Versi cetak

Minggu, 04 Mei 2003 15.49

Pertikaian dalam Tubuh Gereja

— Penghujatan terhadap Roh Kudus?

Broken Cross
Broken Cross
kypros.org

Sangat sukar bagi saya untuk menyebutkan dosa-dosa apa sajakah yang dapat digolongkan sebagai penghujatan terhadap Roh Kudus. Saya tidak mau dituntut untuk mendaftar jenis-jenis dosa dan terjebak dalam pandangan yang doktriner ataupun dogmatis yang membuat saya kehilangan kebebasan untuk menangkap pesan Tuhan.

Bagi saya, semua yang tidak terungkap secara jelas dalam Alkitab memiliki sifat yang debatable dan terbuka untuk berbagai penafsiran. Siapa saja boleh mengungkapkan penafsirannya sehingga kita semua dapat belajar dan beroleh kekuatan (bdk. 1Korintus 14:31), karena Tuhan sudah menuliskan hukum-hukumNya dalam akal budi dan hatinya (bdk. Ibrani 8:10, 10:16).

Sesuai dengan kaidah yang saya percayai bahwa teologi adalah refleksi kritis atas praksis historis dalam terang sabda Allah (A Theology of Liberation, Gustavo Gutierrez, 1973), maka bukan daftar dosa yang menjadi acuan saya untuk membedakan sesuatu, melainkan bagaimana suatu tindakan memiliki kesesuaian dengan penghayatan kristiani menurut telaah Alkitab yang saya lakukan.

Dengan demikian, daripada menetapkan berbagai dosa tidak berampun yang dikategorikan sebagai penghujatan terhadap Roh Kudus, lebih baik melihat kenyataan yang ada di sekitar kita untuk kemudian mengujinya melalui penghayatan pada Alkitab.

1. Tragedi HKBP

Belum hilang dari ingatan dan pengalaman kita bagaimana gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dicabik-cabik oleh perseteruan di antara jemaatnya sendiri. Keduabelah pihak menganggap dirinya adalah pihak yang paling berhak dan paling benar.

Hak atas apakah yang sebenarnya diperebutkan? Hak atas struktur institusi gereja? Hak atas aset-aset institusi gereja?

Kebenaran apakah yang mendasari masing-masing pihak? Kebenaran menurut siapa? Atas dasar apa?

Jika tragedi semacam ini terjadi di komunitas yang tidak memasang agama sebagai landasan institusinya, paling-paling kita hanya akan mengurut dada dan bergumam, "Kasian deh loo...". Tetapi karena ini terjadi di komunitas Kristen, dimana HKBP merupakan denominasi terbesar di Indonesia, bahkan [kalau saya tidak keliru] pernah menjadi yang terbesar di Asia, mau-tidak-mau hal ini memiliki dampak terhadap citra kekristenan secara lebih luas.

2. Kebersamaan dalam Kristus

Saya tidak tahu perbedaan prinsip apakah yang menjadi alasan pembenar untuk menempatkan sesama saudara seiman sebagai seteru yang pantas untuk disakiti dan disingkirkan. Saya sama sekali tidak mampu menemukan alasan untuk memahami klaim dari pihak-pihak yang bertikai, walau sekeras apapun saya berusaha menemukannya.

Dengan mengandaikan asumsi bahwa Roh Kudus ada dalam diri orang Kristen, saya jadi bertanya-tanya, "Dimanakah Roh Kudus pada saat-saat seperti itu? Apa bukti bahwa Roh Kudus bekerja? Inikah buah-buah Roh yang dikatakan dalam kitab suci orang Kristen? Dengan penumpahan darah? Mana salib yang katanya harus ditanggung oleh para pengikut Kristus?"

Ketika membaca Injil Matius yang mencantumkan dosa penghujatan terhadap Roh Kudus, saya temukan ayat yang mendahuluinya, yaitu:

Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan.
— Matius 12:30

Dengan demikian, Yesus sendiri yang telah berpesan kepada kita melalui InjilNya bahwa orang yang mencerai-beraikan adalah orang yang tidak bersamaNya.

Sejalan dengan penjelasan Paulus bahwa jemaat merupakan satu tubuh dengan Yesus sebagai kepalanya (bdk. Roma 12:5, 1Korintus 12:27, Efesus 1:22-23, 4:15, Kolose 1:18), maka mencerai-beraikan jemaat berarti mencerai-beraikan tubuh Kristus. Bukankah lakon perpecahan gereja kita ini merupakan sebuah bentuk perlawanan terang-terangan terhadap Kristus?

3. Kesia-siaan Ibadah

Kita beribadah pada tempat dan/atau waktu yang berbeda hanya karena kita berbeda dalam keberpihakan kita. Yang lebih penting bagi kita adalah bagaimana menjalankan ibadah ritual kita dan "melupakan" persoalan yang masih ada di antara kita.

Padahal Alkitab berulangkali mengajarkan kita untuk berdamai dengan sesama [manusia] dan saudara [seiman]. Bahkan Yesus sendiri mengatakan bahwa perdamaian dengan sesama lebih penting daripada ritual peribadahan kepada Tuhan.

Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.
— Matius 5:23-24

Dan Yohanes menegaskan tentang kemunafikan orang beribadah sebagai berikut:

Barangsiapa berkata, bahwa ia berada di dalam terang, tetapi ia membenci saudaranya, ia berada di dalam kegelapan sampai sekarang.
— 1 Yohanes 2:9

Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.
— 1 Yohanes 4:20

Dengan demikian, Alkitab secara terang-benderang sudah menyampaikan kepada kita bahwa ibadah hanyalah sebuah kesia-siaan jika kita belum berdamai dengan sesama saudara kita.

4. Penyesatan

Banyak di antara kita yang tidak ingin mendudukkan persoalan pada proporsinya dengan alasan tidak ingin menguak luka. Biarlah keadaan yang sudah tenang ini tidak diporak-porandakan lagi. Jangan memperpanjang masalah.

Apakah persoalan yang menimbulkan pertikaian sudah jelas bagi semua pihak? Apakah situasi yang kini jalani adalah sebuah penyelesaian yang benar dan adil sesuai petunjuk Alkitab?

Tanpa kita sadari, kita sudah membawa benih pertikaian ke dalam keluarga kita. Kita meneladankan kepada anak-anak dan generasi muda kita bahwa "kita" bukanlah bagian dari "mereka" dan demikian pula sebaliknya.

Dan, baik disadari atau tidak, kita sudah menyesatkan kebenaran dari kaum muda kita bahwa beribadah adalah hal yang berbeda dari perdamaian dan keadilan.

Padahal Yesus mengatakan:

Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut. Celakalah dunia dengan segala penyesatannya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah orang yang mengadakannya.
— Matius 18:6-7

5. Kuasa Menegur Demi Perdamaian

Maka timbullah pertanyaan, perdamaian seperti apakah yang selayaknya dilakukan oleh orang Kristen dalam menyikapi pertikaian di antara kita? Apakah perdamaian tidak mensyaratkan adanya pengakuan dan penilaian oleh kita tentang mana yang benar dan salah?

Perdamaian semacam itu adalah perdamaian semu yang tidak didasarkan pada pengertian dan ketulusan, sebagaimana yang kita alami selama masa kekuasaan Orde Baru. Stabilitas nasional menjadi Tuhan sehingga segala bentuk perbedaan pendapat harus ditekan ke bawah permukaan.

Ibarat api dalam sekam, ketidakpuasan atas ketidakadilan terus membara dalam diri orang-orang yang tertindas, terakumulasi seiring berjalannya waktu dan kelanggengan ketidakadilan tersebut. Dan satu saat, semua itu dapat meledak menjadi kekacauan yang sangat mahal harganya, yang juga dapat mengancam kelangsungan hidup gereja sendiri sebagaimana dikatakan Yesus:

Setiap kerajaan yang terpecah-pecah pasti binasa dan setiap kota atau rumah tangga yang terpecah-pecah tidak dapat bertahan.
— Matius 12:25

Apakah kita akan menunggu nubuat Yesus itu terjadi dalam komunitas kita? Apakah kita tidak boleh menggugat kesalahan seseorang atau sekelompok orang hanya demi ketenangan kita beribadah?

Yesus mengatakan,

"Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.
— Matius 18:15-17

Dan Paulus menegaskan,

tetapi janganlah anggap dia sebagai musuh, tetapi tegorlah dia sebagai seorang saudara.
— 2 Tesalonika 3:15

Alkitab kita sudah dengan sangat jelas menyatakan bahwa kesalahan perlu diberi teguran. Dan bentuk teguran yang paling tinggi ada pada sidang jemaat. Dengan demikian, tidak pada tempatnya kita menghindari konflik hanya dengan alasan demi ketenangan beribadah.

6. Menghujat Roh Kudus?

Dalam komunitasnya sendiri, orang Kristen tidak segan-segan menggunakan kekuatan mimbar, media informasi, maupun fisik untuk melegitimasi klaimnya atas institusi berikut aset-asetnya.

Kekristenan macam apakah yang sebenarnya sedang kita pertontonkan kepada dunia? Firman Tuhan macam apa yang sedang kita persaksikan sebagai pengikut Kristus? Roh Kudus macam apa yang sedang bekerja dalam diri kita? Buah-buah Roh apa yang sudah kita perlihatkan?

Tidaklah heran jika orang-orang non-Kristen tidak melihat adanya kelebihan dalam agama Kristen. Pada kenyataannya, agama dan pengajaran Kristen tidak membuahkan keunggulan iman dan perbuatan dalam diri penganut-penganutnya.

Orang Kristen yang mereka lihat adalah orang-orang egois dan oportunis yang sibuk berjuang menyempurnakan imannya sendiri dengan ritual peribadatan, mencari pembenaran-pembenaran sepihak dari kitab sucinya, tidak berani mengungkapkan suara-suara kenabian, serta mengalienasi diri dari kenyataan sehingga tidak memberikan manfaat nyata terhadap lingkungannya.

Ketika kita mencerai-beraikan jemaat pengikut Kristus, menyesatkan anak-anak dan generasi muda kita dalam sikap permusuhan terselubung, beribadah kepada Tuhan dengan pura-pura lupa bahwa di antara kita masih ada persoalan, enggan menegur kesalahan dan mengupayakan keadilan serta perdamaian, tidak memberdayakan jemaat untuk menilai kebenaran dan keadilan; masih pantaskah kita berkata bahwa kita adalah pengikut Kristus yang dipenuhi oleh Roh Kudus? Masih pantaskah kita mengatakan bahwa kita tidak sedang meludahi firman Tuhan? Masih pantaskah kita mengelak bahwa kita sedang menghujat Roh Kudus?

Semua itu kembali ke pemahaman dan refleksi kritis kita terhadap praksis nyata di sekitar kita. Dan semua itu perlu diwujudnyatakan dalam tindakan, bukan sekedar apologetika apalagi hipokrisi.

Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.
— 1 Yohanes 3:18

sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.
— Efesus 4:14-15

Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah.
— Kolose 3:15

— Minggu, 04 Mei 2003 15:49

Keselamatan bagi Umat Manusia #2

— Persekutuan dalam Tuhan dan Kemanusiaan

ReligionBall
Religion Ball

Saat seseorang bertanya "dosa manakah yang disebut penghujatan terhadap Roh Kudus?" ketika saya katakan bahwa dosa yang tidak berampun hanyalah penghujatan terhadap Roh Kudus, maka saya katakan agar yang bersangkutan bertanya kepada Yesus yang mengucapkannya atau kepada Matius yang menuliskannya dalam Injil.

Sama sekali bukan maksud saya untuk melarikan diri dari diskusi. Malah [semula] saya berpikir bahwa pencantuman nomor-nomor ayat dalam posting tersebut dapat membantu untuk menemukan keterangan lebih lanjut dalam Alkitab.

Injil menurut Matius yang mencantumkan dosa penghujatan terhadap Roh Kudus itu berbunyi:

Sebab itu Aku berkata kepadamu: Segala dosa dan hujat manusia akan diampuni, tetapi hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni. Apabila seorang mengucapkan sesuatu menentang Anak Manusia, ia akan diampuni, tetapi jika ia menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datangpun tidak.
— Matius 12:31-32

Ayat-ayat di atas diawali dengan pernyataan Yesus yang berbunyi:

Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan."
— Matius 12:30

Kata bersama Aku dalam ayat di atas kerap dimaknai oleh sebagian orang Kristen sebagai pengikut Kristus alias menjadi Kristen. Itulah yang menurut saya menjadi akar persoalan.

Untuk itu, mari kita lihat rujukan silang tentang mereka yang tidak termasuk pengikut Kristus:

Kata Yohanes kepada Yesus: "Guru, kami lihat seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita."

Tetapi kata Yesus: "Jangan kamu cegah dia! Sebab tidak seorangpun yang telah mengadakan mujizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku. Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa memberi kamu minum secangkir air oleh karena kamu adalah pengikut Kristus, ia tidak akan kehilangan upahnya."
— Markus 9:38-40

Dari ayat-ayat dan rujukan silang di atas, kita menemukan beberapa hal yang dapat dicermati.

1. Sekutu dalam Tuhan

  1. Orang-orang yang bukan pengikut Kristus —yang dalam konteks bahasan ini dapat disamakan dengan orang-orang non-Kristen— ternyata memiliki juga kuasa untuk mengusir setan, dimana setan adalah representasi dari kekuatan anti-Tuhan atau kuasa kegelapan.

  2. Yesus mencegah para pengikut-Nya melarang orang-orang itu mengusir setan, karena Yesus menganggap mereka sebagai sekutu dalam melawan kekuatan anti-Tuhan walau mereka bukan pengikut-Nya. Sebagaimana dikatakan-Nya, iblis tidaklah mungkin melawan iblis (bdk. Markus 3:23).

Dengan demikian, Yesus sendiri yang menegaskan bahwa semua orang yang berjuang mengusir dan melawan kekuatan anti-Tuhan (setan, iblis, kuasa kegelapan) merupakan sekutu orang Kristen.

Dalam kesempatan lain bisa kita diskusikan modus keberadaan kekuatan anti-Tuhan secara nyata di bumi ini, yang bukan secara rohaniah belaka.

Mungkin akan timbul penyangkalan kita terhadap tesis di atas karena Injil mengatakan bahwa mereka melakukannya dalam nama Yesus, yang nota bene bermakna mempercayai (beriman kepada) Yesus.

Di sinilah kita ditantang untuk menunjukkan kesungguhan kita meresapkan pengakuan akan ketuhanan Yesus.

Konsep trinitas yang dipegang oleh umat Kristen kerapkali disikapi secara ambigu [dan kadang hipokrit]. Di satu saat, kita sangat menekankan ke-Kristus-an (kristologi) sedemikian hingga kita seakan mencabut-Nya dari kesatuan yang utuh dengan Bapa dan Roh Kudus.

Sayangnya, tidak jarang kristologi disamakan begitu saja dengan kekristenan (baca: agama Kristen) sehingga serta-merta menihilkan ajaran lain yang tidak mengakui Yesus sebagai jalan keselamatannya. Padahal, kita tidak pernah tahu sampai seberapa luas karya Bapa dan Roh Kudus [dan juga Yesus sendiri].

Namun, di lain pihak, ketika orang lain menganggap bahwa Yesus hanyalah manusia biasa yang dikaruniai kuasa-kuasa keilahian, kita bersikeras dan gagah-berani memaklumkan bahwa Yesus adalah Tuhan itu sendiri.

Padahal, jika kita panggah (konsisten) pada pengakuan ketuhanan Yesus, maka menjadi hak ajaran lain untuk menggunakan nama Tuhan (apapun nama yang mereka kenal) sebagai landasan mereka dalam menghadapi kekuatan anti-Tuhan. Karena hanya dengan kekuatan Tuhan sajalah manusia mampu mengatasi kekuatan setan.

Hal yang sejenis dapat kita temukan dalam beberapa denominasi Kristen yang amat mengutamakan kekuatan Roh Kudus untuk melakukan mukjijat-mukjijat dan pelepasan kuasa jahat. Apakah dengan demikian mereka telah melakukan kesalahan karena tidak menggunakan nama Yesus?

Menurut saya, semua itu tidak ada bedanya jika kita panggah pada ketuhanan trinitatis. Sehingga, tidak menerima Yesus sebagai Tuhan maupun juruselamat bukanlah suatu tindakan yang identik dengan penghujatan terhadap Roh Kudus.

2. Perlakuan Terhadap Sesama

Yesus pun menekankan bahwa orang-orang non-Kristen yang memberi air minum kepada orang Kristen akan memperoleh upahnya (bdk. Markus 9:40).

Dalam kebudayaan Timur Tengah masa lalu, memberikan air minum kepada musafir adalah sebuah kebiasaan yang sangat wajar. Tidak istimewa. Mereka menyediakan ember di sumur atau guci berisi air di luar rumah agar orang yang lewat dapat memperoleh air minum yang sangat diperlukan dalam perjalanan mereka melintasi gurun.

Dengan demikian, setiap orang yang memperlakukan orang Kristen secara wajar adalah orang-orang yang berhak mendapat imbalan.

Hal ini sebenarnya berlaku juga secara timbal-balik. Jangan karena kita adalah orang Kristen maka kita menuntut pelayanan dari orang non-Kristen. Malah Yesus mengajarkan agar kita mengasihi musuh kita dan berdoa bagi penganiaya kita dan tidak membedakan perlakuan kita terhadap sesama hanya karena perbedaan agama.

Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.

Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?

Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.
— Matius 5:44-48

Malahan kita harus mampu melakukan dan memberikan lebih daripada orang-orang non-Kristen.

Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.
— Matius 5:39-41

Itulah bukti kelebihan sekaligus beban ganda orang Kristen di dunia.

Namun, tidak berarti hal itu menutup peluang bagi orang-orang non-Kristen untuk memperoleh karunia keselamatan Tuhan. Tuhan yang mahakasih tentu tidak buta pada ketulusan manusia-manusia yang berkehendak baik. Maka, semua manusia bisa menjadi sekutu dalam Tuhan guna melawan kuasa-kuasa kegelapan yang anti-Tuhan. Mereka semua bersama dengan Yesus.

Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun.
— Roma 14:19

Kata orang Jawa,"Gusti Allah ora sare". Tuhan tidak tidur. Dia tidak buta.

— Minggu, 04 Mei 2003 14:10
[revisi: Kamis, 29 Desember 2005 01:05]

Kamis, 01 Mei 2003 02.51

Menangkap Pesan Tuhan

— Dari Alkitab ke Alam Semesta

Bible
Bible
whitecourtchurch.ca

Setiap orang Kristen selayaknya percaya bahwa Alkitab berisikan firman Tuhan. Jika tidak, apa lagikah yang dapat kita gunakan sebagai acuan bersama?

Tetapi, apakah dengan demikian kita akan menerima firman Tuhan dalam Alkitab itu secara membabi buta, take it for granted? Apakah Tuhan sudah memfirmankan semua kehendakNya secara lengkap dan jelas kepada manusia?

1. Penyusunan Alkitab

Dari sejarah penyusunan Perjanjian Lama dan Injil (lihat posting Kanonisasi Alkitab dan Kanonisasi Injil yang saya teruskan/forward ke forum ini), sangat jelas terlihat bahwa Alkitab tidak diturunkan Tuhan secara bulat-bulat dari langit. Alkitab, termasuk Perjanjian Baru, disusun oleh manusia dengan cara memilih beberapa sumber tertulis yang sudah dikenal pada masa itu.

Pemilihan dan penyusunan itu dilakukan oleh sebuah tim bentukan institusi agama dengan kriteria tertentu, yang umumnya adalah keyakinan bahwa tulisan-tulisan tersebut diilhami oleh Tuhan. Namun, kita akan berdebat panjang untuk mencari tahu mengapa beberapa kitab lain yang jelas-jelas lebih kental religiositasnya tidak dimasukkan dalam kanon, sementara kitab yang [menurut sebagian orang] sangat duniawi dan bernuansa seksual —seperti Kidung Agung— justru dimasukkan.

Begitu pula halnya dengan Injil. Injil yang ditulis oleh pengarang bernama Lukas sesungguhnya adalah sebuah laporan atau berita yang ditulis bagi Teofilus. Dalam analisis tentang penulis-penulis Injil (lihat juga posting Penulis-penulis Injil yang saya teruskan ke forum diskusi ini), terlihat jelas bahwa para penulisnya bukanlah murid-murid Yesus.

Injil Matius, yang katanya ditulis oleh rasul Matius, ternyata banyak mengambil bahannya dari Injil Markus yang bukan rasul. Bahkan, Injil Yohanes yang dikatakan sebagai satu-satunya Injil yang ditulis (setidak-tidaknya bersumber dari) Yohanes murid Yesus memiliki perbedaan dengan ketiga Injil lain yang disebut Injil Sinoptis.

Mengapa pula anggota tim kanonisasi Alkitab tidak memilih Injil Petrus atau Injil Yakobus, sebagai contoh, yang ditulis oleh murid-murid Yesus sendiri? Mengapa pula bukan tulisan-tulisan Bapa Gereja lain yang dimasukkan ke dalam Perjanjian Baru, melainkan tulisan Paulus yang adalah "petobat baru"?

Secara sepintas, kita akan menganggap bahwa kriteria yang digunakan oleh tim kanonisasi itu sangat aneh dan debatable. Tetapi apa hendak dikata, merekalah yang memiliki hak untuk menetapkan, sementara kita kini hanya bisa mewarisinya.

2. Terbatasnya Petunjuk Tegas

Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.
— Yohanes 21:25

Kalimat penutup Injil Yohanes ini dengan jelas memberikan tanda bagi kita bahwa lebih banyak lagi ucapan, ajaran, dan perbuatan Yesus yang tidak tertuliskan. Gibran Kahlil Gibran dengan jitu mengatakan, "Satu hal yang Injil luput menuliskan: Yesus adalah seorang humoris". Alhasil, Yesus yang kita kenal, misalnya melalui film, adalah sosok yang sangat serius dan kaku.

Bagaimana mungkin Yesus bisa akrab dengan kanak-kanak jika dia bukan seorang yang menyenangkan (bdk. Matius 18:2, 19:14)?

Sebagai bahan perbandingan tentang Yesus dalam penampilan yang berbeda, silakan baca In The Footsteps of Jesus karya Bruce Marciano yang memerankan Yesus dalam film Gospel According To Matthew atau The Jesus I Never Knew karya Philip Yancey.

Dengan demikian, hanya sedikitlah warisan Yesus yang dapat kita peroleh dengan tegas pada saat ini. Hal ini tentu membuat kita akan mengalami kesulitan dalam menyikapi berbagai persoalan yang dahulu tidak pernah dialami oleh Yesus.

John Stott menulis sebuah buku yang membahas isu-isu global masa kini dari kaca mata kekristenan; seperti pluralisme, ancaman nuklir, lingkungan hidup, hubungan Utara-Selatan, hak asasi manusia, masalah kerja dan pengangguran, hubungan industrial, masyarakat multi-rasial, kemiskinan, pria-wanita sehubungan dengan bangkitnya feminisme, perkawinan dan perceraian, aborsi, pasangan homoseksual.

Buku itu cukup bagus. Tetapi belum membahas soal euthanasia dan kloning yang masih menjadi perdebatan kalangan gereja hingga kini. Dan saya yakin bahwa persoalan-persoalan pelik semacam itu bukannya makin berkurang melainkan semakin bertambah banyak dan kompleks pada masa yang akan datang.

Bagaimana kita bisa menjawab persoalan-persoalan semacam itu dari sumber Alkitab yang sangat terbatas? Apalagi Martin Luther menetapkan bahwa sumber kekristenan satu-satunya adalah Alkitab semata-mata. Sola scriptura.

Kita tidak memiliki cara lain selain dari melakukan perujukan, penafsiran, perspektif, dan ekstrapolasi.

3. Kebebasan Berteologi

Reformasi protestanisme yang dikibarkan oleh Luther sangat menekankan imamat am. Semua orang berhak, bahkan wajib, berperanserta dalam karya kerasulan. Itulah sebabnya Luther bersikeras agar semua orang bebas membaca Alkitab dalam bahasa mereka sendiri.

Pada masa itu, Gereja Katolik Roma hanya menggunakan bahasa Latin. Gereja pun melarang jemaatnya membaca Alkitab karena mengkhawatirkan timbulnya penafsiran-penafsiran yang menjurus pada perpecahan jemaat (bdk. 1Korintus 1:10-12) dan bidah (bdk. Galatia 1:6-9).

Konsekuensi dari imamat am tanpa hirarki kewenangan adalah bebasnya jemaat menafsir Alkitab. Akibatnya, sejak jaman Luther sendiri, timbul berbagai aliran yang didasarkan pada teologi masing-masing, yang tidak jarang menimbulkan pertikaian fisik dan perang saudara.

Maka, timbullah pertanyaan: "Siapakah yang memiliki kewenangan untuk menafsir Alkitab?"

Daripada repot-repot, umumnya kita akan menyerahkan kewenangan itu kepada para pendeta dan teolog, dengan asumsi bahwa mereka lebih mengetahui kaidah-kaidah menafsir (hermeneutika) yang benar dan disertai Roh Kudus.

Kemampuan akademis untuk menafsir, mungkin benar. Tetapi tidak ada jaminan bahwa mereka, yang menyandang gelar doktor teologi sekalipun, sudah pasti memiliki kecerdasan dan kearifan yang melampaui kaum awam.

Disertai Roh Kudus? Sebuah tanda tanya besar! Jika mereka sungguh-sungguh disertai oleh Roh Kudus, maka tidak mungkin kita akan disodori begitu banyak teologi yang kerap tidak bersesuaian antara yang satu dengan yang lain.

Hal ini masih berlangsung hingga sekarang. Munculnya ribuan denominasi di kalangan Protestan antara lain disebabkan oleh perbedaan tafsir teologis mereka terhadap Alkitab.

4. Ironi Kebebasan Teologi

Kesulitan terbesar dari lahirnya suatu teologi —terutama yang berkenaan dengan aksi nyata, bukan sekedar akademis— adalah persoalan keragaman kultur. Tidak ada satu teologi pun yang dapat menjadi jawaban atas segala persoalan di berbagai tempat.

Oleh sebab itu, sangat diperlukan kecerdasan dan kearifan para teolog lokal untuk memberi pemaknaan sikap pandang kekristenan terhadap dinamika masyarakatnya.

Apakah kita sudah dianugerahi Tuhan dengan orang-orang semacam itu?

Sebuah pertanyaan yang dapat ditanggapi dengan senyum masam dan kesinisan. Tragedi HKBP yang masih hangat dalam ingatan kita adalah sebuah bukti nyata bagaimana orang-orang istimewa yang memiliki kewenangan menafsir Alkitab itu memberikan makna baru "mencintai" sesama saudara seiman dengan kekerasan dan kepentingan kelompok.

Di lain pihak, teologi yang cenderung mengalami institusionalisasi pada akhirnya hanya akan melanggengkan status-quo. Kemandegan dalam berbagai aspek akan mengganjal pertumbuhan dan perkembangan gereja dan jemaatnya. Padahal, Luther sendiri menekankan bahwa gereja yang diperbaharui (direformasi) adalah gereja yang terus-menerus memperbaharui dirinya (ecclesia reformata sed semper reformanda).

Bukankah ini sebuah ironi?

5. Alkitab Sebagai Inti Teologi

Kita kerap terperangkap dalam doktrin sola scriptura, sehingga menganggap bahwa firman Tuhan hanyalah yang ada dalam Alkitab saja. Padahal, sebagaimana sudah dipaparkan di atas, Alkitab bukanlah sebuah kamus atau ensiklopedi yang memuat jawaban atas semua persoalan. Akibatnya, kita hanya akan menjadi orang Kristen yang miskin wawasan, bebal, dan sangat mungkin tergelincir ke sikap-sikap fanatik.

Tuhan berfirman secara khusus melalui Alkitab. Sementara, sejak awal penciptaan alam semesta ini, Tuhan sudah menerakan firman-firmanNya secara umum dalam hukum-hukum alam. Alam semesta ini adalah Alkitab yang besar dimana kehendak Tuhan berlangsung.

Oleh sebab itu, menafsir Alkitab tidaklah dapat dilepaskan dari keharusan untuk merefleksikannya dalam konteks yang lebih universal. Ibarat atom, Alkitab menjadi intinya, sementara dinamika kehidupan nyata kita menjadi elektron-elektron yang berkisar di sekelilingnya dalam harmoni keseimbangan.

6. Menuju Teologi Komunal

Teologi sebagai pembicaraan tentang Allah patutlah diejawantahkan dalam pembicaraan tentang dunia. Sehingga dalam konteks realita kita di masa kini, teologi menjadi refleksi kritis atas praksis historis dalam terang sabda Allah (A Theology of Liberation, Gustavo Gutierrez, 1973). Maka, fungsi utama teologi bukanlah memproduksi kegiatan pastoral melainkan merefleksikan secara kritis kehadiran Roh Allah dalam aktivitas pastoral komunitas kristiani.

Dengan mengacu pada konsep itu, yang didasarkan pada semangat imamat am, maka setiap orang Kristen yang memiliki kepekaan dan kepedulian sosial sudah selayaknya bersikap kritis dalam menangkap pesan Tuhan yang kita tempatkan sebagai petunjuk bagi kesejahteraan dan keselamatan manusia.

Maka, tidak ada alasan untuk menganggap suatu penafsiran terhadap Alkitab sebagai pengurangan atau penambahan atas apa yang sudah tertulis. Teologi dan penafsiran adalah upaya memperkaya dan mempertajam perhatian kita terhadap situasi yang berkembang di lingkungan kita.

Untuk itulah, kita berdiskusi dan berdialog dalam rangka mengkristalisasikan pemahaman-pemahaman kita ke dalam paradigma bersama, baik dengan sesama orang Kristen maupun non-Kristen. Karena dunia ini bukanlah milik sebagian orang saja, melainkan seluruh umat manusia. Inilah yang saya maksudkan sebagai teologi komunal.

Pada akhirnya, semua berpulang kepada diri kita masing-masing. Apakah akan tetap bersembunyi dalam tempurung kenyamanan (comfort zone) warisan dari para leluhur, ataukah berkeinginan menjawab problematika nyata saat ini dengan kembali membaca Alkitab dan menangkap pesan-pesan aktual Tuhan yang tidak tertera dalam Alkitab hasil kanonisasi orang-orang masa lampau melalui pengujian-pengujian di antara kita (bdk. 1Yohanes 4:1).

Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan tersingkap. Barangsiapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!"
— Markus 4:22-23

— Kamis, 01 Mei 2003 02:51

From: Parlindungan <parthy@...>
To: hkbp@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, 29 April 2003 23:22
Subject: Re: [hkbp] Q : Tuhan Mahatahu II

Ikutan nimbrng juga, punten...!

Saya lebih percaya ALKITAB yang saya yakini berisi firman Tuhan daripada Martin Luther. Alkitab mengatakan : "Sebab jika kamu MENGAKU dengan MULUTMU, bahwa Yesus adalah Tuhan dan PERCAYA dalam hatimu bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselematkan" (Rom 10 : 9). Jadi, siapapun dia : mau Mahatma Gandi atau Mahatma Gondo kalau dia tidak mengaku dan tidak percaya, dia tidak akan diselamatkan, FIRMAN TUHAN mengatakan demikian.Tapi kemudian, siapa yang akan membuat dia mengaku dan percaya, yakni hanya ROH KUDUS. DIA-lah yang akan menggerakkan orang tsb untuk lahir baru dan mengaku serta percaya pada Tuhan Yesus.

Allah adalah KASIH, namun Dia juga dapat murka (menghukum). Yoh 3 : 18 mengatakan : "Barang siapa percaya kepadaNYA, ia tidak akan dihukum ; barangsiapa TIDAK PERCAYA, ia telah berada di bawah HUKUMAN, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah". Jadi jelas...sekalipun orang tersebut sudah mengorbankan nyawanya bagi orang lain, namun hatinya tidak percaya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat dan mulutnya tidak mengaku, Firman Tuhan dengan tegas mengatakan dia tidak akan diselamatkan.

Kalau begitu bagaimana dengan Mahatma Gondo dan Luther King tadi ? Hanya Tuhan yang tahu, Dia adalah hakim bukan kita. Kita cukup membaca Alkitab, merenungkan dan melaksanakan serta memberitakannya dengan orang lain. Namun jika beberapa diantara kita ada yang membaca tulisan/ucapan Martin Luther, ia juga pernah mengatakan : apa yang tertulis di Alkitab biarlah itu tertulis demikian dan apa yang tidak tertulis, yah jangan dipaksa-paksa untuk ditafsirkan macam-macam.

Saya mungkin lebih sependapat kalo agama itu dibuat oleh manusia bukan Tuhan yang menciptakan agama-agama.

salam,
parlindungan

# catatan kaki