Versi cetak

Kamis, 20 November 2008 04.01

Ziarah Nalar yang Terhadang Layar Kaca

— Saat Kebajikan dan Kebijakan Menjadi Tawar

Philosophy Brain
Philosophy Brain
sanjuancollege.edu

Berbincang dengan Roberto, adik ipar saya — adik bungsu Riris, bukanlah pekerjaan yang mudah. Salah satu sifatnya yang senang menggali (atau menguji?) daya nalar lawan bicara, tidak jarang membuat orang menjadi jengkel sehingga memilih untuk menghindari perbincangan yang "berat" dengannya. Kalaupun tidak bisa menghindar, ya memilih tidak menanggapi alias bungkam.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengannya. Hanya saja, dia amat senang mengelastiskan berbagai topik perbincangan —bahkan yang sangat sederhana sekalipun— ke ruang pembahasan yang tidak pernah diduga. Utamanya adalah filosofi dan spiritual (bukan agama!). Entah apa sebabnya dia gemar menelisik hakikat dari satu fenomena yang —jika kita tinjau secara sambil lalu— tampaknya amat sederhana. Tidak banyak orang yang punya ketahanan ekstra untuk mendengar apalagi menanggapi pandangan-pandangannya yang kerap kontroversial.

Barangkali saya adalah salah satu orang dari sedikit orang yang cukup sering diajaknya membincangkan pemikiran-pemikirannya. Bukan karena saya seorang yang sabar ataupun seorang pendengar yang baik, malah sebaliknya :-), melainkan karena kebetulan saya pun memiliki sedikit kegairahan untuk mencoba memandang sesuatu lebih dari sekedar bentuk dan penampakan visualnya.

Jujur saya akui bahwa letupan-letupan pemikirannya yang liar tersebut lebih sering menggugah neuron-neuron otak saya dan menggugat pemahaman-pemahaman konvensional yang saya pegang tinimbang meresahkan emosi. Perbincangan dengannya nyaris selalu berhasil membuat saya mengkaji ulang sulaman pengertian yang sudah tercetak lama dalam wawasan saya. Saya rasa tidaklah berlebihan jika saya katakan bahwa Roberto adalah salah satu dari sedikit orang yang mampu mengetuk jendela-jendela pencerahan saya. Sehingga, ada kalanya justru saya yang mengajaknya berdiskusi. Mungkin [dan semoga] dia pun merasakan hal yang sama saat berbincang dengan saya.

Sebenarnya ada cukup banyak perbincangan dengannya yang saya pikir cukup baik untuk dibagikan. Sayangnya, saya bukan seorang yang cukup tekun untuk menuliskan semua itu, sedangkan Roberto sendiri tampaknya agak mengalami kesulitan untuk menyampaikan gagasan-gagasannya secara runtut agar mudah dicerna orang lain :-).

Kali ini, saya akan menyampaikan sebuah topik sederhana yang bermetamorfosis menjadi renungan panjang ketika hal itu sampai di pemikirannya.

Sore itu saya baru pulang kantor. Entah mengapa, tiba-tiba terbit keinginan saya untuk makan nasi goreng petai di Pegambiran, Rawamangun. Saat tiba di rumah dan melihat motornya ada di garasi, saya langsung menghubunginya lewat ponsel untuk mengajaknya makan (saya malas masuk rumah untuk naik ke kamarnya di lantai dua). Dia langsung mengiyakan. Roberto memang nyaris tidak pernah menolak ajakan atau permintaan saya. (Salah satu perilaku yang membuat orang suka berkawan dengannya adalah rasa setiakawan yang luarbiasa serta sifat ringan-tangannya yang tanpa pamrih walau membuatnya repot.)

Di perjalanan menuju rumah makan Bakmi Pegambiran itulah kami berbincang-bincang. Biasanya selalu diawali dengan topik sederhana yang diungkit secara sambil lalu. Kebetulan hari itu adalah saat-saat menjelang eksekusi mati Amrozi dan kawan-kawannya. Kami membincangkan peran media, khususnya televisi, yang kelihatannya memiliki peran luarbiasa dalam menyampaikan informasi sekaligus menunggangbalikkan nilai-nilai informasi itu sendiri.

Saya mengeluhkan cara-cara televisi menyoroti suatu peristiwa yang kerap tidak proporsional serta tidak cover both side. Dalam pandangang saya, televisi sudah bertindak tidak adil. Betapa tingginya porsi pemberitaan serta kesempatan yang diberikan bagi —dalam hal ini— trio Amrozi dan kawan-kawan untuk menyampaikan pendapat-pendapat mereka kepada khalayak luas. Seakan-akan meminta masyarakat untuk memahami pembenaran-pembenaran yang mereka ambil. Padahal, di sisi lain, ada ratusan orang yang juga terlibat dalam aksi mereka, yakni para korban bom Bali. Amatlah kecil porsi pemberitaan yang disediakan bagi mereka. Sungguh tidak berimbang.

"Televisi telah menjadikan mereka sebagai pesohor bahkan pahlawan", gerutu saya.

Roberto, yang menekuni dunia pertelevisian di bangku perkuliahan Institut Kesenian Jakarta, tidak membantah kecaman saya. Bahkan, bukan hanya satu-dua kali dia mengeluhkan tergerusnya idealisme orang-orang televisi akibat terjangan komersialisme dan persaingan memburu peringkat (rating). Pendapat sebagian orang mengenai penyalahgunaan televisi dari sarana penyebaran informasi menjadi perangkat pembodohan dan cuci-otak bukanlah suatu hal yang membuat kening mengernyit.

Kelebihan televisi untuk menampilkan sesuatu secara audio-visual telah menumpulkan daya kritis masyarakat. Jika orang hanya disodori berbagai hal yang bisa dilihat secara kasat mata melalui layar televisi, barangkali masih bisa ditoleransi. Tetapi, tidak jarang hal tersebut dibungkus dengan opini sang penyampai berita yang menggiring pemirsa ke satu sudut pandang. Menyitir ucapan dosennya, Roberto mengulas soal hegemoni wacana dan pergeseran norma masyarakat sipil (civil society) secara sistemis dan sistematis.

Bagi sebagian orang, barangkali perbincangan akan dicukupkan sampai di situ. Tetapi Roberto tidak termasuk dalam kelompok "sebagian orang" tersebut. Sebagaimana biasa, kegemarannya mengelastiskan topik pembicaraan langsung terbangkitkan.

Menurutnya, bukan hanya daya kritis masyarakat yang ditumpulkan oleh media nir-idealisme tersebut, melainkan juga nilai-nilai kebajikan dan kebijakan. Entah disadari atau tidak, pengangkatan suatu topik berita yang dilakukan secara berlebihan [plus opini tidak berimbang] tersebut telah menjadi pedang bermata banyak bagi masyarakat. Antara lain:

  1. Positifnya, masyarakat kian mengetahui duduk perkara secara lebih multicakup (komprehensif).
  2. Negatifnya, masyarakat dicekoki dengan pembenaran-pembenaran yang dikemukakan oleh salah satu pihak sehingga perlahan-lahan jadi enggan menguji kebenarannya atau membenturkannya dengan kebenaran yang dipegang pihak lain. Bahkan, bukannya tidak mungkin malah menjadi simpati pada sang pelanggar hukum dan kurang peduli pada para korban.
  3. Lebih negatif lagi, masyarakat jadi saling curiga pada sesamanya.
  4. Jauh lebih negatif lagi, sebagian orang menganggap diri mereka sudah dan lebih baik dibanding tokoh-tokoh yang ditayangkan televisi.

"Televisi kita saat ini terjebak dalam tiga pusaran utama yang menjadi ciri-ciri masyarakat yang sakit: gosip artis (terutama urusan kawin-cerai, perselingkuhan), kriminalitas yang mengekspos rincian tindak kejahatan bahkan pada jam tayang yang dinikmati oleh anak-anak, dan sinetron enteng-cengeng-dongeng-absurd maupun hantu-hantu.

Tiga pusaran komersial masyarakat yang sakit itu membuat orang menganggap dirinya sudah dan lebih baik. Karena tidak kawin-cerai dan berselingkuh, orang menganggap dirinya sudah baik secara moral dan etis. Karena tidak terlibat kejahatan, orang merasa dirinya sudah baik secara norma dan hukum. Karena tidak terpengaruh pada dongeng-cengeng-absud maupun horor hantu, orang merasa dirinya sudah baik secara sosial dan spiritual.

Bertolakbelakang dengan godaan kepemilikan materi (termasuk di dalamnya kekuasaan) yang tidak akan pernah kunjung terpuaskan sehingga menjerat orang ke dalam ketamakan, maka kebajikan dan kebijakan akan berkurang daya dorongnya ketika orang merasa merasa sudah bajik dan bijak. Materialisme itu ibarat air asin yang diminum di padang gurun. Semakin diteguk, semakin haus orang yang meminumnya. Sedangkan kebajikan dan kebijakan kerap membuat orang terlena seperti sehabis makan siang. Nyaris tidak ada manusia yang selalu haus bahkan tamak untuk terus berbuat bajik dan bijak."

Komentar Roberto membuat saya tercenung. Itukah sebabnya semangat kesetiakawanan sosial pelan-pelan menghilang dari kultur masyarakat kita? Itukah yang membuat orang merasa dirinya lebih suci dibanding orang lain sehingga beranggapan bahwa nilai-nilai yang mereka anut harus diterapkan juga pada dan bagi orang lain? Atau, paling sedikit, menghindari orang-orang yang dipandang hanya akan mencemarkan kesucian mereka.

Kita tidak bisa memungkiri kenyataan menurunnya semangat memberikan dan berbuat lebih baik. Etos kerja yang dahulu dipicu oleh rasa malu belum berhasil memberikan yang terbaik kini tergeser oleh rasa bangga sudah menjadi manusia yang lebih baik dibanding orang-orang bermasalah yang ditampilkan televisi. Kesadaran etis dan citarasa estetis yang dahulu menjadi ciri para leluhur telah lenyap bertukar egosentris dan pragmatis.

"Saya sudah menjadi orang baik. Cukup sekian urusan saya dengan orang-orang lain yang tidak baik itu."

Paling banter, kebajikan yang masih dilakukan tidak lebih dari derma atau iuran RT yang wajib dilakukan agar tidak mengurangi citra kelebihbaikan yang sudah disandang saat ini.

Begitu pula halnya yang terjadi pada orang-orang yang beragama. Panggilan untuk melayani sesama yang didorong semangat cintakasih, belarasa, serta ketundukan pilu menyadari ketidaklayakan di hadapan Tuhan telah ditaklukkan oleh rasa bangga sudah menjadi orang baik. Seluruh karunia belaskasih Tuhan dianggap sudah dibayar lunas, sehingga menganggap diri lebih pantas dekat dengan Tuhan tinimbang para artis kawin-cerai-selingkuh maupun para kriminal dan teroris.

Padahal, kebajikan itu ibarat garam yang menjadi salah satu kebutuhan utama urusan kuliner tanpa menonjolkan diri di deretan bumbu. Orang tidak lagi mencari garam dalam hidangan yang tersaji. Kebijakan itu ibarat terang yang membantu memberikan keluasan pandang bagi ruang sekitarnya tanpa menuntut jadi pusat perhatian. Orang tidak menyalakan pelita untuk mengamati pelita itu sendiri.

Lamat-lamat saya kian paham filosofi kata-kata bijak yang pernah didengungkan dua milenium lampau, "Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu."

Teringat pula saya pada pemeo klasik yang menyatakan, "seseorang berhenti menjadi santo saat dia menyadari dirinya adalah santo". Pada saat itulah dia berhenti menjadi garam dan terang bagi lingkungannya. Tidak ada gunanya.

Televisi yang tengah kehilangan idealisme itu sudah menunggangbalikkan semua nilai-nilai tersebut. Membuat kebajikan dan kebijakan jadi tawar, menetralisasi otak dan hati dari kegundahan bahwa semua yang kita berikan dan lakukan bagi sesama dan lingkungan belum dan tidak akan pernah cukup, membuat kita puas menatap diri sendiri lalu bergumam senang bahwa semua sudah oke.

Berbincang dengan Roberto memang bukan pekerjaan mudah, tapi bukannya tidak menggairahkan. Sebab bukan cuma mulut dan otak yang harus bekerja keras. Hati akan digedor dengan pertanyaan menikam, rasa bangga dan rasa puas pun harus ditelan sebagai pil pahit memuakkan.

Saya tidak tahu apakah Roberto juga menyadari hal itu. Saya hanya berharap dia tidak tersiksa akibat ketidaklelahannya memandang dan menelisik sesuatu lebih dari sekedar yang bisa ditampak secara visual seturut kaidah-kaidah optis. Sebab kehidupan yang bermakna sesungguhnya memang lebih dari sekedar itu.

— PinAng: Kamis, 20 Nopember 2008 04:01

Rabu, 05 November 2008 00.07

Spiral Kematian

Landmark Kehidupan

Spiral II
Spiral II
arthurdouet.com

Saya tidak tahu apakah saya sedang menuju gila ataukah sedang melangkah di titik nadir lorong kehidupan ataukah sedang dilanda melankoli yang amat-sangat, sehingga selama beberapa waktu belakangan ini benak saya kerap ditelikung oleh pikiran-pikiran tentang kematian. Yang jelas, hal ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan peringatan hari arwah yang diperingati oleh umat Katolik pada tanggal 2 Nopember kemarin :-).

Kematian bukanlah hal yang cukup akrab bagi saya. Dalam lingkaran keluarga kandung, baru satu kematian yang kami alami, yakni bapak saya yang berpulang pada tanggal 9 Agustus 2007. Agak keluar sedikit, masih dalam lingkup saudara dekat, memang sudah ada beberapa peristiwa kematian. Peristiwa tertua yang saya ingat adalah kematian Ompung Naboru, ibunda Mami. Saat itu saya masih kecil sehingga tidak tahu apa yang harus saya lakukan ketika berdiri di samping tempat tidur pembaringan jenasahnya. Setelah saya bekerja, Ompung Dalahi, ayah Bapak, meninggal di kampung. Saya tidak sempat melihat jenasahnya karena sudah dimakamkan ketika saya menyusul Bapak dan Mami ke sana. Kemudian kakak tertua Mami meninggal di Jakarta tanpa sempat saya hadiri pemakamannya. Lalu abang tertua Mami meninggal di kampung, dan juga tidak bisa saya hadiri pemakamannya. Demikian pula saat abang kedua Mami meninggal.

Saya memang tidak pernah suka datang ke pemakaman maupun acara-acara yang berkaitan dengan kematian :-(.

Di luar keluarga kandung, memang ada cukup banyak yang saya ingat dan hadiri prosesi penghormatan terakhirnya (melayat). Misalnya ketika ayah Riris —yang saat itu belum menjadi istri saya— meninggal di Bandung. Lalu abang ayahnya (saat itu pun saya masih belum menjadi suami Riris) yang disusul oleh istrinya beberapa tahun kemudian saat saya dan Riris sudah berstatus sebagai suami-istri.

Lebih keluar lagi, dalam lingkup kekerabatan yang didasari oleh hubungan keluarga orangtua saya maupun marga serta kekerabatan dari pihak keluarga Riris, ada lebih banyak lagi peristiwa kematian. Kebanyakan dari mereka tidak saya kenal dekat sehingga nyaris tidak ada perasaan tertentu yang menggigit di dalam hati.

Di lingkung perkawanan, saya masih ingat kematian tragis seorang kawan perempuan di SMP. Lantaran bergurau dengan kawan-kawannya, dia terdorong ke jalan sehingga disambar kendaraan angkutan kota yang melaju cepat. Ketika kuliah, seorang sahabat sejak SMA meninggal akibat stroke. Saat itu saya tidak percaya bahwa orang semuda dia bisa terkena "penyakit" yang saya anggap sebagai keniscayaan orang sudah tua yang banyak pikiran. Sama sekali tidak terbayang betapa berat beban pikirannya sebagai seorang "mantan orang kaya". Setelah lulus, beberapa kawan sekelas saat perkuliahan meninggal tanpa sempat saya layat akibat perbedaan lokasi tinggal atau terlambatnya berita. Beberapa diantaranya akibat kanker.

Bagi kebanyakan orang seperti saya, kematian bukanlah suatu hal yang cepat diakrabi. Walau berita kematian di koran selalu ada setiap hari, kebanyakan dari mereka bukanlah orang-orang yang kita kenal dalam keseharian sehingga kita membacanya hanya sambil lalu atau bahkan tidak pernah membacanya.

Saat masih kecil, saya berpandangan bahwa kematian adalah "jatah" para orang tua sebagai sebuah mekanisme yang eksak bagi keuzurannya. Setelah agak besar sedikit, barulah saya sadar bahwa kematian adalah suatu peristiwa acak, dalam pengertian tidak bisa ditentukan dan dipastikan. Ke-mati-muda-an sahabat sejak SMA itu sempat membuat saya tercenung. Tidak ada yang bisa menentukan siapa yang akan mati lebih dulu. Tidak ada aturan urutannya. Apalagi jika kematian itu diakibatkan oleh hal-hal yang di luar perkiraan, entah karena sakit atau kecelakaan atau bencana. Tidak ada yang bisa menerka jadwal kedatangannya. Seperti sebuah putaran undian kesialan.

Menyimak peristiwa-peristiwa kematian yang sudah terjadi di sekitar saya, saya menampak satu pola berbentuk spiral yang bergerak dari luar menuju pusat, yakni diri saya. Kematian itu tidak melesat langsung ke hadapan saya mencabut napas saya melainkan mengambil jalan memutar sambil menjemput orang-orang di sekitar saya, mulai dari yang paling tidak saya kenali akrab hingga yang sangat dekat secara hubungan darah. Aksinya seperti burung elang yang berputar-putar di angkasa menantikan kelengahan sang korban. Tanpa ketentuan namun penuh kepastian, hingga satu saat saya pun akan bermuka-muka langsung dengannya satu lawan satu. Dan dalam hitungan keumuman selaku manusia biasa, sudah pasti saya akan kalah digelandangnya sebab saya bukan manusia immortal semacam tokoh fiksi highlander.

Saya tidak mengerti kenapa pikiran-pikiran mengenai kematian datang menghantui akhir-akhir ini. Saya bukan seorang tua yang renta, tidak pula sedang sakit ataupun mengidap penyakit mematikan (persoalan yang satu ini tidak bisa saya jamin karena saya selalu menolak memeriksakan diri ke dokter walau sakit :-(). Juga bukan seorang yang sedang dilanda depresi dahsyat sehingga menganggap kematian sebagai satu-satunya jalan terbaik untuk keluar dari kemelut tak tertanggung.

Saya tidak mau menebak-nebak ataupun mencari jawaban dari para penyusup ke masa depan. Kalau memang sudah tiba masanya, apa pula yang harus saya takuti?

Namun demikian, ada yang cukup mengganggu pikiran saya saat ini: Apa yang akan saya tinggalkan sebagai bukti di masa depan bahwa seorang ~alof pernah hadir di dunia ini? Ataukah saya memang disuratkan untuk menjadi seorang manusia yang datang hanya untuk pergi?

Pertanyaan itu kian menggedor benak tatkala beberapa hari yang lalu saya mewawancarai seorang pejabat yang bekerja di salah satu lembaga negara yang mengemban tugas menangani pelaksanaan kebijakan enerji nasional di bidang minyak dan gas (migas). Wawancara yang semula dilangsungkan dalam kisi-kisi profesional itu akhirnya berbumbu perbincangan akrab yang menghabiskan waktu makan siang (ini salah satu "sifat jelek" saya sehingga urusan yang semula murni bisnis akhirnya menjadi interpersonal). Barangkali lantaran terjalinnya kecocokan sebagai sesama mantan pekerja perusahaan multinasional yang memilih keluar karena lebih suka berdiri di bawah kibaran Merah-Putih walau harus memerosotkan perolehan pendapatan :-(.

Salah satu topik perbincangan menarik (selain urusan Kilang Tangguh yang sempat menghebohkan itu :-) ) adalah mengenai sejarah berlakunya sistem Production Sharing Contract yang merupakan inovasi cemerlang orang Indonesia. Mekanisme yang dirumuskan pada masa kepemimpinan Ibnu Soetowo tersebut diterapkan akibat keterbatasan teknologi, pengetahuan, maupun sumber daya manusia yang kompeten dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi migas. Tujuan mulia di balik itu adalah mempersiapkan manusia Indonesia agar sekian tahun kemudian bisa menangani sendiri kekayaan alamnya.

Apa lacur, mekanisme tersebut malah membuat orang-orang di lembaga yang pernah dipandang sebagai institusi terkaya itu malah terlena dalam kenikmatan memperoleh kucuran uang tanpa harus berkeringat di hutan maupun lautan. Biar saja orang asing yang berpikir, bekerja, dan memodalinya; kita tinggal menunggu jatah bagian keuntungan setelah dipotong ongkos produksi. (Saya yakin bahwa mereka juga tahu —bahkan lebih dibanding saya— bahwa tidak sedikit dari perusahaan asing itu yang sebenarnya adalah perampok dan perompak.)

Hasilnya? Hingga lebih dari setengah abad kemudian, lembaga yang dulu berlogo bintang dan sepasang kuda laut itu tidak pernah menjadi institusi yang perkasa. Anda tentu sudah tahu lembaga yang saya maksudkan. Ya, Pertamina.

Sedangkan Petronas dari Malaysia yang sekian puluh tahu lalu berguru pada lembaga ini kini menjulang lebih tinggi dan mendunia melampaui gurunya. Logo Petronas melekat angkuh di badan mobil balap Formula-1. Menara kembarnya menjulang megah sebagai landmark negeri jiran. Bisnis eksplorasi dan eksploitasi migas mereka merambah ke seantero jagad. Padahal migas mereka kalah jauh dibanding kekayaan negeri ini. Apa bukan ironis namanya?

Sebagaimana sama-sama kita ketahui, migas adalah sumber daya alam yang tidak terbaharui sehingga suatu saat pasti akan habis dan hanya menjadi sejarah masa lalu. Sehingga, amatlah wajar ketika rekan berbincang saya itu bertanya miris, "Apa yang akan ditinggalkan oleh Pertamina bagi bangsa dan negara ini sebagai bukti bahwa Republik Indonesia pernah menjadi penghasil minyak dan gas?".

Sendok es krim saya sempat terhenti di udara ketika saya merefleksikan pertanyaan itu ke hidup saya sendiri. "Satu saat saya hanya akan menjadi masa lalu dalam lintasan waktu. Apa yang akan saya tinggalkan sebagai bukti bahwa saya pernah ada? Minimal bagi orang-orang yang memiliki kedekatan hubungan dengan saya."

Blog ini? Bah!

— PinAng: Rabu, 05 Nopember 2008 00:07

landmark : kb. 1 (guide) penunjuk. 2 sesuatu yang mudah dilihat atau dikenal. 3 hal yang menonjol. 4 kejadian/peristiwa penting.
— sumber: kamus.itb.ac.id

# catatan kaki