ingin hidangan matangnya, kita bisa mampir di restoran Gramedia atau Gunung Agung atau Obor atau bahkan di bursa buku murah Palasari Bandung. Tetapi jika ingin makan ramai-ramai di festival rakyat, mari kita datang ke forum diskusi GKPS ini dengan membawa bahan dan bumbu sendiri. Kita masak sama-sama dan nikmati sama-sama juga.

SELAMAT DATANG DI FESTIVAL RAKYAT FORUM DISKUSI GKPS!
MARI BELAJAR MEMASAK BERSAMA.

— Jum'at, 07 November 2003 06:49

Sabtu, 18 Oktober 2003 10.51

Karunia Keselamatan #3

— Antara Iman dan Perbuatan #3

Saint Paul at His Writing Desk
Saint Paul at His Writing Desk
by Rembrandt

Walau berkali-kali mengatakan "imanmu menyelamatkanmu", Yesus tidak pernah mengatakan hanya iman sajalah yang dapat menyelamatkan. Juga tidak pernah Yesus mengatakan bahwa "iman adalah karunia Allah". Malah berulangkali Yesus menekankan untuk melakukan kehendak Bapa agar selamat. (Harap dicermati: melakukan = bertindak, bukan hanya berserah pada karunia!)

1. Pengutamaan Iman

Pauluslah yang mula-mula menekankan keutamaan iman dalam karya keselamatan. Tetapi, Paulus tidak mengatakan hanya iman semata. Malah dia mengatakan bahwa kasih (= perbuatan) mengatasi iman. Misalnya:

Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.
— 1 Korintus 13:2

Sangat bisa dimengerti mengapa ayat-ayat semacam ini tidak sering digaungkan di kalangan jemaat. [Hampir] semua gereja reformasi dicengkeram kuat oleh doktrin sola fide yang dicanangkan oleh Martin Luther berdasarkan tafsirnya atas [sebagian] surat-surat Paulus.

Oleh sebab itu, ada baiknya kita mencoba memahami mengapa Paulus memandang perlu mengutamakan iman.

Hampir semua surat Paulus bersifat kasuistis, kontekstual, dan situasional dalam rangka menjawab persoalan-persoalan lokal yang dihadapi suatu jemaat/komunitas pada saat itu, yang hampir semuanya adalah kaum kafir (gentiles) ataupun orang baru-Kristen yang masih berbaur secara rapat dengan para penyembah berhala.

Sinkretisme adalah salah satu jenis persoalan krusial yang sering dihadapi Paulus. Banyak orang baru-Kristen yang masih belum teguh pendiriannya, sehingga kerap memadukan berbagai unsur keagamaan, filsafat gnostisk, maupun mistisisme (magis, klenik, tenung, sihir).

Itu sebabnya Paulus memandang perlu "meluruskan" pandangan mereka dengan menanamkan pondasi yang kokoh. Dan, pondasi yang dimaksud adalah iman.

Bahkan, agar mereka —yang masih rapuh itu— tidak tergelincir lagi ke kesesatan, Paulus tidak segan-segan mengkarantina mereka dengan larangan bergaul dengan para pendosa (bdk. 1Korintus 5:9-11, 2Korintus 6:14-17, 2Tesalonika 3:6, 2Timotius 3:1-5, Titus 3:10), halmana sangat bertentangan dengan perilaku dan ajaran Yesus sendiri.

2. Orang-orang Beriman

Jika kita membandingkan Paulus dengan Petrus, Yakobus, atau Yohanes, maka kita akan menemukan perbedaan yang cukup mencolok. Ketiga tokoh ini [hampir] tidak pernah memusatkan perhatiannya pada iman, malah lebih banyak membicarakan perbuatan.

Dalam tulisan  ini, saya gunakan asumsi yang kerap digunakan oleh sebagian orang Kristen bahwa para penulis kitab-kitab yang saya kutip di bawah adalah benar-benar Petrus, Yakobus, dan Yohanes yang menjadi murid-murid Yesus.

Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka. [...] Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkamkan kepicikan orang-orang yang bodoh.
— 1 Petrus 2:12, 15

Karena itu baiklah juga mereka yang harus menderita karena kehendak Allah, menyerahkan jiwanya, dengan selalu berbuat baik, kepada Pencipta yang setia.
— 1 Petrus 4:19

Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? [...] Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. Tetapi mungkin ada orang berkata: "Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan", aku akan menjawab dia: "Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku." [...] Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong?
— Yak 2:14, 17-18, 20

Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.
— 1 Yohanes 3:18

Saudaraku yang kekasih, janganlah meniru yang jahat, melainkan yang baik. Barangsiapa berbuat baik, ia berasal dari Allah, tetapi barangsiapa berbuat jahat, ia tidak pernah melihat Allah.
— 3 Yohanes 1:11

Mengapa mereka berbeda pendekatan dengan Paulus?

Petrus, Yakobus, dan Yohanes melaksanakan pelayanannya pada orang-orang Yahudi, yang pada umumnya sudah menganut paham monoteisme, sehingga tidak usah diajari lagi soal iman. Sedangkan kaum kafir yang dihadapi Paulus masih harus ditunjukkan bagaimana caranya "beragama" yang benar. Mereka adalah orang-orang yang baru belajar bagaimana seharusnya orang beragama.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jemaat binaan Paulus adalah embrio-embrio yang baru terbentuk, sedangkan jemaat binaan Petrus, Yakobus, dan Yohanes adalah orang-orang beriman yang perlu penyempurnaan ke kedewasaan spiritual.

Hingga surat terakhirnya —yang ditujukan kepada orang-orang di Kolose— Paulus masih saja dihadapkan pada persoalan-persoalan lokal jemaat seperti filsafat kosong dan palsu, kepercayaan tradisional, makanan halal-haram, pertengkaran, dan lain-lain. Namun demikian, kali ini dia pun sudah menekankan pentingnya sikap dan perbuatan baik, tidak melulu dijangkarkan pada iman semata.

Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. (Kolose 3:12-14, 23)

Dalam suratnya ini, Paulus juga memberikan arahan bagaimana perbuatan yang selayaknya dilakukan oleh seorang istri, suami, anak, hamba, tuan.

3. Sola Fide

Di kemudian hari, Martin Luther mengemukakan tesis sola fide karena dia dihadapkan pada kenyataan adanya pembodohan umat secara massal oleh oknum-oknum gereja yang menjual surat pengampunan dosa (indulgensi). Saat itu, timbul pemahaman di kalangan jemaat bahwa keselamatan hanya bisa diperoleh jika memiliki surat tersebut.

Kondisi ini, sedikit-banyak, mirip dengan kaum kafir yang dihadapi oleh Paulus, yakni pembelokan makna kehidupan beragama yang sejati pada kasih Allah Yang Esa. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemahaman di kalangan jemaat pada masa Luther tidak lebih baik daripada di masa Paulus. Mereka sama-sama menghadapi kesesatan dalam kedangkalan pemahaman.

Oleh sebab itu, dapatlah dimengerti mengapa Luther mengambil-alih cara Paulus meneguhkan jemaatnya dengan menekankan keselamatan pada iman. Dia ingin membebaskan jemaat dari "kuasa-kuasa" lain yang melingkupi alam berpikir dan kerohanian jemaat.

Sayangnya, kebanyakan orang di masa kini lebih suka tetap menjadi embrio spiritual daripada bertumbuh, berkembang, dan berbuah dengan mewujudnyatakan imannya dalam perbuatan. Dalam anggapannya, perbuatan bukanlah sebuah tanggung-jawab yang merupakan penjelasan (explanation) imannya.

Bahkan, yang lebih celaka, tidak jarang mereka menghakimi orang-orang yang berbuat baik sebagai para pengejar pahala yang beranggapan bahwa keselamatan bisa ditebus dengan perbuatan baik. Mereka menuding bahwa perbuatan baik tidak akan menyelamatkan.

4. Upah Sorgawi

Padahal, bukan satu dua kali Yesus bicara soal "upah" atas apa yang kita lakukan ataupun tidak kita lakukan.

Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.
— Matius 5:12

Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?
— Matius 5:44-46

Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.
— Matius 6:3-4

Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.
— Matius 6:6

Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu. Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.
— Matius 6:14-18

Barangsiapa menyambut seorang nabi sebagai nabi, ia akan menerima upah nabi, dan barangsiapa menyambut seorang benar sebagai orang benar, ia akan menerima upah orang benar. Dan barangsiapa memberi air sejuk secangkir sajapun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya.
— Matius 10:41-42

Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.
— Lukas 6:35

Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.
— Lukas 14:13-14

Apa yang bisa menjadi upah kita jika kita tidak bekerja?

Jika dikatakan bahwa keselamatan adalah karena iman, sedangkan keselamatan dan iman itu sendiri adalah karunia Allah, lantas apa bagian kita yang akan dihargai Allah dengan upah sorgawi? Apa yang patut diberi upah?

Sudah mendapat karunia [iman], masih mendapat upah [keselamatan] pula atas sesuatu yang sama sekali tidak dikerjakannya. Alangkah tamaknya orang Kristen ini ...

Teringat saya pada satu berita kecil di koran beberapa waktu yang lalu, tentang seorang nenek yang menolak dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diprogramkan pemerintah sebagai "permen penghibur" atas kenaikan BBM yang luar-biasa. Nenek sederhana ini mengatakan, "Mengapa saya harus diberi uang atas sesuatu yang tidak saya kerjakan?".

Betapa dahsyatnya integritas orang kecil itu! Padahal dia bukan seorang yang tergolong berkecukupan. Apalagi, di masa sekarang ini, bukanlah sesuatu hal yang janggal jika seseorang ingin mendapat imbalan tanpa harus bekerja, ibarat bayi yang masih perlu disuapi dan disusui.

Bayi-bayi dan kanak-kanak memang perlu gizi yang baik untuk bertahan hidup dan tumbuh sehat. Mereka harus selalu disuapi dengan ASI atau makanan lunak. Mereka menggantungkan hidupnya sepenuhnya pada belas kasih orang-tuanya.

Sementara orang-orang dewasa harus bekerja agar dapat bertahan hidup dan dituntut tanggung-jawabnya atas segala hal. Mereka harus mengeluarkan secara optimal kemampuan yang sudah mereka peroleh dan asah semasa muda untuk mengaktualisasikan dirinya.

Entah di posisi mana kita hendak menempatkan diri. Bayi ataukah dewasa rohani?

— Sabtu, 18 Oktober 2003 10:51
[revisi: Kamis, 29 Desember 2005 02:34]

Selasa, 14 Oktober 2003 07.31

Karunia Keselamatan

— Antara Pemilihan dan Kesempatan

Snail
source unknown

1. Ketidaklayakan Manusia

Ada seorang rekan diskusi yang mengajukan tesis kondisi manusia sebagai berikut:

Semua manusia tanpa kecuali tidak ada yang layak dihadapan Allah. Patut menerima murka-adil Allah. Tidak memiliki pengharapan dan pertolongan untuk memperoleh keselamatan, baik dari dirinya sendiri atau di luar dirinya maupun dari dunia ini.

Secara pribadi, saya sama sekali tidak punya masalah dengan tesis tersebut. Semenjak manusia pertama jatuh ke dalam dosa, maka semua manusia menanggung akibatnya; yakni kerja, penderitaan, dan kematian. Dan dalam saat yang sama, saya juga tidak bermasalah dengan pernyataan bahwa keselamatan itu adalah anugerah Tuhan, yang tidak mungkin diperoleh manusia dari upayanya saja. Keselamatan adalah hak prerogatif Tuhan.

Jika hal itu yang dimaksud sebagai ketidaklayakan manusia di hadapan Allah, mari kita gunakan konsep tersebut dalam diskusi ini demi memudahkan pembicaraan.

Tetapi, sangatlah keliru jika mengartikan saya menganggap diri layak di hadapan Tuhan ketika saya mempersoalkan dimana letak kasih dan keadilan Tuhan jika keselamatan itu diberikan Tuhan melalui pemilihan awal yang sudah ditetapkan sejak semula (predestinasi). Bukan demikian maksudnya. Saya hanya merasa perlu mengenali secara baik Tuhan yang [katanya] penuh kasih dan keadilan itu melalui kacamata predestinasi.

2. Pengenalan akan Tuhan

Sebagai orang beragama, saya merasa perlu untuk MENGENAL Tuhan yang saya sembah, karena itulah yang berkali-kali diajarkan Yesus. Maka, saya perlu mengenali Allah melalui pengenalan saya pada Yesus.

Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia."
— Yohanes 14:7

Oleh sebab itu, saya berharap agar persoalan ini jangan dijadikan sumir dengan dalih "tidak boleh mempertanyakan keadilan Tuhan". Itu hanya alasan yang tidak lebih dari kilah (denial) yang sangat mirip dengan penguasa di jaman Orde Baru ataupun otoritarianisme monarki absolut a-la Louis XIV yang mengatakan "L'etat c'est moi" (negara adalah saya), yang membuat keputusan mutlak tanpa boleh dipertanyakan sama sekali.

Yesus yang saya kenal dari Injil telah memperkenalkan Allah yang penuh kasih dan keadilan, bukan Allah otoriter yang tidak boleh dipertanyakan sebagaimana halnya Allah dalam Perjanjian Lama (PL).

Maka, sangatlah wajar jika seseorang bertanya, "Dimana letak keadilan dan kasih yang digembar-gemborkan oleh orang Kristen jika dari semua manusia [yang tidak layak itu] hanya sebagian saja yang akan selamat berdasarkan pemilihan awal yang dilakukan Tuhan [bahkan] sebelum manusia dan alam semesta ini ada?"

3. Injil Bukanlah Kabar Baik Kasih Allah?

Kalau memang demikian halnya, maka semua jargon kasih yang menjadi andalan orang Kristen akan menjadi omong-kosong yang menggelikan. Dengan demikian, semua orang Kristen yang mewartakan kabar baik (Injil) kepada orang lain sebenarnya tidak lebih dari penipu murahan karena mereka tidak sejak awal jujur mengatakan bahwa Allah sudah memilih orang-orang tertentu saja untuk diselamatkan. Dan sudah jelas bahwa hal itu bukanlah sebuah kabar baik!

Saya belum pernah menemukan orang yang mengabarkan Injil kepada orang lain dengan diawali penjelasan tentang konsep pemilihan ini. Pada umumnya, semua selalu diawali dengan kata-kata "Allah/Yesus mengasihi saudara". Bukankah ini sebuah penipuan?

Jika kita maju dengan konsep pemilihan awal ini, jangankan orang baru, orang yang sudah lama menjadi Kristen pun akan mempertanyakan kejelasan konsep kasih dan keadilan Allah.

Lagipula, bagaimana orang bisa mempercayai omongan kita, sementara kita tidak bisa membuktikan bahwa kita (yang mengabarkan Injil) adalah orang pilihan Allah? Ibarat orang buta menuntun orang buta, akan sama-sama terjerumus ke dalam lubang!

4. Ke-Bapa-an Allah

Yesus membahasakan "Bapa" kepada Allah bukan dengan maksud sekedar pemanis sapaan. Makna yang dibawa dengan kata itu mengubah secara drastis konsep Allah yang tidak/belum banyak tersentuh dan dieksplorasi dalam PL. Allah yang diperkenalkan Yesus adalah Allah yang peduli pada semua orang, karena semua orang adalah buah karya-Nya juga.

Sekali lagi, saya contohkan: apakah mungkin kita, sebagai seorang ayah/ibu, memutuskan akan memilih salah satu anak kita sebagai pewaris kita sementara anak lain akan dibuang? Padahal anak-anak itu belum lahir. Dan dalam hal ini, kita sama sekali tidak akan memperhitungkan apa yang akan berlangsung pada diri masing-masing anak tersebut.

Mungkinkah kita melakukan kekejaman semacam itu?

Jika kita saja tidak mungkin melakukannya, mengapa Allah yang mahakasih dan mahaadil (yang artinya jauh melampaui kemampuan manusia untuk melakukannya) malah melakukan perbuatan yang jauh lebih rendah daripada manusia? Bahkan binatang saja tidak sekejam itu, sebagaimana digambarkan dalam pepatah "harimau tidak akan memakan anaknya sendiri".

Dan kasih Allah itu secara gamblang sudah digambarkan oleh Yesus:

Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya."
— Matius 7:7-11

Yesus menyatakan bahwa kasih Allah terbuka bagi setiap orang yang mau meminta, bukan bagi orang yang sudah dipilih saja.

Dalam kesempatan lain, kita bisa membahas makna "orang-orang terpilih".

5. Penebusan Yesus adalah Kesempatan bagi Semua Orang

Dalam pemahaman saya, setiap orang [yang tidak layak itu] berhak memperoleh kesempatan untuk selamat asal mereka mau bertobat. Dengan demikian, menjadi sangat jelaslah tujuan kedatangan Yesus ke dunia ini, bukan sekedar sandiwara konyol.

Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus mengatakan bahwa kejatuhan Adam ke dalam dosa mengakibatkan semua orang beroleh hukuman (berdosa). Tetapi, karena Yesus, maka semua orang pun memperoleh kesempatan (pembenaran) untuk hidup.

Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup. Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar.
— Roma 5:18-19

Sebagai konsekuensi logisnya, baik hukuman maupun penebusan ini tidak ditujukan pada orang-orang tertentu (pilihan) saja. Masakan semua orang ditakdirkan menanggung akibat dosa yang diawali oleh Adam tetapi tidak semua orang diperkenankan mendapat kesempatan diselamatkan?

Apakah mungkin Tuhan yang mahakasih dan mahaadil itu menjatuhkan hukuman pada semua orang tetapi tidak memberi pengampunan pada semua orang juga? Padahal hukuman massal itu sendiri bukan keinginan mereka.

Betapa menggelikannya. Sama sekali tidak sesuai dengan gambaran Allah yang disampaikan oleh Yesus.

6. Pertobatan adalah Pemenuhan Kesempatan

Tentu saja pertanyaan apakah seseorang akan benar-benar memperoleh keselamatan adalah soal lain yang tergantung pada keputusan mutlak Allah. Tetapi, semua orang sudah dibukakan kesempatan untuk memperoleh keselamatan itu.

Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka.
— 2 Korintus 5:15

Kelanjutan dari kesempatan itu memang terserah kepada orang yang bersangkutan, apakah mau menerima kebenaran yang sudah diajarkan dan diperlihatkan oleh Yesus atau tidak.

Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia: itu kesaksian pada waktu yang ditentukan.
— 1 Titus 2:3-6

Dalam pemahaman orang Kristen, kesediaan ini diwujudkan dalam bentuk kerelaan dipimpin oleh Yesus.

Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya, dan Ia dipanggil menjadi Imam Besar oleh Allah, menurut peraturan Melkisedek.
— Ibrani 5:8-10

Sehingga, jelaslah keadilan Tuhan itu, yakni semua orang akan dihakimi menurut perbuatannya, bukan karena pilihan yang tidak adil itu.

Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini.
— 1 Petrus 1:17

Yang pada intinya adalah kasih Allah yang menginginkan semua manusia bisa selamat dengan pertobatannya (berbalik pada Allah).

Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.
— 2 Petrus 3:9

Jika orang Kristen konsisten dengan jargon klasiknya bahwa Yesus adalah Juruselamat semua manusia, bahkan dikatakan sebagai Juruselamat dunia, maka orang Kristen harus mau menerima kenyataan bahwa semua manusia pun memiliki kesempatan untuk memperoleh keselamatan itu.

Itulah sebabnya kita berjerih payah dan berjuang, karena kita menaruh pengharapan kita kepada Allah yang hidup, Juruselamat semua manusia, terutama mereka yang percaya.
— 1 Timotius 4:10

Walau orang Kristen percaya bahwa mereka yang percaya kepada Yesus akan memperoleh keutamaan dalam keselamatan, hal itu sama sekali tidak berarti bahwa Yesus datang hanya untuk sebagian orang terpilih saja.

Jadi, perlu digarisbawahi, bahwa yang saya tentang bukanlah masalah "semua manusia tidak layak di hadapan Tuhan" melainkan "pemilihan yang tidak jelas juntrungannya, yang sama sekali jauh dari gambaran kasih dan keadilan Tuhan". Penekanan saya adalah "semua orang mempunyai kesempatan untuk selamat melalui penebusan Yesus".

— Selasa, 14 Oktober 2003 07:31
[revisi: Senin, 18 Agustus 2008 23:37]

From: logoscriptura <logoscriptura@yahoo.com>
To: Bible-Forums@yahoogroups.com; fordian@yahoogroups.com; alkitab-LAI@yahoogroups.com
Sent: Monday, 13 October 2003 14:26
Subject: [Bible-Forums] Semua manusia tidak ada yang layak...! --> sdr. alof

Date: Sat, 11 Oct 2003 08:29:56 +0700
From: "~alof"
Subject: Re: Re: Hati-hati dengan pengajaran Predestinasi.....!?-->Sdr. Yohannes

----------cut-------------cut----------

Intinya adalah: panggilan dan keselamatan adalah terbuka bagi SEMUA ORANG yang mau mendengarkan ajaran Yesus. Sehingga sangat bisa dipahami untuk apa Yesus datang. Bukan hanya untuk mempermanis sandiwara konyol dan tragis yang dirancang oleh penguasa yang absurd, otoriter, tidak adil, tidak mengasihi ciptaannya sendiri, serta hanya memberikan harapan kosong; melainkan sungguh-sungguh mewartakan kabar baik tentang kasih Allah.

Salam,
~alof

S14K:
Kalau anda membuat pernyataan diatas, apakah itu berarti anda tidak setuju dengan tesis 3? Menurut kesimpulan saya, anda percaya bahwa manusia yang sudah jatuh kedalam dosa masih layak dihadapan Allah. Untuk lebih meyakinkan saya, mohon Anda membuat antitesis dari tesis 3. Sehingga perbedaan kita menjadi jelas dan terhindar dari diskusi yang tidak sehat.

Mari kita lihat tesis nomor 3:

"Semua manusia tanpa kecuali tidak ada yang layak dihadapan Allah. Patut menerima murka-adil Allah. Tidak memiliki pengharapan dan pertolongan untuk memperoleh keselamatan, baik dari dirinya sendiri atau diluar dirinya maupun dari dunia ini".

Mungkin ini yang Anda maksud ketika anda mempertanyakan keadilan Allah:

"Dimanakah keadilan Allah, kalau untuk sebagian orang Dia memberikan kasih-Nya (orang pilihan), dan membiarkan sisanya untuk menerima penghukuman?"

Sdr. Alof, kita sebenarnya sekali-kali tidak boleh mempertanyakan keadilan Allah. Karena menurut keadilan Allah, kita semua tanpa kecuali harusnya dihukum di Neraka. Setuju..??? Pernyataan saya ini konsisten dengan tesis 3: "Tidak ada seorang pun yang layak dihadapan Allah yang Maha Kudus". Bahkan kesalehan manusia seperti kain kotor dihadapan-Nya (Yesaya 64:6).

Mempertanyakan keadilan Allah dalam ketetapan-Nya memilih, artinya sama dengan menganggap diri layak dihadapan Allah: "Kalau sebagian yang dipilih, maka Allah juga wajib memilih sisanya...!". Ini jelas kesimpulan yang salah. Menganggap layak diri dihadapan Allah yang Kudus adalah kesombongan yang besar. Menganggap diri tidak layak dihadapan Allah yang Kudus itulah ketulusan yang sejati. Dan hanya mereka yang telah mengalami regenerasi dapat bertindak dengan ketulusan yan sejati. (Ingat kisahnya orang Farisi dan pemungut cukai)

Orang yang tidak dipilih pasti menerima keadilan Allah, yaitu dihukum oleh karena ketidaklayakannya/kesalahannya sendiri dan tempatnya di Neraka.

Orang yang dipilih sebenarnya adalah orang yang tidak layak juga, tetapi kasih karunia Allah telah diberikan untuk mereka. Keadilan Allah yang harus mereka "bayar" kepada Allah telah dibayar lunas oleh pengorbanan Kristus di Kalvari. Kristus mati hanya untuk mereka yang telah diberikan oleh Allah kepada Kristus.

Mungkin dalam pikiran anda timbul pertanyaan:"Kalau begitu percuma saja pertobatan orang-orang yang tidak dipilih, toh akhirnya mereka ke neraka?"

Jawab: Tidak akan pernah ada kondisi seperti pertanyaan diatas. Karena orang yang tidak layak, orang yang diperbudak oleh dosa, tidak pernah akan bertobat. Pertobatan sejati hanya di alami oleh mereka yang diregenerasi olek Kuasa Roh Kudus.

Mudah-mudahan Anda paham maksud saya ini. Salam Kasih Kristus Tuhan..!

Soli Deo Gloria.
SnK

Sabtu, 11 Oktober 2003 06.46

Karunia Keselamatan #2

— Antara Iman dan Perbuatan #2

When The Light Goes Out
When The Light Goes Out
amandavangils.com

1. Keselamatan

Manusia memang sudah kehilangan kemuliaan yang dikaruniakan Allah pada saat manusia pertama diciptakan. Tetapi tidak berarti bahwa manusia kehilangan harganya di mata Allah. Justru manusia —bahkan dunia— demikian berharga dan dikasihi-Nya, hingga Dia memandang perlu untuk menyelamatkannya (bdk. Yohanes 3:16). Allah ingin semua manusia selamat dan memperoleh kemuliaannya kembali karena manusia adalah citra Allah sendiri.

Hampir tidak ada orang —khususnya yang beragama samawi— yang berkeberatan bahwa keselamatan adalah pemberian (anugerah, karunia) Allah yang merupakan hak prerogatif Allah yang kita tidak tahu bagaimana penetapannya. Dengan demikian, Allah sajalah yang tahu siapa yang akhirnya akan memperoleh keselamatan.

2. Iman

Tetapi, saya rasa, pernyataan bahwa iman adalah anugerah Allah bukanlah persoalan yang sederhana. Siapakah yang akan dianugerahi iman oleh Allah? Apakah semua orang bisa mendapatkannya ataukah hanya orang-orang tertentu yang sudah dipilih oleh Allah sebagaimana dipercayai oleh para penganut paham predestinasi? Bagaimana pulakah kriterianya?

Dan manakah yang lebih dahulu terjadi: memiliki iman [atas anugerah Allah] ataukah mempercayai Yesus (menjadi Kristen)?

  1. Jika iman lebih dahulu, sementara dikatakan bahwa iman sudah cukup untuk keselamatan, masih perlukah seseorang menjadi [beragama] Kristen?

  2. Jika percaya kepada Yesus lebih dahulu daripada iman, maka sudah jelas bahwa di situ manusialah yang berperan. Dengan kata lain, anugerah Allah akan tercurah setelah manusia bertindak.

Menurut pendapat saya, iman adalah respons/tanggapan manusia pada panggilan Allah dalam rangka penyelamatan itu. Bukan iman an-sich yang dianugerahkan Allah, melainkan uluran kasih tangan Allah. Dan ini berlaku bagi semua orang dalam berbagai cara (yang diistilahkan dengan cara misterius Allah).

Paulus mengatakan bahwa iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus (bdk. Roma 10:17), yang nota bene menyiratkan adanya tanggapan manusia pada panggilan Allah. Ada peran manusia di sana. (Soal penafsiran apakah "pendengaran oleh firman Kristus" sama artinya dengan "menjadi [beragama] Kristen" bisa kita bahas lain waktu.)

Alkitab mengisahkan bahwa Yesus beberapa kali mengatakan "imanmu menyelamatkan" kepada orang-orang yang bukan pengikutnya. Bahkan Yesus mengatakan bahwa Dia tidak pernah menjumpai iman pada seorang pun di antara orang Israel yang sebesar iman seorang perwira Romawi yang meminta kesembuhan bagi hambanya yang lumpuh (bdk. Matius 8:5-13).

Bagaimana kita memahami semua itu?

Mari kita lihat beberapa fakta yang diberikan oleh Alkitab (yang tentu saja dengan bantuan beberapa literatur lain guna memahami konteks saat itu):

  1. Orang Romawi adalah penjajah yang menguasai wilayah Yahudi/Palestina dimana Yesus hidup. Secara sosial-politik, mereka memiliki status lebih tinggi daripada orang Yahudi.

  2. Orang Romawi adalah penganut ajaran paganisme yang menyembah dewa-dewa (politeisme) ataupun menyembah kaisar sebagai Allah. Sangatlah kecil kemungkinannya —jika tidak dapat dikatakan mustahil— orang Romawi pada saat itu memeluk agama Yahudi, apalagi menjadi pengikut Yesus yang pada saat itu belum disebut Kristen.

  3. Sebagai aparat kekuasaan Romawi, perwira tersebut bisa saja memerintahkan Yesus datang ke tempatnya. Untuk itu, dia cukup memerintahkan prajuritnya. Tetapi, pada kenyataannya, perwira itu sendirilah yang menemui Yesus.

  4. Status hamba dalam kondisi sosial saat itu sama dengan budak yang dapat dibeli dan dimiliki secara total oleh majikannya. Seorang hamba bahkan bisa saja dibunuh tanpa ada risiko hukuman apa-apa. Kematian seorang hamba tidak memiliki arti apa-apa.

Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat kita lihat bagaimana Yesus —dalam pandangan saya— memandang persoalan.

iman yang besar adalah yang ditunjukkan dengan perbuatan yang bersedia berkorban atau merendahkan diri demi kebaikan dan keselamatan orang lain, terutama orang-orang marjinal (dianggap hina, terbuang, teralienasi)

Dan dalam hal ini, Yesus tidak pernah menanyai siapa pun apa agama yang dianutnya maupun mensyaratkan mereka menjadi pengikut-Nya.

3. Perbuatan

Berkenaan dengan diskusi yang membahas iman dan perbuatan semacam ini, berulangkali saya kemukakan pemahaman saya bahwa iman [secara spiritual] saja tidak akan menyelamatkan. Iman saja tidak cukup. Tentu saja pandangan saya ini sangat bertentangan dengan prinsip sola fide yang dipahami oleh sebagian orang Kristen.

Dalam Alkitab tercantum tulisan berikut ini:

Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?
— Yakobus 2:14

Berulangkali Yesus mengatakan bahwa yang akan memperoleh keselamatan adalah orang-orang yang melakukan kehendak Bapa.

Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.
— Matius 7:21

Apakah bentuk nyata melaksanakan kehendak Bapa itu?

Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkamkan kepicikan orang-orang yang bodoh.
— 1 Petrus 2:15

Jadi sangatlah jelas bahwa Alkitab sendiri yang mengatakan bahwa keselamatan (masuk ke dalam Kerajaan Sorga) bukan datang dari iman spiritual yang hanya menyebut-nyebut nama Tuhan [Yesus] melainkan dari perbuatan melakukan kehendak Bapa yang oleh Petrus dinyatakan dengan berbuat baik.

Yesus pula yang mengatakan bahwa perbuatan kita terhadap sesama yang menderita adalah bukti nyata kasih kita terhadap Allah (bdk. Matius 25:31-46).

Dan dengan merujuk pada perkataan Yesus tentang Hukum Kasih (bdk. Matius 22:37-40), dimana hukum kedua (mengasihi sesama manusia) adalah sama dengan hukum yang pertama (mengasihi Allah), maka pernyataan-pernyataan Yesus di atas menjadi sangat jelas bahwa perbuatan kita kepada sesama manusia adalah pernyataan langsung dari iman kita (kasih kepada Allah). Mengasihi sesama manusia sama arti dan nilainya dengan mengasihi Allah.

Dari situ dapatlah dikatakan bahwa semua orang, terlepas dari apapun agamanya, sudah mengikuti perintah Yesus ketika mereka melaksanakan hukum kedua dari Hukum Kasih itu. Secara anonim, mereka semua sudah menjadi pengikut ajaran Yesus alias menjadi Kristen. Mereka sudah bersifat kristiani.

4. Memahami Alkitab

Benarkah pemahaman yang saya ajukan di atas? Demikiankah yang dimaksudkan oleh para penulis Alkitab?

Belum tentu!

Membaca Alkitab memang mudah. Tetapi memahami apa yang hendak disampaikan oleh Alkitab bukanlah persoalan gampang. Apalagi untuk menarik kesimpulan kebenaran atas pembacaan kita tersebut.

Bukannya satu-dua kali saya berhadapan dengan orang yang mengajukan kata-kata pamungkas "Roh Kudus yang membimbing saya" saat kami berbeda pendapat mengenai suatu makna dalam Alkitab. Jika sudah demikian, saya pikir hanya akan sia-sia saja jika saya lanjutkan diskusi dengannya. Arogansi semacam itulah yang membuat agama Kristen terpecah-belah menjadi puluhan ribu denominasi. Semua beranggapan bahwa pandangannyalah yang paling benar dalam nama Roh Kudus.

Itu sebabnya diperlukan eksegese yang bukan "sekedar" mengandalkan penerangan Roh Kudus yang —menurut saya— malah bisa menjerumuskan ke dalam mistisisme fatalistis. Bukannya maksud saya menafikan peran Roh Kudus, melainkan perlunya kita bersikap jujur dan terbuka disamping pemahaman terhadap metodologi eksegese.

Hingga saat ini, metode eksegese terus berkembang, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan dinamika dan budaya manusia. Dengan demikian, eksegese dapat dilangsungkan dengan lebih komprehensif sehingga kita bisa melihat benang merah yang menjembatani semua bagiannya, sekaligus menghubungkan konteks masa lalu (saat Alkitab ditulis) dengan konteks masa kini. Dari situlah kita bisa menemukan hakikat yang disampaikan, bukan sekedar makna literalnya saja.

Adalah sebuah kesombongan untuk menganggap kemampuan kita memahami Alkitab sudah benar dan sangat mencukupi sehingga tidak mau mendengarkan pendapat orang lain yang memiliki kompetensi dan dedikasi di bidang itu, apalagi jika pemahaman tersebut berbeda dengan kita.

Walau [hingga kini] tidak ada manusia yang bisa mengklaim bahwa pemahamannya adalah yang paling benar, kita perlu menghargai upaya para pakar yang sudah mendedikasikan hidup, pengetahuan, dan kebijaksanaannya dalam memberikan wawasan tentang Alkitab. Kecuali jika diberi anugerah khusus oleh Allah, kita —selaku kaum awam— tidak memiliki kompetensi sebaik mereka, sehingga menjadi "salib" kitalah untuk menerima buah karya mereka.

Oleh sebab itu, kita tidak bisa menafikan adanya pendapat-pendapat lain yang memberi tafsir berbeda dengan pemahaman kita dengan dalih bahwa semua itu adalah "teori manusia". Pada kenyataannya, semua hal yang dihasilkan dari teologi (termasuk di dalamnya hermeneutika) adalah hasil akal-budi manusia dalam memahami pesan Alkitab. Bahkan, kita sangat memerlukan pendapat yang berbeda dengan pendapat kita guna menguji apa yang sudah kita miliki.

Tentu saja tidak semua pemahaman itu harus diterima sehingga malah membingungkan kita. Alkitab mengajarkan kita untuk menguji segala sesuatu, termasuk menguji semua roh, sehingga kita tidak dengan gampang mengklaim bahwa semua itu berasal dari Roh Kudus.

sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu.
— 1 Korintus 3:13

Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.
— 1 Tesalonika 5:21

Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu—yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api—sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.
— 1 Petrus 1:7

Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia.
— 1 Yohanes 4:1

Kadang kita tidak bisa membedakan eksegese dengan eisegese yang hanya bermaksud membenarkan apa yang sudah dipercayainya saja. Cara penafsiran semacam itulah yang akan melahirkan fundamentalisme.

— Sabtu, 11 Oktober 2003 06:46
[revisi: Kamis, 29 Desember 2005 01:57]

From: Parlindungan
To: hkbp@yahoogroups.com
Sent: Friday, 10 October 2003 06:13
Subject: Re: Lagi... Soal keselamatan (was: Re: [hkbp] Re: [debat-alkitab] Kesaksian : DR.SUN YAT SEN)

Iman dan keselamatan adalah pemberian Allah. Lae dan saya sudah tidak berharga di mata Tuhan dan sudah kehilangan kemuliaan Allah(baca Roma 3 : 23). Sehingga untuk BERUSAHA sampai kepada Tuhan merupakan hal yang mustahil, ada jurang pemisah antara kita dengan Allah, bahkan perbuatan baikpun tidak. Iman yang kita miliki juga bukan karena usaha atau potensi kita melainkan anugerah Roh Kudus. Roh Kuduslah yang menumbuhkan dan menggerakkan iman seseorang untuk melihat dan menerima anugerah keselamatan tersebut. Ayat yang saya maksud dalam posting saya terdahulu, tanpa dieksposisi lebih jauh juga sudah sangat jelas. Tapi okelah saya akan coba meng-eksegesenya dalam posting tersendiri.

Ayat-ayat dalam Alkitab tidak berkontradiksi, pemahaman kita yang kurang dan sepotong-potonglah yang membuat kita melihatnya seolah-olah berlawanan. Apalah dengan mencampuradukan pendapat-pendapat luar (teori manusia) untuk memaksakan penafsiran ayat yang ada.

salam,
Parlin

Jumat, 12 September 2003 02.46

Mitos Leluhur Manusia

— Dilema Iman dan Akal-budi

Kolase dari beberapa tulisan saya di beberapa mailing list sekitar medio September 2003.

Ancient of Days
Ancient of Days
William Blake

Walau tidak teramat sering, beberapakali saya membaca di beberapa mailing list (milis) pertanyaan tentang (1) orang yang ditakuti Kain akan membunuhnya, dan (2) perempuan yang menjadi istri Kain setelah dia diusir dari kawasan kediaman Adam dan Hawa.

Entah disadari atau tidak, pertanyaan-pertanyaan di atas memiliki tautan benang merah yang bermuara pada "gugatan" terhadap keberadaan Adam dan Hawa sebagai satu-satunya pasangan manusia ketika bumi ini bermula (diciptakan Tuhan). Dan secara tidak kentara, pertanyaan-pertanyaan itu pun akan menggiring kita ke persoalan yang lebih gaduh, yakni pertarungan panjang [namun saya yakini tidak akan abadi] antara teori evolusi (yang dianggap sebagai sangkur ilmu pengetahuan) dengan doktrin kreasi (yang dianggap sebagai perisai iman).

Sayangnya, hingga kini belum ada satu pun bukti ilmiah yang mampu memberi sokongan kuat bagi keyakinan kaum kreasionis yang menyatakan bahwa seluruh umat manusia yang ada hingga sekarang di bumi ini adalah keturunan Adam-Hawa kecuali kisah yang dituturkan guru Sekolah Minggu pada kanak-kanak :-). Sebaliknya dengan teori evolusi yang kian hari kian bertambah bukti pendukungnya.

Diskusi semacam ini dapat dikatakan sudah menjadi menu klasik alias selalu berulang di berbagai milis, yang intinya sama saja: iman versus akal-budi (ilmu pengetahuan).

1. Masa Keberadaan Manusia

Sebelum memasuki padang pertarungan penuh onak dan jerat tersebut, ada baiknya jika kita terlebih dahulu memperbandingkan informasi yang ada perihal masa keberadaan mahluk yang disebut manusia di bumi ini.

# Alkitab

Alkitab mencatumkan silsilah manusia sejak Adam-Hawa sebagai berikut:

SUMBER NAMA USIA SAAT
BERKETURUNAN
TAHUN
LAHIR

Kejadian 5:1-32

Adam
Set
Enos
Kenan
Mahalaleel
Yared
Henokh
Metusalah
Lamekh
Nuh
130
105
90
70
65
162
65
187
182
500
0
130
235
325
395
460
622
687
874
1.056

Kejadian 11:10-26

Sem
Arpakshad
Selah
Eber
Peleg
Rehu
Serug
Nahor
Terah
100
35
30
34
30
32
30
29
70
1.556
1.656
1.691
1.721
1.755
1.785
1.817
1.847
1.876

Kejadian 21:5-26

Abram/Abraham 100 1.946

Kejadian 21:5-26

Ishak
Yakub
60
?
2.046
2.106

Dengan demikian, keberadaan manusia di bumi sejak Adam sampai dengan lahirnya Abram/Abraham menurut Alkitab adalah 1.946 tahun.

Lalu, Injil Matius 1:17 memberikan informasi sebagai berikut:

Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham.

  1. Abraham memperanakkan Ishak,
  2. Ishak memperanakkan Yakub,
  3. Yakub memperanakkan Yehuda dan saudara-saudaranya,
  4. Yehuda memperanakkan Peres dan Zerah dari Tamar,
  5. Peres memperanakkan Hezron,
  6. Hezron memperanakkan Ram,
  7. Ram memperanakkan Aminadab,
  8. Aminadab memperanakkan Nahason,
  9. Nahason memperanakkan Salmon,
  10. Salmon memperanakkan Boas dari Rahab,
  11. Boas memperanakkan Obed dari Rut,
  12. Obed memperanakkan Isai,
  13. Isai memperanakkan raja Daud.
  1. Daud memperanakkan Salomo dari isteri Uria,
  2. Salomo memperanakkan Rehabeam,
  3. Rehabeam memperanakkan Abia,
  4. Abia memperanakkan Asa,
  5. Asa memperanakkan Yosafat,
  6. Yosafat memperanakkan Yoram,
  7. Yoram memperanakkan Uzia,
  8. Uzia memperanakkan Yotam,
  9. Yotam memperanakkan Ahas,
  10. Ahas memperanakkan Hizkia,
  11. Hizkia memperanakkan Manasye,
  12. Manasye memperanakkan Amon,
  13. Amon memperanakkan Yosia,
  14. Yosia memperanakkan Yekhonya dan saudara-saudaranya pada waktu pembuangan ke Babel.
  1. Sesudah pembuangan ke Babel, Yekhonya memperanakkan Sealtiel,
  2. Sealtiel memperanakkan Zerubabel,
  3. Zerubabel memperanakkan Abihud,
  4. Abihud memperanakkan Elyakim,
  5. Elyakim memperanakkan Azor,
  6. Azor memperanakkan Zadok,
  7. Zadok memperanakkan Akhim,
  8. Akhim memperanakkan Eliud,
  9. Eliud memperanakkan Eleazar,
  10. Eleazar memperanakkan Matan,
  11. Matan memperanakkan Yakub,
  12. Yakub memperanakkan Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus.

Jadi seluruhnya ada: empat belas keturunan dari Abraham sampai Daud, empat belas keturunan dari Daud sampai pembuangan ke Babel, dan empat belas keturunan dari pembuangan ke Babel sampai Kristus.

Dengan demikian terdapat 42 generasi dari Abraham hingga Yesus. (Jangan tanya saya saat ini mengapa angka di atas bukan 14 + 14 + 14 melainkan 13 + 14 + 12 :-).)

Dengan menggunakan umur rata-rata manusia ketika memperanakkan generasi berikutnya, kita bisa memperkirakan jumlah totalnya. Agar tidak tanggung-tanggung, kita gunakan saja pengandaian yang sangat ekstrim bahwa seorang manusia baru memperanakkan generasi berikutnya pada akhir hayatnya, yakni usia 120 tahun (bdk. Kejadian 6:3). Maka, jarak yang terbentang dari Abraham hingga Yesus adalah 42 x 120 tahun = 5.040 tahun.

Ditambah dengan masa keberadaan manusia sejak Adam hingga lahirnya Abraham, jumlahnya menjadi 5.040 + 1.946 = 6.986 tahun.

Dengan memberi kelonggaran toleransi yang cukup ugal-ugalan hingga 30%, kita peroleh angka 6.986 x 1,3 = 9.081,8 tahun.

Ditambah jarak antara tahun kelahiran Yesus (diasumsikan pada tahun 0 yang imajiner itu!) terhadap saat ini, maka keberadaan manusia di bumi adalah 9.081,8 + 2.003 = 11.084,8 tahun.

Agar tidak memboroskan memori otak, kita bulatkan saja angka tersebut secara moderat ke atas menjadi 12.000 tahun. Pembulatan yang sudah sangat longgar tersebut rasanya cukup adil untuk mengabaikan selisih 6 hari yang terentang antara saat penciptaan bumi dengan saat penciptaan manusia. Dengan demikian, angka 12.000 tahun tersebut dapat kita perlakukan sebagai umur bumi juga.

Ada cukup banyak variasi angka yang diajukan perihal umur bumi. Misalnya Ussher [4004], Yahudi [3760], Septuaginta [5270], Josephus [5555], Kepler [3993], Melanchton [3964], Martin Luther [3961], Lightfoot [3960], Hales [5402], Playfair [4008], Lipman [3916], dan lain-lain. (The Genesis Record, H.M. Morris, halaman 45, Baker Book House, Grand Rapids, Michigan, U.S.A., 1990).

# Ilmu Pengetahuan

Di sisi lain, temuan arkeologi-paleontologi tentang fosil-fosil manusia purba dan tahun kehadirannya di bumi yang saya sadur dari tulisan Zhao Yun pada tanggal 4 Mei 2000 di milis proletar@yahoogroups.com memberikan informasi sebagai berikut:

  • Ardipithecus Ramidus (± 4,4 juta tahun)
  • Australopithecus Anamensis (± 3,9 juta tahun)
  • Australopithecus Afarensis (± 3 juta tahun)
  • Australopithecus Africanus (± 2 juta tahun)
  • Australopithecus Garhi (± 2,5 juta tahun)
  • Australopithecus Aethiopus (± 2,3 juta tahun)
  • Australopithecus Robustus (± 2 s/d 1,5 juta tahun)
  • Australopithecus Boisei (± 2 s/d 1,1 juta tahun)
  • Homo Habilis (handy man, sudah mengenal peralatan, ± 2 s/d 1,5 juta tahun)
  • Homo Erectus (± 1,8 juta tahun s/d 300.000 tahun)
  • Homo Sapiens (± 500.000 tahun)
  • Homo Sapiens Neandherthalis (± 230.000 s/d 30.000 tahun)
  • Homo Sapiens Sapiens (manusia modern, ± 120.000 tahun)

"Loncatan" besar pertama terjadi pada Homo Habilis dengan munculnya hominid yang mampu menggunakan peralatan. Diperkirakan Homo Habilis ini adalah kelanjutan dari genus Australopithecan karena banyak kesamaan antara keduanya.

"Loncatan" kedua terjadi pada Homo Erectus. Diperkirakan Homo Erectus ini sudah menggunakan api dan peralatan sederhana yang terbuat dari batu. Penyebaran situs penemuan menunjukkan bahwa semua Homo Habilis dan Australopithecan ditemukan di benua Afrika, tetapi Homo Erectus ditemukan di seluruh dunia (dari Jawa, Afrika, Peking sampai Eropa).

"Loncatan" ketiga terjadi pada Homo Sapiens Sapiens (manusia modern). Penyelidikan pada kultur Cro-Magnon —yang termasuk manusia modern— menunjukkan bahwa spesies ini bisa berbahasa dan punya kebudayaan civilization cukup tinggi (lukisan, ukiran, bahkan musik sederhana).

Studi perbandingan temuan-temuan fosil pada masa Paleolitikum (± 30.000 tahun) dan Mesolitikum (± 10.000 tahun) menunjukkan bahwa bentuk wajah, dagu, dan susunan geligi mengalami perubahan yang makin "modern" pada fosil yang makin muda. Ini menunjukkan adanya perubahan diet makanan dan kondisi alamiah yang makin ber-"budaya".

Studi persamaan gen menunjukkan bahwa Australopithecus Robustus, Australopithecus Boisei dan Australopithecus Aethiopicus bukanlah nenek moyang manusia modern. Artinya mereka adalah spesies yang berbeda dari garis nenek moyang manusia modern.

Homo Neandherthalis juga bukanlah nenek moyang manusia modern. Studi perbandingan genetik menunjukkan bahwa manusia Neandherthal ini mempunyai struktur DNA yang berbeda dari manusia modern.

Teori terbaru tentang penyebaran manusia modern adalah Out of Africa yang menduga bahwa Homo Sapiens Sapiens ini berkembang di Afrika dan menyebar ke seluruh dunia serta mendesak Homo Neandherthalis yang sudah lebih dahulu bermukim di Eropa hingga punah.

Anda bisa klik di http://www.sciam.com/1999/0899issue/0899infocus.html jika tertarik pada analisis terbaru tentang teori ini.

Sedang apakah ada "perkawinan" silang antara Homo Sapiens Sapiens (Cro-Magnon) dengan manusia Neandherthal, masih merupakan debat yang belum konklusif.

Ringkasnya, ilmu pengetahuan mengajukan temuan fosil Ardipithecus Ramidus sebagai manusia tertua yang pernah/sudah ditemukan yang sudah hadir di bumi ini sekitar 4,4 juta tahun yang lalu. Dan fosil manusia modern yang dinamakan Homo Sapiens Sapiens berasal dari masa sekitar 120.000 tahun yang lalu. Hal ini berarti bahwa umur bumi jauh lebih tua lagi.

2. Narasi Alkitab

Kini, mari kita simak Alkitab yang menjadi pemicu munculnya dua pertanyaan yang mengawali topik bahasan ini.

Alkitab menuturkan bahwa Adam-Hawa adalah sepasang manusia pertama di dunia, yang diciptakan Tuhan di Taman Eden. Akibat melanggar larangan Tuhan, mereka diusir keluar dari Taman Eden ke dunia luas. Mereka kemudian memiliki anak: Kain dan Habel. Karena Kain membunuh Habel, maka Tuhan menghukum Kain dengan mengusirnya dari tanah tempat Adam-Hawa bermukim di luar Taman Eden.

Amatlah menarik membaca fragmen Alkitab yang mengisahkan protes Kain atas hukuman yang dijatuhkan Tuhan:

Kata Kain kepada TUHAN: "Hukumanku itu lebih besar dari pada yang dapat kutanggung. Engkau menghalau aku sekarang dari tanah ini dan aku akan tersembunyi dari hadapan-Mu, seorang pelarian dan pengembara di bumi; maka barangsiapa yang akan bertemu dengan aku, tentulah akan membunuh aku."

Firman TUHAN kepadanya: "Sekali-kali tidak! Barangsiapa yang membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat." Kemudian TUHAN menaruh tanda pada Kain, supaya ia jangan dibunuh oleh barangsiapapun yang bertemu dengan dia.

Lalu Kain pergi dari hadapan TUHAN dan ia menetap di tanah Nod, di sebelah timur Eden.
— Kejadian 4:13-16

# Calon Pembunuh Kain

Dari ayat-ayat di atas, terbaca jelas bahwa Kain khawatir dibunuh oleh orang lain yang akan ditemuinya dalam pengembaraan setelah meninggalkan kawasan kediaman Adam-Hawa di luar Taman Eden. Siapakah orang lain yang ditakutinya? Tentunya bukan Adam-Hawa. Lalu siapa?

Berbasiskan asumsi bahwa manusia ciptaan Tuhan hanyalah Adam-Hawa, maka orang yang ditakuti Kain tersebut sudahlah pasti keluarga kandungnya sendiri, baik yang dilahirkan dari Adam-Hawa (yakni Set dan adik-adiknya) ataupun keturunan mereka.

Jika orang itu adalah saudara kandung Kain, maka kisah di atas tidaklah memberikan pemahaman yang melegakan, karena kita akan dihadapkan pada beberapa persoalan.

  1. Set dan adik-adiknya lahir setelah Kain sekian lama pergi. Bagaimana Kain bisa tahu pada saat itu bahwa Adam-Hawa akan memiliki anak lagi? Hal ini patut kita cermati, karena bukan Tuhan yang memberitahu Kain mengenai masa depan, melainkan Kainlah yang pertamakali menengarai keberadaan orang tersebut pada waktu itu. Dalam hal ini, Kain mengkhawatirkan ancaman tersebut akan terjadi sejak awal pengembaraannya, bukan pada masa yang akan datang —yang entah kapan— setelah Set dan adik-adiknya lahir.
  2. Jika orang itu adalah saudara kandung Kain, kemungkinan besar dia tinggal bersama-sama Adam-Hawa, bukan akan bertemu Kain di perjalanan. Mengapa dia harus keluar dari tanah tempat Adam-Hawa bermukim?
  3. Sebagai anak Adam-Hawa, tentulah orang itu mengetahui bahwa Kain adalah saudara kandungnya sendiri. Lalu, mengapa Tuhan memandang perlu memberi tanda khusus pada kening Kain yang menimbulkan kesan bahwa orang itu sama sekali tidak mengenal Kain? Kain, Set, dan adik-adiknya yang lain pastilah amat bodoh sehingga dalam pikiran mereka tidak pernah terbersit gagasan bahwa manusia lain selain dirinya pastilah saudaranya sekandung dari Adam-Hawa, bapak-ibu mereka.
    (Jika Adam-Hawa tidak pernah bercerita tentang Kain-Habel maupun kedudukan mereka sebagai satu-satunya manusia ciptaan Tuhan, darimanakah datangnya narasi Adam-Hawa dan keturunannya sebagaimana tercantum dalam Alkitab?)
  4. Kalaupun Adam-Hawa tidak pernah bercerita mengenai Kain-Habel pada Set dan adik-adiknya, tidaklah berlebihan jika kita mengasumsikan Kain mengetahui bahwa manusia yang lain pastilah saudara kandungnya sendiri. Tetapi, anehnya, Kain menyebutnya sebagai "orang lain yang ditemuinya di perjalanan" yang menyiratkan keasingan.

Walhasil, cukup sukar untuk menerima kemungkinan bahwa orang yang dimaksud adalah saudara kandung Kain. Kesulitan yang sama juga berlaku bagi para keturunan Set dan saudara-saudaranya.

Dengan memperhatikan secara seksama kata-kata Kain ("barangsiapa yang bertemu dengan aku") dan sabda Tuhan ("barangsiapa yang membunuh Kain"), mencuat isyarat penunjukan pada siapa pun manusia yang belum teridentifikasi secara pribadi. Jika saat itu hanya ada Adam-Hawa-Kain setelah Habel mati, mengapa Kain dan Tuhan menunjuk pada sosok yang tidak/belum dikenal namun dianggap sudah eksis sebelum Kain menetap di Nod?

Tanpa kegegapgempitaan, hal ini merupakan sebuah tanda kecil tentang sudah adanya manusia lain selain keluarga Adam-Hawa.

# Istri Kain

Pada ayat selanjutnya dari kisah Kain dalam Alkitab tercantum:

Kain bersetubuh dengan isterinya dan mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Henokh; kemudian Kain mendirikan suatu kota dan dinamainya kota itu Henokh, menurut nama anaknya.
— Kejadian 4:17

Siapakah perempuan yang dikawini Kain saat menetap di tanah Nod setelah diusir dari kediaman Adam-Hawa? Jika manusia yang ada saat itu hanyalah Adam-Hawa dan keturunannya saja, maka hanya merekalah kemungkinannya.

Jika Kain mengawini saudara perempuannya sekandung dari Adam-Hawa secara incest, maka kita akan dihadapkan pada beberapa argumentasi bantahan sebagai berikut:

  1. Saat diusir dari tanah kediaman Adam-Hawa, Kain tidak memiliki saudara lain. Set baru lahir saat Adam berusia 130 tahun, entah berapa tahun setelah Kain pergi ke tanah Nod. Entah kapan pula anak-anak perempuan Adam-Hawa dilahirkan. Bahkan, bukannya tidak mungkin mereka dilahirkan setelah Kain mati :-(.
  2. Jika dirunut berdasarkan urutan ayatnya (yang berarti membaca Alkitab secara harafiah sebagaimana lazim dilakukan oleh kaum kreasionis-literalis!), maka perkawinan Kain dengan seorang perempuan tersebut sudah lebih dulu terjadi dibanding lahirnya Set maupun anak-anak perempuan Adam lainnya.
  3. Tidak ada petunjuk dalam Alkitab yang memberi gambaran tentang anak-anak perempuan Adam-Hawa maupun keturunannya yang lain yang menyusul Kain dan kemudian dikawini oleh Kain setelah kepergiannya dari kediaman Adam-Hawa.

Mungkinkah Kain mengawini anak perempuan Set alias mengawini keponakannya sendiri yang lahir entah berapa puluh atau ratus tahun setelah Kain? Jika memang demikian, patut disangsikan bahwa keturunan Adam-Hawa tidak mengenal Kain. Otomatis, langsung gugur pulalah peluang mereka sebagai calon pembunuh Kain. Amatlah janggal (dan sekaligus merendahkan kecerdasan :-) ) jika kita beranggapan bahwa mereka tidak mengenali paman sekaligus ipar mereka sendiri, konon pula membunuhnya.

Agaknya, tidaklah terlalu berlebihan jika kita mengandaikan sudah ada manusia lain selain keluarga Adam-Hawa-Kain.

# Lawan Lamekh

Lebih lanjut lagi, Alkitab bertutur:

Bagi Henokh lahirlah Irad, dan Irad itu memperanakkan Mehuyael dan Mehuyael memperanakkan Metusael, dan Metusael memperanakkan Lamekh.

Lamekh mengambil isteri dua orang; yang satu namanya Ada, yang lain Zila.

Ada itu melahirkan Yabal; dialah yang menjadi bapa orang yang diam dalam kemah dan memelihara ternak. Nama adiknya ialah Yubal; dialah yang menjadi bapa semua orang yang memainkan kecapi dan suling.

Zila juga melahirkan anak, yakni Tubal-Kain, bapa semua tukang tembaga dan tukang besi. Adik perempuan Tubal-Kain ialah Naama.

Berkatalah Lamekh kepada kedua isterinya itu: "Ada dan Zila, dengarkanlah suaraku: hai isteri-isteri Lamekh, pasanglah telingamu kepada perkataanku ini: Aku telah membunuh seorang laki-laki karena ia melukai aku, membunuh seorang muda karena ia memukul aku sampai bengkak; sebab jika Kain harus dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat.
— Kejadian 4:18-24

Siapa pulakah seorang laki-laki muda yang dibunuh oleh Lamekh? Apakah kerabatnya sendiri? Jika benar demikian, mengapa Lamekh tidak memberikan gambaran yang cukup jelas, bahkan mengesankan bahwa orang itu sama sekali tidak dikenal? Ataukah orang itu sama sekali tidak ada hubungan darah dengan Lamekh?

Menurut hemat saya, bukanlah merupakan sebuah kejumawaan jika kita mencoba mengisi "lubang" yang disisakan oleh Alkitab dengan kemungkinan telah adanya manusia [jenis] lain selain yang berasal dari jalur Adam-Hawa-Kain. Dengan membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan tersebut, tampaknya pertanyaan awal tentang "orang yang ditakuti Kain akan membunuhnya jika bertemu" maupun "istri Kain" mulai menemukan titik terangnya.

Namun persoalan masih jauh dari selesai :-(.

Waiting
source unknown

Berbagai pertanyaan, paparan, dan kemungkinan yang terlontar sepanjang pembahasan ini kerap menjadi bayang-bayang horor yang menempatkan iman dan akal-budi di sisi yang berbeda, bahkan bertentangan secara diametral.

Bagaimanakah pertanggungjawaban iman kita terhadap kebenaran yang disodorkan ilmu pengetahuan? Bagaimana menyikapi 2 hal yang [kelihatannya] bertentangan seperti itu sementara berlaku pemeo "truth cannot contradict with truth"? Mana yang harus kita genggam? Atau, lebih lanjut lagi, bagaimana menyikapi keduanya tanpa harus menjadikan diri kita mendua?

Karena saya tidak memosisikan Alkitab sebagai buku panduan ilmiah sekaligus beranggapan bahwa iman tidaklah harus bertentangan dengan ilmu pengetahuan, maka saya patut mempertimbangkan kebenaran yang diajukan oleh bukti ilmiah. Oleh sebab itu saya harus mencari "ruang" yang disisakan oleh Alkitab bagi ilmu pengetahuan.

3. Spesies Manusia

Secara genetika, tentunya Adam-Hawa termasuk Homo Sapiens Sapiens juga seperti kita. Karena usia keberadaan manusia di bumi menurut Alkitab secara literal tidaklah lebih dari 12.000 tahun, maka terbentanglah kesenjangan waktu terhadap ilmu pengetahuan sebesar 120.000 - 12.000 = 108.000 tahun. Bukan jarak yang sangat kecil sehingga dapat diabaikan!

Dari kesenjangan waktu itu, timbul pertanyaan:

  1. Fosil Homo Sapiens Sapiens siapakah yang muncul di bumi sekitar 108.000 tahun sebelum Adam itu?
  2. Apakah manusia-manusia [purba] selain Homo Sapiens Sapiens itu tidak dapat dikategorikan sebagai manusia juga? Apakah mereka dianggap sebagai binatang? Kalau begitu, binatang macam apakah yang cukup tinggi inteligensia dan citarasanya sehingga ada di antara mereka yang sudah mengenal peralatan dan peradaban sebagaimana layaknya manusia?

Untuk sementara ini, kita tinggalkan saja dulu pertanyaan nomor 1 untuk dibahas dalam kesempatan lain :-).

Hasil uji DNA dan perbandingan fosil menunjukkan bahwa jalur geneaologi manusia bukan berupa garis lurus (tunggal, linier) melainkan bercabang-cabang. Dalam hal ini, manusia yang lebih purba (lebih dulu eksis) belum tentu merupakan nenek moyang manusia pada masa berikutnya. Demikian pula manusia yang hidup pada jaman yang sama (misalnya Homo Sapiens Neanderthalis dan Homo Sapiens Sapiens yang sama-sama masuk kelompok "manusia modern") tidaklah menunjukkan bahwa mereka sejenis.

Lalu, siapakah nenek moyang manusia lain yang tidak termasuk golongan Homo Sapiens Sapiens itu? Siapakah yang menciptakan mereka?

Dengan mempertimbangkan pendakuan Alkitab bahwa seluruh alam semesta ini tanpa kecuali adalah ciptaan Tuhan, tentulah mereka pun merupakan ciptaan-Nya.

Jadi, siapakah manusia pertama di bumi ini?

Mengacu pada berbagai hal yang sudah dibahas sebelumnya, maka tindakan paling masuk akal bagi persoalan ini adalah menerima kenyataan tentang sudah adanya manusia lain (bahkan jenis lain!) yang hidup di luar kawasan Taman Eden maupun tempat bermukim keluarga Adam-Hawa setelah diusir dari Taman Eden.

Jika diasumsikan bahwa Adam-Hawa-Kain adalah spesies tertentu hasil ciptaan Tuhan di Eden, maka bisa diasumsikan juga bahwa manusia di luar kawasan itu adalah spesies manusia lain (entah Neanderthal, Cro-Magnon, atau yang lain) yang salah satunya akhirnya kawin dengan Kain [maupun yang dibunuh oleh Lamekh].

Pertanyaannya: Mungkinkah terjadi persilangan semacam itu?

Walaupun masih menjadi diskursus yang belum konklusif di kalangan ilmiawan, hal itu ternyata bukanlah sebuah kemustahilan. Artikel di bawah ini menguatkan dugaan mengenai kemungkinan pernah terjadinya persilangan manusia modern Homo Sapiens Sapiens dengan Homo Neanderthal.

September 23, 2003
Jawbone Hints at Europe's Earliest Modern Humans

Scientists have uncovered yet another tiny piece of the puzzle of our origins. Findings published online this week by the Proceedings of the National Academy of Sciences describe a lower jawbone that they say is the earliest evidence of anatomically modern humans in Europe.

Three Romanian spelunkers recovered the mandible in February 2002 at a site in the southwestern Carpathian Mountains known as Pestera cu Oase, or the "Cave with Bones." The cave also housed other fossils including a facial skeleton, a temporal bone and a partial braincase that are currently undergoing examination. Radiocarbon analysis dates the jawbone to between 34,000 and 36,000 years ago, report Erik Trinkaus of Washington University and his colleagues.

"The jawbone is the oldest directly dated modern human fossil," Trinkaus remarks. "Taken together, the material is the first that securely documents what modern humans looked like when they spread into Europe. Although we call them 'modern humans,' they were not fully modern in the sense that we think of living people."

According to the researchers, the jawbone provides perspective on the emergence of anatomically modern humans in the northwestern Old World, which is a far from simple story. The two most prominent theories are the Out of Africa model, which states that Homo sapiens arose in Africa between 150,000 and 200,000 years ago and went on to replace archaic hominids such as the Neandertals, and the multiregional evolution model, which holds that modern humans instead emerged from these archaic populations across the Old World.

The newly characterized jawbone has many features in common with remains of other early modern humans found at sites in Africa, the Middle East and later European locales, but the large face size inferred from the jaw also hints at the retention of some archaic characteristics. Notes Trinkaus, "the specimens suggest that there have been clear changes in human anatomy since then."

In 1999, Trinkaus and his colleagues reported on the discovery of a 25,000-year-old skeleton from Portugal said to share a mix of Neandertal and modern characteristics. The Pestera cu Oase finds, he adds, "are also fully compatible with the blending of modern human and Neandertal populations."

— Sarah Graham
http://www.sciam.com/article.cfm?articleID=000DAD6B-8816-1E5E-A98A809EC5880105

Hasil penelitian ilmiah tersebut kian mengokohkan kemungkinan adanya manusia-manusia lain di luar Taman Eden yang [semula] menjadi tempat mukim Adam-Hawa. Merekalah yang (1) ditakuti Kain akan membunuhnya, (2) diperistri oleh Kain, maupun (3) dibunuh oleh Lamekh. Dengan demikian, terjawablah pertanyaan nomor 2 di atas, bahwa mereka pun pantas disebut manusia. Dus, Adam-Hawa bukanlah satu-satunya pasangan manusia yang diciptakan oleh Tuhan, dan juga bukan yang pertama :-).

Berdasarkan paparan di atas, saya berpendapat bahwa Alkitab sendiri tidak menutup, bahkan menyodorkan, peluang terhadap kemungkinan tersebut. Dan saya pun yakin bahwa Alkitab akan terus memberikan pengetahuan baru yang menjadikan kita lebih rasional dalam beriman. Hanya saja, kita kerap tidak/belum siap menghadapinya. Padahal pengetahuan baru itu tidak membuat iman kita jadi kacau-balau, melainkan mendekonstruksi belenggu doktrin-doktrin kekanak-kanakan yang menjadikan kita robot-robot tanpa pengertian.

Lalu, bagaimana menyikapi kisah penciptaan alam semesta dan manusia sebagaimana dituturkan dalam Alkitab?

Kita bahas lain waktu :-).

4. Iman vs Akal-budi atau Tafsir Alkitab vs Ilmu Pengetahuan?

Kian banyak diskusi yang saya ikuti, kian terkristal pula keyakinan saya bahwa pemahaman Alkitab secara literal perlu dikembalikan pada Alkitab dalam bentuk pengkajian kritis. Diskusi-diskusi tersebut justru menuntun saya menemukan pencerahan bahwa Alkitab terbuka pada berbagai pembuktian ilmiah yang [menurut sebagian orang] dianggap bertentangan dengan Alkitab. Lebih jauh lagi, Alkitab tidaklah menampik (untuk tidak menggunakan kata "mendukung") paham evolusi yang ditopang oleh berbagai pembuktian ilmiah.

Tuhan meminta kita mengasihi-Nya juga dengan segenap akal-budi selain dengan hati, jiwa, dan kekuatan (bdk. Lukas 10:27). Itulah yang seharusnya kita lakukan, bukannya menganiaya akal-budi pemberian Tuhan dengan mengimani serta mengamini secara membabi-buta doktrin-doktrin irrasional. Apalagi jika itu hanya bersandar pada dongeng yang dituturkan di Sekolah Minggu yang disampaikan seturut tingkat penalaran kanak-kanak :-(.

Namun, hingga kini, kebanyakan gereja [tentu saja] masih enggan mengajarkan hal-hal yang [dianggap] dapat "mengusik" kepercayaan para anggota jemaatnya bahwa Tuhan adalah pencipta manusia, dengan Adam-Hawa sebagai manusia ciptaan-Nya yang pertama. Bisa bubar gereja jika anggota jemaatnya mulai menyangsikan keabsahan Alkitab tentang penciptaan :-). Pemikiran semacam ini akan lebih mustahil disampaikan ke hadapan jemaat jika gereja tersebut (termasuk doktrin, pendeta, teolog, dan sebagainya) merupakan pendukung aliran kreasionisme.

Sikap pemegang otoritas gereja tentunya bisa dimaklumi jika dikaitkan dengan kedewasaan dan kesiapan iman para anggota jemaatnya. Jemaat yang masih muda dan rentan imannya tentu akan mudah terkacaukan jika diperhadapkan pada pernyataan yang [seakan-akan] bertentangan dengan apa yang tertera dalam Alkitab. Untuk itulah kita perlu mendewasakan iman kita dan sesama agar siap menerima sodoran data, fakta, dan argumentasi ilmiah sebagai suatu kenyataan tanpa harus merongrong iman.

Walau demikian, tidak semua gereja gentar berhadap-hadapan dengan ketajaman sangkur ilmiah. Paus Yohanes Paulus II melalui pernyataan tertulis dalam sidang Akademi Ilmu Pengetahuan Kepausan pada tanggal 23 Oktober 1996 di Vatikan menyatakan bahwa Gereja Katolik Roma tidak menafikan teori evolusi bahkan mengakui bahwa teori itu lebih dari sekedar teori serta tidak bertentangan dengan iman Kristen.

Sejatinya iman dan akal-budi bukanlah dua seteru yang memaklumkan perang abadi sebagaimana pernyataan Martin Luther bahwa "reason is the enemy of faith" melainkan sebagai mitra setia yang saling bersekutu guna menghayati kekuasaan dan kemuliaan Tuhan dalam ketakjuban khusyuk tak terkatakan. Dan hal itu memang bukanlah pekerjaan yang mudah, melainkan pergumulan pedih nan kunjung usai namun sekaligus menggairahkan sebagaimana layaknya sebuah misteri.

Fides quaerens intellectum. Iman mencari/menantang pengetahuan.
— Anselmus

Kitab Suci dan dunia alami (kodrati) sama-sama keluar dari Firman ilahi, yang pertama sebagai yang dititahkan oleh Roh Kudus, yang kedua sebagai pelaksana sangat setia perintah-perintah Allah.
— Galileo Galileii, "Surat pada Romo Benedetto Castelli", 21 Desember 1613

Iman kepercayaan dan akal budi menyerupai dua sayap yang menjadi sarana roh manusia naik untuk mengkontemplasikan kebenaran; dan Allah telah menaruhkan dalam hati manusia keinginan untuk mengetahui kebenaran —pendek kata, untuk mengetahui diri-Nya— supaya, dengan mengetahui dan mencintai Allah, manusia pria dan wanita juga dapat mencapai kepenuhan dan kebenaran tentang diri mereka sendiri (lih. Keluaran 33:18; Mazmur 27:8-9; 63:2-3; Yohanes 14:8; 1Yohanes 3:2).
— Paus Yohanes Paulus II, "Fides et Ratio", Roma, 14 September 1998

Pada akhirnya, Fides et ratio. Iman DAN akal-budi.

— Jumat, 12 September 2003 02:46
[revisi: Selasa, 19 Agustus 2008 06:07]

# catatan kaki