Versi cetak

Minggu, 07 Desember 2008 01.59

Satu Minggu di Bulan Desember #1

— Masih di Jakarta

Sleeper's Dilemma
Sleeper's Dilemma
stevonlucero.com

Jumat, 5 Desember 2008

Adik saya, Michael, menelpon sekitar jam 21 bahwa dia sedang menuju rumah tempat tinggal saya. Katanya, supaya sopirnya —yang esok hari akan menjemput dan mengantar saya ke bandara— tahu jalan. Saya, Mami, Yosephine (kakak saya), dan Clarissa (anak bungsu Kak Yose) akan ke Malang esok hari guna menghadiri pembaptisan Quinn (anak Tidy, adik saya) pada hari Minggu yang akan datang.

Semula saya pikir Michael datang dari rumahnya di Cibubur sehingga saya memberikan ancar-ancar lokasi berdasarkan perkiraan tersebut dengan menggunakan kampus UKI di Cawang dan Jalan Casablanca sebagai patokan.

Ternyata dia datang dari bandara langsung setelah mendarat dari perjalanan dinasnya. Akibatnya, dia dan sopirnya pun salah mengambil belokan di Casablanca dan terpaksa berputar-putar sejenak di kawasan by-pass Jatinegara. Walau sudah dipandu melalui telepon seluler, tetap saja diperlukan waktu hampir 2 jam untuk tiba di tempat tinggal saya sejak saat pertamakali Michael menelpon saya.

Asumsi dan penyimpulan adalah 2 hal yang perlu dilakukan secara cermat. Kelengkapan dan ketepatan informasi merupakan modal yang sangat penting dalam menghubungkan kedua titik tersebut. Melalaikan peran dan porsi masing-masing akan menyebabkan pemborosan bahkan kegagalan.

Di sisi lain, kemauan untuk melakukan uji coba merupakan langkah yang sangat diperlukan tatkala sesuatu diperkirakan memiliki risiko. Daripada tersesat keesokan harinya, yang dapat mengakibatkan kerugian lebih besar akibat terlambat tiba di bandara, lebih baik menyediakan upaya ekstra untuk menjamin tingkat keberhasilan pada saat pelaksanaan.

Latihan adalah kata lainnya. Practice makes perfect, kata orang Inggris. Atau dalam peribahasa kita, alah bisa karena biasa.


Sabtu, 6 Desember 2008

Saya sudah bersiap-siap sejak pukul 8 pagi. Menurut rencana, sopir adik saya berangkat dari Cibubur sekitar jam 8.30 dengan membawa Mami, Kak Yose, dan Clarissa yang sudah tiba di rumah Michael sejak kemarin sore. Berdasarkan perkiraan dari pengalaman sehari-hari, perjalanan dari Cibubur ke tempat saya memakan waktu sekitar 1 jam sampai 1,5 jam. Sedangkan ke bandara, biasanya dicadangkan waktu 2 jam.

Ternyata, jalanan amat lengang (tentu ada hubungannya dengan libur Idul Adha yang jatuh pada hari Senin). Jarum jam belum menunjukkan pukul 9 ketika mereka tiba. Terlalu dini untuk berangkat ke bandara sebab pesawat baru akan berangkat pukul 13.30. Maka, waktu sekitar 1 jam pun dimanfaatkan untuk ngobrol-ngobrol di rumah bersama dengan Riris, Roberto (adik bungsu Riris), dan ibunda Riris (artinya, ya mertua saya :-) ).

Kadang-kadang kemudahan dan kelancaran yang kita terima malah melahirkan kebingungan. Kita tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika sesuatu berlebih. Orang lebih bersiap menghadapi kekurangan tinimbang kelebihan.

Kelebihan waktu bisa membuat kesal karena sama artinya dengan menunggu, sedangkan waktu tersebut tidak bisa kita sedekahkan atau tukar dengan barang lain. Membunuh waktu kerapkali menuntut kreativitas yang tidak sederhana, apalagi jika dilakukan bersama-sama dengan orang lain yang berbeda minat. Beruntung manusia memiliki kemampuan untuk berbincang-bincang dengan sesamanya.

Kebetulan, sehari sebelumnya, Clarissa tepat berusia 4 tahun. Riris —yang memang jauh lebih perhatian pada keponakan-keponakan saya dibanding saya sendiri— menghadiahi Clarissa baju hangat dan baju terusan. Sebagaimana lazimnya perilaku anak kecil terhadap barang baru, baju hangat itu pun langsung dipakainya.

Meskipun kakak Clarissa tidak berulangtahun (dan saat itu pun tidak ikut karena sedang mengikuti ulangan umum kelas 4 SD), dia pun mendapat hadiah. Ulangtahun seorang anak ternyata bukan hanya sekali dalam setahun. Dia pun wajib mendapat hadiah jika saudaranya mendapat hadiah. Bagi anak seusia itu, keistimewaan ulangtahun belum merupakan suatu hal yang bisa dimengerti.

Keadilan adalah sebuah konsep yang penerapannya sangat kontekstual, tidak bisa digebyah-uyah (jeneralisasi). Pengertian/pemahaman mengenai keadilan adalah hal pokok yang perlu dimiliki oleh semua pihak yang terlibat.

Perbedaan pengertian/pemahaman mengenai keadilan maupun pengejawantahannya merupakan sebuah keniscayaan yang sangat manusiawi. Dalam hal ini, toleransi merupakan jawabannya. Namun, banyak yang lupa bahwa toleransi merupakan kewajiban pihak yang lebih kuat (kuasa, jumlah), bukan kewajiban pihak yang lebih lemah. Toleransi bukanlah sebuah belaskasihan, melainkan kelapangan hati manusia yang memiliki kedewasaan dan kearifan.

Hal lain yang membuat kami "harus" melakukan hal itu adalah karena rasa setiakawan kedua kakak-beradik keponakan saya. Jika yang satu diberi sesuatu, maka dia akan bertanya apakah saudaranya juga akan memperolehnya. Hampir selalu mereka akan menolak pemberian tersebut jika tahu bahwa saudaranya tidak mendapatkan. Entah dari mana mereka mempelajari dan menghayati solidaritas sekental itu.

Wajarkah jika seseorang atau sekelompok orang berkorban menolak "rejeki" ketika dia/mereka tahu bahwa sesamanya tidak mendapatkan bagian?

Memikirkan kepentingan dan kesejahteraan pihak lain bukanlah sebuah karakter yang mudah dibentuk. Apalagi jika terdapat perbedaan kepentingan yang bisa berujung pada perselisihan. Bukannya jarang, kebutuhan (ataukah keinginan?) menyebabkan seseorang tidak peduli pada orang lain, meski orang lain itu jauh lebih membutuhkan. Bahkan, tidak mustahil pula seseorang tega merebut milik orang lain. Jika perlu, secara paksa.

Ah, betapa benar ucapan seorang bijak yang mengatakan bahwa kanak-kanak adalah yang empunya Kerajaan Allah. Mereka jauh lebih toleran dan solider dibanding kebanyakan orang dewasa, tanpa harus berkoar-koar tentang keadilan.


Sebenarnya siang hari ini ada acara kopdar (kopi darat) para anggota milis (mailing list) hkbp di Yakoma PGI. Ingin rasanya saya bergabung dengan rekan-rekan milis, apalagi kopdar kali ini dihadiri oleh Padre Joas Adiprasetya yang baru saja menuntaskan proses belajarnya dan meraih gelar Doktor Teologi dari Boston University. Namun saya tidak bisa mengarang alasan untuk tidak berangkat hari ini ke Malang. Pembaptisan keponakan saya esok hari lebih membutuhkan kehadiran saya selaku Tulangnya (dan juga kepala keluarga setelah kematian Bapak) tinimbang kopdar milis yang bertaburan banyak bintang. Saya pikir saya lebih diharapkan berada di Malang daripada di Cempaka Putih.

Rupanya memilih antara 2 pilihan yang enak sama tidak menyenangkannya dengan memilih antara 2 pilihan yang tidak enak. Tetapi pilihan harus dibuat. Keuntungan (kenikmatan, kegembiraan) kadangkala harus dilupakan tatkala tanggung jawab masuk dalam variabel pertimbangan.

Di bandara, saya sempatkan membuka email dari milis hkbp. Ada kabar bahwa beberapa rekan lain ternyata tidak bisa hadir sesuai rencana. Efron "Mbah Dukun Sesat" Dwi Poyo yang sejak semula ngotot agar acara kopdar tersebut tetap dilangsungkan pada tanggal 6 Desember ternyata harus berangkat ke Tabang (entah di mana pula lokasinya di Kalimantan Timur). Begitu pula Erwinthon "The Architect" Napitupulu, sang pemilik milis, batal datang dari rancanya di Lembang karena mobilnya bermasalah. Juga Muna "The Blade" Panggabean yang sejak beberapa hari sebelumnya sudah woro-woro tidak bisa hadir demi mengurus rencana pembuatan film yang didasarkan pada 4 cerita pendek hasil lomba di milis hkbp dan cyber-gki.

Dasar sirik, diam-diam saya berharap Padre Joas dan Padre Calvin van Pamulang juga berhalangan hadir. Ternyata, dari kabar yang saya baca kemudian, mereka berdua malah datang bersama-sama. Sebaliknya, malah Padre Daniel Taruli Asi Harahap yang tidak muncul tanpa kabar berita. Wah, kopdar milis hkbp malah dihadiri oleh 2 pendeta GKI tanpa seorang pun pendeta HKBP :-).

Saya jadi teringat pada gugatan MDS tentang bersyukur yang tidak jarang merupakan manipulasi dan kamuflase seseorang yang bergembira [dan memuji Tuhan] tatkala kemalangan tidak menimpa dirinya melainkan orang lain. Atau kemalangan yang dialaminya tidak seberat orang lain. Syukur menjadi sebuah perbandingan perolehan.

Ternyata moral saya masih payah, sebab tidak rela orang bergembira, malah berharap mereka tidak beruntung :-(.

Semula saya berencana menelpon seseorang yang hadir di Yakoma PGI sekitar jam 13 untuk menyampaikan salam bagi semua rekan yang hadir. Gara-gara asik membuka Facebook (yang entah mengapa, tampaknya banyak orang yang sedang dilanda kemurungan), lupalah saya pada niat tersebut. Ah, walau terlambat, kiranya masih bolehlah jika saat ini saya sampaikan secara nonfisikal, "selamat bergembira, wahai kawan-kawan".


Jam 14. Pesawat yang akan membawa kami ke Malang sudah siap di landasan. Kami pun bergegas masuk pesawat, lalu tinggal landas menyeruak langit Jakarta menuju Malang.

— Malang: Minggu, 7 Desember 2008 01:59

Kamis, 20 November 2008 04.01

Ziarah Nalar yang Terhadang Layar Kaca

— Saat Kebajikan dan Kebijakan Menjadi Tawar

Philosophy Brain
Philosophy Brain
sanjuancollege.edu

Berbincang dengan Roberto, adik ipar saya — adik bungsu Riris, bukanlah pekerjaan yang mudah. Salah satu sifatnya yang senang menggali (atau menguji?) daya nalar lawan bicara, tidak jarang membuat orang menjadi jengkel sehingga memilih untuk menghindari perbincangan yang "berat" dengannya. Kalaupun tidak bisa menghindar, ya memilih tidak menanggapi alias bungkam.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengannya. Hanya saja, dia amat senang mengelastiskan berbagai topik perbincangan —bahkan yang sangat sederhana sekalipun— ke ruang pembahasan yang tidak pernah diduga. Utamanya adalah filosofi dan spiritual (bukan agama!). Entah apa sebabnya dia gemar menelisik hakikat dari satu fenomena yang —jika kita tinjau secara sambil lalu— tampaknya amat sederhana. Tidak banyak orang yang punya ketahanan ekstra untuk mendengar apalagi menanggapi pandangan-pandangannya yang kerap kontroversial.

Barangkali saya adalah salah satu orang dari sedikit orang yang cukup sering diajaknya membincangkan pemikiran-pemikirannya. Bukan karena saya seorang yang sabar ataupun seorang pendengar yang baik, malah sebaliknya :-), melainkan karena kebetulan saya pun memiliki sedikit kegairahan untuk mencoba memandang sesuatu lebih dari sekedar bentuk dan penampakan visualnya.

Jujur saya akui bahwa letupan-letupan pemikirannya yang liar tersebut lebih sering menggugah neuron-neuron otak saya dan menggugat pemahaman-pemahaman konvensional yang saya pegang tinimbang meresahkan emosi. Perbincangan dengannya nyaris selalu berhasil membuat saya mengkaji ulang sulaman pengertian yang sudah tercetak lama dalam wawasan saya. Saya rasa tidaklah berlebihan jika saya katakan bahwa Roberto adalah salah satu dari sedikit orang yang mampu mengetuk jendela-jendela pencerahan saya. Sehingga, ada kalanya justru saya yang mengajaknya berdiskusi. Mungkin [dan semoga] dia pun merasakan hal yang sama saat berbincang dengan saya.

Sebenarnya ada cukup banyak perbincangan dengannya yang saya pikir cukup baik untuk dibagikan. Sayangnya, saya bukan seorang yang cukup tekun untuk menuliskan semua itu, sedangkan Roberto sendiri tampaknya agak mengalami kesulitan untuk menyampaikan gagasan-gagasannya secara runtut agar mudah dicerna orang lain :-).

Kali ini, saya akan menyampaikan sebuah topik sederhana yang bermetamorfosis menjadi renungan panjang ketika hal itu sampai di pemikirannya.

Sore itu saya baru pulang kantor. Entah mengapa, tiba-tiba terbit keinginan saya untuk makan nasi goreng petai di Pegambiran, Rawamangun. Saat tiba di rumah dan melihat motornya ada di garasi, saya langsung menghubunginya lewat ponsel untuk mengajaknya makan (saya malas masuk rumah untuk naik ke kamarnya di lantai dua). Dia langsung mengiyakan. Roberto memang nyaris tidak pernah menolak ajakan atau permintaan saya. (Salah satu perilaku yang membuat orang suka berkawan dengannya adalah rasa setiakawan yang luarbiasa serta sifat ringan-tangannya yang tanpa pamrih walau membuatnya repot.)

Di perjalanan menuju rumah makan Bakmi Pegambiran itulah kami berbincang-bincang. Biasanya selalu diawali dengan topik sederhana yang diungkit secara sambil lalu. Kebetulan hari itu adalah saat-saat menjelang eksekusi mati Amrozi dan kawan-kawannya. Kami membincangkan peran media, khususnya televisi, yang kelihatannya memiliki peran luarbiasa dalam menyampaikan informasi sekaligus menunggangbalikkan nilai-nilai informasi itu sendiri.

Saya mengeluhkan cara-cara televisi menyoroti suatu peristiwa yang kerap tidak proporsional serta tidak cover both side. Dalam pandangang saya, televisi sudah bertindak tidak adil. Betapa tingginya porsi pemberitaan serta kesempatan yang diberikan bagi —dalam hal ini— trio Amrozi dan kawan-kawan untuk menyampaikan pendapat-pendapat mereka kepada khalayak luas. Seakan-akan meminta masyarakat untuk memahami pembenaran-pembenaran yang mereka ambil. Padahal, di sisi lain, ada ratusan orang yang juga terlibat dalam aksi mereka, yakni para korban bom Bali. Amatlah kecil porsi pemberitaan yang disediakan bagi mereka. Sungguh tidak berimbang.

"Televisi telah menjadikan mereka sebagai pesohor bahkan pahlawan", gerutu saya.

Roberto, yang menekuni dunia pertelevisian di bangku perkuliahan Institut Kesenian Jakarta, tidak membantah kecaman saya. Bahkan, bukan hanya satu-dua kali dia mengeluhkan tergerusnya idealisme orang-orang televisi akibat terjangan komersialisme dan persaingan memburu peringkat (rating). Pendapat sebagian orang mengenai penyalahgunaan televisi dari sarana penyebaran informasi menjadi perangkat pembodohan dan cuci-otak bukanlah suatu hal yang membuat kening mengernyit.

Kelebihan televisi untuk menampilkan sesuatu secara audio-visual telah menumpulkan daya kritis masyarakat. Jika orang hanya disodori berbagai hal yang bisa dilihat secara kasat mata melalui layar televisi, barangkali masih bisa ditoleransi. Tetapi, tidak jarang hal tersebut dibungkus dengan opini sang penyampai berita yang menggiring pemirsa ke satu sudut pandang. Menyitir ucapan dosennya, Roberto mengulas soal hegemoni wacana dan pergeseran norma masyarakat sipil (civil society) secara sistemis dan sistematis.

Bagi sebagian orang, barangkali perbincangan akan dicukupkan sampai di situ. Tetapi Roberto tidak termasuk dalam kelompok "sebagian orang" tersebut. Sebagaimana biasa, kegemarannya mengelastiskan topik pembicaraan langsung terbangkitkan.

Menurutnya, bukan hanya daya kritis masyarakat yang ditumpulkan oleh media nir-idealisme tersebut, melainkan juga nilai-nilai kebajikan dan kebijakan. Entah disadari atau tidak, pengangkatan suatu topik berita yang dilakukan secara berlebihan [plus opini tidak berimbang] tersebut telah menjadi pedang bermata banyak bagi masyarakat. Antara lain:

  1. Positifnya, masyarakat kian mengetahui duduk perkara secara lebih multicakup (komprehensif).
  2. Negatifnya, masyarakat dicekoki dengan pembenaran-pembenaran yang dikemukakan oleh salah satu pihak sehingga perlahan-lahan jadi enggan menguji kebenarannya atau membenturkannya dengan kebenaran yang dipegang pihak lain. Bahkan, bukannya tidak mungkin malah menjadi simpati pada sang pelanggar hukum dan kurang peduli pada para korban.
  3. Lebih negatif lagi, masyarakat jadi saling curiga pada sesamanya.
  4. Jauh lebih negatif lagi, sebagian orang menganggap diri mereka sudah dan lebih baik dibanding tokoh-tokoh yang ditayangkan televisi.

"Televisi kita saat ini terjebak dalam tiga pusaran utama yang menjadi ciri-ciri masyarakat yang sakit: gosip artis (terutama urusan kawin-cerai, perselingkuhan), kriminalitas yang mengekspos rincian tindak kejahatan bahkan pada jam tayang yang dinikmati oleh anak-anak, dan sinetron enteng-cengeng-dongeng-absurd maupun hantu-hantu.

Tiga pusaran komersial masyarakat yang sakit itu membuat orang menganggap dirinya sudah dan lebih baik. Karena tidak kawin-cerai dan berselingkuh, orang menganggap dirinya sudah baik secara moral dan etis. Karena tidak terlibat kejahatan, orang merasa dirinya sudah baik secara norma dan hukum. Karena tidak terpengaruh pada dongeng-cengeng-absud maupun horor hantu, orang merasa dirinya sudah baik secara sosial dan spiritual.

Bertolakbelakang dengan godaan kepemilikan materi (termasuk di dalamnya kekuasaan) yang tidak akan pernah kunjung terpuaskan sehingga menjerat orang ke dalam ketamakan, maka kebajikan dan kebijakan akan berkurang daya dorongnya ketika orang merasa merasa sudah bajik dan bijak. Materialisme itu ibarat air asin yang diminum di padang gurun. Semakin diteguk, semakin haus orang yang meminumnya. Sedangkan kebajikan dan kebijakan kerap membuat orang terlena seperti sehabis makan siang. Nyaris tidak ada manusia yang selalu haus bahkan tamak untuk terus berbuat bajik dan bijak."

Komentar Roberto membuat saya tercenung. Itukah sebabnya semangat kesetiakawanan sosial pelan-pelan menghilang dari kultur masyarakat kita? Itukah yang membuat orang merasa dirinya lebih suci dibanding orang lain sehingga beranggapan bahwa nilai-nilai yang mereka anut harus diterapkan juga pada dan bagi orang lain? Atau, paling sedikit, menghindari orang-orang yang dipandang hanya akan mencemarkan kesucian mereka.

Kita tidak bisa memungkiri kenyataan menurunnya semangat memberikan dan berbuat lebih baik. Etos kerja yang dahulu dipicu oleh rasa malu belum berhasil memberikan yang terbaik kini tergeser oleh rasa bangga sudah menjadi manusia yang lebih baik dibanding orang-orang bermasalah yang ditampilkan televisi. Kesadaran etis dan citarasa estetis yang dahulu menjadi ciri para leluhur telah lenyap bertukar egosentris dan pragmatis.

"Saya sudah menjadi orang baik. Cukup sekian urusan saya dengan orang-orang lain yang tidak baik itu."

Paling banter, kebajikan yang masih dilakukan tidak lebih dari derma atau iuran RT yang wajib dilakukan agar tidak mengurangi citra kelebihbaikan yang sudah disandang saat ini.

Begitu pula halnya yang terjadi pada orang-orang yang beragama. Panggilan untuk melayani sesama yang didorong semangat cintakasih, belarasa, serta ketundukan pilu menyadari ketidaklayakan di hadapan Tuhan telah ditaklukkan oleh rasa bangga sudah menjadi orang baik. Seluruh karunia belaskasih Tuhan dianggap sudah dibayar lunas, sehingga menganggap diri lebih pantas dekat dengan Tuhan tinimbang para artis kawin-cerai-selingkuh maupun para kriminal dan teroris.

Padahal, kebajikan itu ibarat garam yang menjadi salah satu kebutuhan utama urusan kuliner tanpa menonjolkan diri di deretan bumbu. Orang tidak lagi mencari garam dalam hidangan yang tersaji. Kebijakan itu ibarat terang yang membantu memberikan keluasan pandang bagi ruang sekitarnya tanpa menuntut jadi pusat perhatian. Orang tidak menyalakan pelita untuk mengamati pelita itu sendiri.

Lamat-lamat saya kian paham filosofi kata-kata bijak yang pernah didengungkan dua milenium lampau, "Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu."

Teringat pula saya pada pemeo klasik yang menyatakan, "seseorang berhenti menjadi santo saat dia menyadari dirinya adalah santo". Pada saat itulah dia berhenti menjadi garam dan terang bagi lingkungannya. Tidak ada gunanya.

Televisi yang tengah kehilangan idealisme itu sudah menunggangbalikkan semua nilai-nilai tersebut. Membuat kebajikan dan kebijakan jadi tawar, menetralisasi otak dan hati dari kegundahan bahwa semua yang kita berikan dan lakukan bagi sesama dan lingkungan belum dan tidak akan pernah cukup, membuat kita puas menatap diri sendiri lalu bergumam senang bahwa semua sudah oke.

Berbincang dengan Roberto memang bukan pekerjaan mudah, tapi bukannya tidak menggairahkan. Sebab bukan cuma mulut dan otak yang harus bekerja keras. Hati akan digedor dengan pertanyaan menikam, rasa bangga dan rasa puas pun harus ditelan sebagai pil pahit memuakkan.

Saya tidak tahu apakah Roberto juga menyadari hal itu. Saya hanya berharap dia tidak tersiksa akibat ketidaklelahannya memandang dan menelisik sesuatu lebih dari sekedar yang bisa ditampak secara visual seturut kaidah-kaidah optis. Sebab kehidupan yang bermakna sesungguhnya memang lebih dari sekedar itu.

— PinAng: Kamis, 20 Nopember 2008 04:01

Rabu, 05 November 2008 00.07

Spiral Kematian

Landmark Kehidupan

Spiral II
Spiral II
arthurdouet.com

Saya tidak tahu apakah saya sedang menuju gila ataukah sedang melangkah di titik nadir lorong kehidupan ataukah sedang dilanda melankoli yang amat-sangat, sehingga selama beberapa waktu belakangan ini benak saya kerap ditelikung oleh pikiran-pikiran tentang kematian. Yang jelas, hal ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan peringatan hari arwah yang diperingati oleh umat Katolik pada tanggal 2 Nopember kemarin :-).

Kematian bukanlah hal yang cukup akrab bagi saya. Dalam lingkaran keluarga kandung, baru satu kematian yang kami alami, yakni bapak saya yang berpulang pada tanggal 9 Agustus 2007. Agak keluar sedikit, masih dalam lingkup saudara dekat, memang sudah ada beberapa peristiwa kematian. Peristiwa tertua yang saya ingat adalah kematian Ompung Naboru, ibunda Mami. Saat itu saya masih kecil sehingga tidak tahu apa yang harus saya lakukan ketika berdiri di samping tempat tidur pembaringan jenasahnya. Setelah saya bekerja, Ompung Dalahi, ayah Bapak, meninggal di kampung. Saya tidak sempat melihat jenasahnya karena sudah dimakamkan ketika saya menyusul Bapak dan Mami ke sana. Kemudian kakak tertua Mami meninggal di Jakarta tanpa sempat saya hadiri pemakamannya. Lalu abang tertua Mami meninggal di kampung, dan juga tidak bisa saya hadiri pemakamannya. Demikian pula saat abang kedua Mami meninggal.

Saya memang tidak pernah suka datang ke pemakaman maupun acara-acara yang berkaitan dengan kematian :-(.

Di luar keluarga kandung, memang ada cukup banyak yang saya ingat dan hadiri prosesi penghormatan terakhirnya (melayat). Misalnya ketika ayah Riris —yang saat itu belum menjadi istri saya— meninggal di Bandung. Lalu abang ayahnya (saat itu pun saya masih belum menjadi suami Riris) yang disusul oleh istrinya beberapa tahun kemudian saat saya dan Riris sudah berstatus sebagai suami-istri.

Lebih keluar lagi, dalam lingkup kekerabatan yang didasari oleh hubungan keluarga orangtua saya maupun marga serta kekerabatan dari pihak keluarga Riris, ada lebih banyak lagi peristiwa kematian. Kebanyakan dari mereka tidak saya kenal dekat sehingga nyaris tidak ada perasaan tertentu yang menggigit di dalam hati.

Di lingkung perkawanan, saya masih ingat kematian tragis seorang kawan perempuan di SMP. Lantaran bergurau dengan kawan-kawannya, dia terdorong ke jalan sehingga disambar kendaraan angkutan kota yang melaju cepat. Ketika kuliah, seorang sahabat sejak SMA meninggal akibat stroke. Saat itu saya tidak percaya bahwa orang semuda dia bisa terkena "penyakit" yang saya anggap sebagai keniscayaan orang sudah tua yang banyak pikiran. Sama sekali tidak terbayang betapa berat beban pikirannya sebagai seorang "mantan orang kaya". Setelah lulus, beberapa kawan sekelas saat perkuliahan meninggal tanpa sempat saya layat akibat perbedaan lokasi tinggal atau terlambatnya berita. Beberapa diantaranya akibat kanker.

Bagi kebanyakan orang seperti saya, kematian bukanlah suatu hal yang cepat diakrabi. Walau berita kematian di koran selalu ada setiap hari, kebanyakan dari mereka bukanlah orang-orang yang kita kenal dalam keseharian sehingga kita membacanya hanya sambil lalu atau bahkan tidak pernah membacanya.

Saat masih kecil, saya berpandangan bahwa kematian adalah "jatah" para orang tua sebagai sebuah mekanisme yang eksak bagi keuzurannya. Setelah agak besar sedikit, barulah saya sadar bahwa kematian adalah suatu peristiwa acak, dalam pengertian tidak bisa ditentukan dan dipastikan. Ke-mati-muda-an sahabat sejak SMA itu sempat membuat saya tercenung. Tidak ada yang bisa menentukan siapa yang akan mati lebih dulu. Tidak ada aturan urutannya. Apalagi jika kematian itu diakibatkan oleh hal-hal yang di luar perkiraan, entah karena sakit atau kecelakaan atau bencana. Tidak ada yang bisa menerka jadwal kedatangannya. Seperti sebuah putaran undian kesialan.

Menyimak peristiwa-peristiwa kematian yang sudah terjadi di sekitar saya, saya menampak satu pola berbentuk spiral yang bergerak dari luar menuju pusat, yakni diri saya. Kematian itu tidak melesat langsung ke hadapan saya mencabut napas saya melainkan mengambil jalan memutar sambil menjemput orang-orang di sekitar saya, mulai dari yang paling tidak saya kenali akrab hingga yang sangat dekat secara hubungan darah. Aksinya seperti burung elang yang berputar-putar di angkasa menantikan kelengahan sang korban. Tanpa ketentuan namun penuh kepastian, hingga satu saat saya pun akan bermuka-muka langsung dengannya satu lawan satu. Dan dalam hitungan keumuman selaku manusia biasa, sudah pasti saya akan kalah digelandangnya sebab saya bukan manusia immortal semacam tokoh fiksi highlander.

Saya tidak mengerti kenapa pikiran-pikiran mengenai kematian datang menghantui akhir-akhir ini. Saya bukan seorang tua yang renta, tidak pula sedang sakit ataupun mengidap penyakit mematikan (persoalan yang satu ini tidak bisa saya jamin karena saya selalu menolak memeriksakan diri ke dokter walau sakit :-(). Juga bukan seorang yang sedang dilanda depresi dahsyat sehingga menganggap kematian sebagai satu-satunya jalan terbaik untuk keluar dari kemelut tak tertanggung.

Saya tidak mau menebak-nebak ataupun mencari jawaban dari para penyusup ke masa depan. Kalau memang sudah tiba masanya, apa pula yang harus saya takuti?

Namun demikian, ada yang cukup mengganggu pikiran saya saat ini: Apa yang akan saya tinggalkan sebagai bukti di masa depan bahwa seorang ~alof pernah hadir di dunia ini? Ataukah saya memang disuratkan untuk menjadi seorang manusia yang datang hanya untuk pergi?

Pertanyaan itu kian menggedor benak tatkala beberapa hari yang lalu saya mewawancarai seorang pejabat yang bekerja di salah satu lembaga negara yang mengemban tugas menangani pelaksanaan kebijakan enerji nasional di bidang minyak dan gas (migas). Wawancara yang semula dilangsungkan dalam kisi-kisi profesional itu akhirnya berbumbu perbincangan akrab yang menghabiskan waktu makan siang (ini salah satu "sifat jelek" saya sehingga urusan yang semula murni bisnis akhirnya menjadi interpersonal). Barangkali lantaran terjalinnya kecocokan sebagai sesama mantan pekerja perusahaan multinasional yang memilih keluar karena lebih suka berdiri di bawah kibaran Merah-Putih walau harus memerosotkan perolehan pendapatan :-(.

Salah satu topik perbincangan menarik (selain urusan Kilang Tangguh yang sempat menghebohkan itu :-) ) adalah mengenai sejarah berlakunya sistem Production Sharing Contract yang merupakan inovasi cemerlang orang Indonesia. Mekanisme yang dirumuskan pada masa kepemimpinan Ibnu Soetowo tersebut diterapkan akibat keterbatasan teknologi, pengetahuan, maupun sumber daya manusia yang kompeten dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi migas. Tujuan mulia di balik itu adalah mempersiapkan manusia Indonesia agar sekian tahun kemudian bisa menangani sendiri kekayaan alamnya.

Apa lacur, mekanisme tersebut malah membuat orang-orang di lembaga yang pernah dipandang sebagai institusi terkaya itu malah terlena dalam kenikmatan memperoleh kucuran uang tanpa harus berkeringat di hutan maupun lautan. Biar saja orang asing yang berpikir, bekerja, dan memodalinya; kita tinggal menunggu jatah bagian keuntungan setelah dipotong ongkos produksi. (Saya yakin bahwa mereka juga tahu —bahkan lebih dibanding saya— bahwa tidak sedikit dari perusahaan asing itu yang sebenarnya adalah perampok dan perompak.)

Hasilnya? Hingga lebih dari setengah abad kemudian, lembaga yang dulu berlogo bintang dan sepasang kuda laut itu tidak pernah menjadi institusi yang perkasa. Anda tentu sudah tahu lembaga yang saya maksudkan. Ya, Pertamina.

Sedangkan Petronas dari Malaysia yang sekian puluh tahu lalu berguru pada lembaga ini kini menjulang lebih tinggi dan mendunia melampaui gurunya. Logo Petronas melekat angkuh di badan mobil balap Formula-1. Menara kembarnya menjulang megah sebagai landmark negeri jiran. Bisnis eksplorasi dan eksploitasi migas mereka merambah ke seantero jagad. Padahal migas mereka kalah jauh dibanding kekayaan negeri ini. Apa bukan ironis namanya?

Sebagaimana sama-sama kita ketahui, migas adalah sumber daya alam yang tidak terbaharui sehingga suatu saat pasti akan habis dan hanya menjadi sejarah masa lalu. Sehingga, amatlah wajar ketika rekan berbincang saya itu bertanya miris, "Apa yang akan ditinggalkan oleh Pertamina bagi bangsa dan negara ini sebagai bukti bahwa Republik Indonesia pernah menjadi penghasil minyak dan gas?".

Sendok es krim saya sempat terhenti di udara ketika saya merefleksikan pertanyaan itu ke hidup saya sendiri. "Satu saat saya hanya akan menjadi masa lalu dalam lintasan waktu. Apa yang akan saya tinggalkan sebagai bukti bahwa saya pernah ada? Minimal bagi orang-orang yang memiliki kedekatan hubungan dengan saya."

Blog ini? Bah!

— PinAng: Rabu, 05 Nopember 2008 00:07

landmark : kb. 1 (guide) penunjuk. 2 sesuatu yang mudah dilihat atau dikenal. 3 hal yang menonjol. 4 kejadian/peristiwa penting.
— sumber: kamus.itb.ac.id

Selasa, 14 Oktober 2008 03.38

Merambah Jalan Sepi

— A Tribute to Padré Daniel Taruli Asi Harahap

Lucky Luke
Lucky Luke
sesseler.de

Sekian tahun sebelum diserbu komik berseri manga dari Jepang, Indonesia sempat disodok oleh komik berwarna dalam format besar seukuran majalah yang berasal dari Amerika dan Eropa. Epideminya di Indonesia —jika saya tidak keliru— dirintis oleh sosok wartawan dengan rambut jambul bernama Tintin (1929, Prancis-Belgia) dalam kisah-kisah petualangan a-la spion internasional. Sempat juga saya menikmati lika-liku dunia penerbangan militer melalui kisah dua pilot pesawat jet Mirage dari Prancis, Tanguy dan Laverdure (1959, Prancis-Belgia). Ada juga kisah manusia prasejarah bernama Toenga (1963, Belanda) yang kalah pamor dibanding Conan The Barbarian (1932, Amerika). Juga kisah jenaka dua karib pahlawan Galia, Asterix dan Obelix (1959, Prancis-Belgia), yang mengambil setting masa ekspansi Pax Romana kekaisaran Romawi. Tentu saja tidak ketinggalan komik pahlawan super Amerika seperti Superman (1933), Batman (1939), dan Spiderman (1962).

Dari sekian banyak pilihan (yang sudah pasti tidak seberlimpah sekarang), tentu saja tidak bisa dilupakan komik berlatarbelakang situasi klasik khas Amerika pada masa wild west yang menampilkan tokoh koboi Lucky Luke (1946, Prancis-Belgia). Mungkin masih banyak lagi komik dengan berbagai macam genre yang sudah saya lupa atau tidak sempat saya baca.

Kepopuleran Lucky Luke [dan kisah koboi pada umumnya] merupakan fenomena yang cukup menarik. Ada cukup banyak orang yang menggemarinya walau keseluruhan kisahnya boleh dikatakan tidak kena-mengena dengan kultur Indonesia maupun negara lain di luar Amerika. Uniknya, komik ini pun bukan karya orang Amerika melainkan seniman Prancis dan Belgia. Sangat boleh jadi kasusnya mirip dengan kebangkitan film koboi di tangan para sineas Eropa (khususnya Itali, sehingga film-film tersebut dijuluki spaghetti western. Salah satunya adalah Django (1966) yang demikian populer sehingga banyak orang masa lalu yang menyebut koboi dengan jenggo. Ciri khas Django yang membawa-bawa peti mati itu kemudian ditiru oleh Hans Jaladara untuk komik silat Panji Tengkorak yang muncul pada tahun 1968).

Yang tidak kalah menakjubkan, hampir semua anak Indonesia (tentunya yang tidak luput dari imbas informasi dan hiburan produk Barat) pernah bermain koboi-koboian lengkap dengan topi laken, pistol Colt, dan orang Indian, bahkan pedang dan kuda pasukan kavaleri. Dugaan saya, anak-anak di belahan dunia lain pun mengalami hal yang sama.

Apa menariknya dunia koboi sehingga Lucky Luke berterima pada banyak orang? Apa yang menjadi sebab hingga berjilid-jilid buku kisah Winnetou dan Old Shatterhand karangan Karl May menjadi klasik? Apa yang menjadi daya tarik dan daya jual sehingga hampir semua aktor besar Hollywood pernah memainkan peran koboi? Apa keistimewaan orang-orang lusuh jarang mandi yang bertugas mengawal rombongan ternak sapi yang akibat pekerjaannya itu kemudian disebut cowboy?

Tentunya bukan gaya urakan dan bohemian dunia peternakan sapi dan padang rumput yang kurang akrab bagi kebanyakan orang Indonesia apalagi yang hidup di perkotaan. Tentunya juga bukan karena keasikan menggunakan pistol maupun senapan yang terlarang bagi masyarakat sipil Indonesia.

Lantas apa?

Jika kita perhatikan berbagai macam komik yang sebagian di antaranya sudah saya sebut di atas, ternyata ada keserupaan yang cukup kentara antara satu dengan yang lain, yakni kepahlawanan dan keberpihakan nyata dalam menegakkan hukum yang melindungi hak-hak manusia biasa/awam walau merisikokan keselamatan diri sendiri. Dalam hal ini, sosok Lucky Luke lebih dekat pada kenyataan tinimbang Superman yang berasal dari planet Krypton, atau Batman yang memiliki teknologi eksklusif hasil dukungan finansial korporasi Wayne, bahkan Asterix yang dibekali ramuan ajaib superkuat, yang kesemuanya secara gamblang langsung dimengerti hanya mampu hadir dalam dunia cerita. Lucky Luke adalah seorang manusia biasa yang memiliki ketrampilan menunggang kuda dan akurat dalam menembakkan peluru pistol, halmana bukanlah suatu keajaiban atau mukjijat, karena kemumpunian tersebut bisa dicapai oleh banyak manusia biasa lainnya berkat ketekunan berlatih.

Hanya saja, sebagaimana galibnya komik kartun, tentu saja hiperbolisme komis perlu diimbuhkan sebagai petanda bahwa dunia komik tetaplah suatu dunia yang lain. Maka, diciptakanlah sosok Lucky Luke yang populer ke seluruh penjuru dunia sebagai orang yang bisa menembak lebih cepat daripada bayangannya sendiri. Sesuatu yang mustahil menurut kaidah hukum-hukum optik di dunia nyata. Namun, alih-alih mempersoalkan keilmiahan komik, saya malah hendak "membesar-besarkan" kemustahilan tersebut :-).

Tidak sedikit komik kartun yang ternyata bukan sekedar bacaan ringan yang kosong makna. Sebaliknya, kita bisa memetik berbagai pelajaran kehidupan dari komik. Saya cukup meyakini hal itu sebab saya memiliki pandangan subjektif yang cukup stereotip bahwa kebanyakan penulis di belahan Barat sana seakan memiliki kewajiban moral untuk menyampaikan nilai-nilai kebajikan tertentu walau tidak ditampilkan secara telanjang melalui tulisan atau ucapan. Komik menjadi karikatur dari dunia nyata.

Lucky Luke adalah sosok koboi lugu yang tidak dihantui berbagai pikiran canggih. Logikanya lurus-lurus dan sederhana saja. Kalaupun ada pertimbangan yang menjadi dasar tindakannya, barangkali tidak jauh dari persoalan penegakan hukum (tentunya yang berlaku saat itu di dunia wild west) dan ... belas kasih yang juga diberlakukannya pada para pelanggar hukum (yang merupakan anomali di alam liar yang menuntut hukum besi). Dua hal inilah yang —menurut pendapat saya— membuat Lucky Luke jadi menarik sebab merupakan antitesis bagi arketip koboi jagoan berdarah dingin seperti yang disodorkan banyak film.

Salah satu ciri lain yang seakan menjadi pola tipikal para pahlawan komik adalah ketiadaan pamrih. Tiada balas jasa yang mereka dambakan setelah menunaikan kewajiban mereka selaku hero. Secara komis, hal ini ditunjukkan oleh Lucky Luke yang segera mencongklang kuda setianya, Jolly Jumper, berlalu dari lokasi aksi kepahlawanannya menuju matahari terbenam sambil melantunkan senandung sepi "I'm a poor lonesome cowboy, and a long way from home..."

Demikianlah dunia komik. Sebuah karikatur terbalik yang menyodok dunia nyata.

Tapi, apakah dunia komik benar-benar bertolakbelakang dengan kenyataan kita di sini dan kini serta sekedar utopi khayali? Tidak juga.

Meski tidak populer dalam aksi spektakuler, apalagi yang berkelas dunia, sesungguhnya kita bisa menyua sosok-sosok seperti Lucky Luke dalam keseharian. Mereka adalah manusia-manusia biasa yang memiliki kemampuan tertentu yang melampaui kebanyakan orang karena ketekunannya. Mereka juga bisa sakit dan terluka [lahir dan batin] seperti kita. Yang membuat perbedaan adalah keberanian mereka menanggung risiko untuk sendirian saat mengambil posisi sebagai perambah jalan yang enggan diambil oleh kebanyakan orang. Mereka berani tampil beda bukan karena sekedar ingin berbeda, melainkan karena determinasi yang kuat untuk berdiri di atas pemahaman yang dinilainya benar walau dia tahu bahwa hal itu akan membenturkannya dengan keumuman. Mereka memang bukan manusia medioker (rata-rata, kebanyakan).

Biasanya, orang-orang seperti ini pada awalnya akan menghadapi hambatan ataupun penolakan dari khalayak di sekelilingnya. Umumnya, hal ini disebabkan oleh keengganan orang di sekitarnya untuk berubah. Jangankan untuk berubah, bahkan untuk memikirkan dan mengkajinya pun sudah malas. Padahal, belum tentu perubahan yang dimaksud adalah memulai sesuatu yang sama sekali baru, melainkan "sekedar" kembali ke jalur yang selayaknya diambil. Namun lingkungan kerapkali amat lamban dan lembam untuk bergerak dari status kemapanan yang dipandang sudah memadai dan baik.

Di sinilah metafora komis Lucky Luke yang "menembak lebih cepat dari bayangannya sendiri" terejawantahkan. Dan di sini pula berlaku kaidah alamiah bahwa mereka yang akhirnya terbawa arus perubahan sebagai penikmat perubahan itu sendiri pada akhirnya hanya akan tinggal sebagai bayang-bayang dari sang perambah jalan sampai satu saat muncul seorang perambah baru ketika perubahan tersebut kembali menjadi stagnan.

Amani K-N-W
DTA, Amani K-N-W
rumametmet.com

Barangkali saya termasuk kurang gaul sehingga tidak mengenal cukup banyak Lucky Luke di dunia nyata. Tetapi, dari sedikit yang saya tahu itu, saya menampak siluet yang kian nyata pada diri seorang Daniel Taruli Asi Harahap yang lebih akrab disapa DTA. Sejak mengenalnya melalui tulisan-tulisannya di mailing list (milis) hkbp, saya sudah merasakan aura keberaniannya dalam merambah jalan sepi, yang bahkan penuh onak dan belukar. Tidak sedikit orang yang menghadang pandangan-pandangannya dengan berbagai argumen, yang pada umumnya dilambari sikap curiga "ngapain repot-repot?".

Tidak banyak —saya pikir— orang yang mau repot secara solo memikirkan dan menyusun berbagai macam rumusan perbaikan bagi sebuah lembaga sebesar HKBP. Apalagi dengan posisi yang disebutnya sendiri sebagai "pendeta kecil" yang jauh dari pusat dan pucuk kekuasaan serta tidak dititipi kuasa apa-apa. Jangankan menjadi tokoh sentral, bahkan status kependetaannya pun sempat mengambang tanpa kepastian selama setahun lebih. Sehingga, ketika beliau menyampaikan rancangan sistematis [dan teologis] perbaikan manajemen organisasi HKBP menjelang Sinode Godang yang baru lalu, ada saja orang yang menganggapnya berambisi menjadi petinggi HKBP. Seruannya agar anggota jemaat mengirimkan SMS untuk menguatkan semangat para pendeta dan perwakilan jemaat yang hadir ke Sinode pun ditanggapi sebagian orang dengan sinis.

DTA tetap bergeming. Dari rumah dinasnya di salah satu pojok Serpong, kembali beliau melontarkan himbauan yang sebenarnya sudah menjadi masalah klasik di berbagai gereja, yakni soal perayaan Natal yang dilangsungkan sebelum tanggal 25 Desember ketika masa Adven masih berjalan. Terang-jelas bahwa DTA punya hasrat menata kembali sikap lahir dan batin para anggota jemaat dalam ibadah (kerja bersama komunitas beriman) dan penghayatan ziarah iman sebagaimana sudah disusun secara cermat dan penuh pertimbangan dalam kalender gerejani/liturgi.

Bagi mereka yang sudi menelisik keindahan dan makna liturgi, tentu saja anjuran itu sangat menggairahkan sekaligus melegakan. Namun bagi mereka yang tidak mau repot mengoreksi kebiasaan salah-kaprah, tentu saja hal ini jadi menyebalkan. Berkuranglah kesempatan menghadiri banyak pesta yang diberi jubah Perayaan Natal. "Mana sempat lagi bernatalan di sana di sini jika waktunya sempit karena sudah dihadang pesta Tahun Baru?" [yang biasanya lebih meriah di kalangan orang Batak dibanding Natal apalagi Paska]. "Biarlah semua berjalan sebagaimana adanya sekarang". "Sudah tradisi". Demikian sebagian tanggapan kontra yang muncul.

Mengapa kita seakan abai pada hakikat minggu-minggu Adven sebagaimana dimaknai dan dihayati oleh orang-orang beriman sepanjang segala abad? Padahal kita menyatakan solidaritas kita dengan mereka sebagaimana disampaikan pada ajakan meneguhkan pengakuan iman setiap hari Minggu. Tidakkah kita sedia berbelarasa dengan orang-orang yang sebagian besar hidupnya berkutat dalam suasana "adven", menantikan — mengharapkan — merindukan jawaban atas doa-doa sederhana bagi hidup sederhana mereka? Tidakkah terbersit sesal mendalam yang serasa tak berampun sehingga kita memerlukan pertobatan paling memedihkan dalam khusuk pengharapan agar layak untuk sekedar menyentuh jubah-Nya? Tidakkah kita cukup sabar merasai kerinduan yang amat-sangat sehingga terpanggil untuk tekun berbenah diri menyiapkan palungan hati bagi Firman yang hidup? Ataukah kita demikian jumawa menilai kepantasan diri sehingga akhirnya memutuskan untuk mempersingkat masa olah rohani ini? Tidakkah kita ...

Ah, memang tidak mudah memaparkan persoalan ini dengan gamblang :-(. Kendati demikian, saya amat yakin bahwa hal ini bukanlah suatu kemustahilan.

Nyatanya, tidak kurang juga orang yang mendukung saran DTA sebagaimana terbaca dalam komentar-komentar di situsnya. Sebab, sesungguhnya, yang diajukan DTA bukanlah gagasan yang sama sekali baru sehingga layak dikuliti habis-habisan. Pergumulan mengenai hal ini sudah cukup lama berlangsung di banyak tempat (sehingga saya katakan sebagai persoalan klasik) dan beberapa gereja sudah berhasil menerapkannya walau harus menyediakan cukup waktu dan kesabaran. Misalnya Padré Jan Calvin Pindo yang selama tujuh tahun tidak lelah-lelah "menyadarkan" anggota jemaat GKI Pamulang tentang kedudukan masa Adven dan perayaan Natal dalam kerangka siklus ziarah iman. Begitu pula halnya upaya penyadaran yang dilakukan Padré Joas Adiprasetya melalui tulisan-tulisannya yang bernas.

Melelahkan? Mungkin. Menjengkelkan? Boleh jadi. Tetapi, manalah pula ada karya besar yang tidak menuntut ikhtiar dan pengorbanan besar? Sebab kita bukan Tuhan yang cukup berkata "Jadilah!" ataupun "Kun faya kun!".

Sebagaimana Lucky Luke yang tidak jemu-jemu "menggulung" komplotan Dalton bersaudara tanpa harus mengirimkan peluru mematikan ke tubuh mereka, demikian pula saya pikir yang dilakukan oleh DTA maupun beberapa rekan pendeta di HKBP maupun gereja lain dalam mengajar dan menggembalakan anggota jemaat agar memahami, mencintai, dan menghayati liturgi yang tidak lain adalah cerminan ziarah iman/spiritual yang hendaknya terejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Walaupun yang mereka lakukan masih "lebih cepat daripada bayangannya sendiri", semoga kian banyak orang yang berani memutuskan untuk mengambil jalan yang enggan dilalui oleh orang kebanyakan itu, sehingga satu saat nanti jalan setapak berbatu itu pun menjadi rata dan lapang sehingga tidak melukai lutut lembut kanak-kanak.

Ketika jalan itu mulai dilirik dan disusuri oleh kian banyak orang, bukannya tidak mungkin nama mereka tidak pernah dicatat dalam buku maupun ingatan, konon pula dielu-elukan. Sekian tahun ke muka, boleh jadi aksi mengembalikan gerbong ke relnya tersebut akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak pernah terjadi. Kalaupun demikian yang harus terjadi, patutlah kesahajaan Lucky Luke menjadi cermin. Segera congklang kuda menuju mentari senja sambil menyenandungkan lagu-lagu yang tidak mengeringkan tulang.

Tidak berkurang kemuliaan-Nya karena kekurangmampuan kita menyukseskan perkara, tidak bertambah pula kemuliaan-Nya akibat keberhasilan kita. Sebab pertanyaannya bukanlah "to be or not to be" melainkan "adilkah kita dalam memegang hukum dan berbelaskasihkah kita saat menegakkannya?". Di rentang ketegangan antara keduanyalah ujian sejati menyapa integritas kita agar kelak dapat kita ajukan jawaban takzim saat ditanyai, "Apakah engkau mengasihi-Ku?".

Selamat berjuang, Lucky Luke, eh Padré Daniel. Janganlah jemu berikhtiar dan berupaya. Hanya para pemberani sejatilah yang sanggup melangkah di jalan setapak nan sepi. Dan bersukacitalah jika kelak berlaksa bayang orang berseru "Hei, kita berada di jalan yang tepat!" tanpa menyebut-nyebut nama anda.

— PinAng: Selasa, 14 Oktober 2008 03:38

Minggu, 14 September 2008 15.27

The Godfather

— Mitra Keluarga

GodFather
Godfather
thegodfathertrilogy.com

Tidak banyak film yang memiliki kekuatan sedemikian hingga mampu memosisikan diri sebagai legenda yang bertahan sampai sekian masa mendatang, melampaui kemampuan bertahan fisik maupun kilau ketenaran para pemerannya. Lebih sedikit lagi film yang karakter tokohnya sedemikian kuat sehingga kerap diasosiasikan secara langsung dengan pemerannya.

The Godfather (1972) besutan sutradara Francis Ford Coppola yang diangkat dari novel karya Mario Puzo adalah salah satu contoh terbaik (meski ada sigi yang menyatakan bahwa film ini adalah legenda nomor dua setelah Citizen Kane). Dalam hal ini, Marlon Brando adalah sang Godfather. Sehingga, meski sudah memiliki generasi penerus, tak seorang pun yang sanggup menggeser karisma Brando yang memerani Don Vito Corleone. Tidak Robert de Niro (Vito Corleone muda), tidak Al Pacino (Michael Corleone), tidak pula Andy Garcia (Vincent Mancini, yang diharapkan menjadi suksesor Michael Corleone). Padahal, mereka semua adalah aktor-aktor besar, bukan aktor kacangan ataupun pendatang baru. Godfather tetap saja dipandang identik dengan Brando dan demikian pula sebaliknya.

Sebenarnya bukan soal film yang hendak saya bicarakan saat ini, melainkan soal istilah Godfather. Bagi kalangan mafia, Godfather adalah sosok bapak dan tuan yang punya kuasa memberi jaminan perlindungan dan pemeliharaan dalam segala hal bagi seseorang yang menyerahkan diri, menyatakan kesetiaan penuh, dan taat mutlak kepada sang penguasa. Hal ini terus berlaku selama orang itu tidak melanggar sumpahnya dan tidak menciderai hubungan kekeluargaan kelompok tersebut. Ibarat Faust dalam novel Goethe yang menjalin transaksi dengan Mephisto sang Iblis, perjanjian dengan sang penguasa dan keluarga besar mafia tersebut pun akan terus mengikat hingga putus napas.

Orang yang masuk dan diterima oleh keluarga mafia memiliki kewajiban berbakti pada keluarga mafia tanpa banyak hitungan. Semua yang diperintahkan atasannya, apalagi jika sang pemimpin sendiri yang menyampaikannya, dipandang sebagai kewajiban yang tidak boleh dipertanyakan apalagi ditolak. Di sisi lain, sang pemimpin wajib memfasilitasi kebutuhan hidup orang tersebut berikut keluarganya. Dalam hal ini, selain yang berurusan dengan persoalan ekonomi, juga perlindungan dari berbagai ancaman hukum maupun fisik.

Begitulah kontrak idealnya. Tetapi, pada kenyataannya, ada saja anggota yang berkhianat maupun pemimpin yang tidak menganggap anggotanya lebih berharga dibanding kepentingan sang pemimpin ataupun keluarga walau orang itu tidak melanggar perjanjian :-(.

Bisa jadi akibat kesuksesan film tersebut maka istilah Godfather jadi melekat pada dan langsung diasosiasikan dengan pemimpin mafia di Amerika (yang acapkali disamakan begitu saja dengan gangster). Sementara, sewaktu kecil dan belum mengenal yang disebut mafia, saya menyangka bahwa Godfather adalah sebutan untuk Allah Bapa berdasarkan penerjemahan secara literal.

Padahal, istilah tersebut bukan diinisiasi oleh para mafiosi, melainkan diadopsi dari lingkup Gereja Katolik Roma, yakni sebutan yang diberikan kepada orang yang menjadi Bapa Baptis (Bapa Serani) seseorang yang menerima baptisan. Penggunaan istilah ini oleh kalangan mafia bisa dimaklumi jika kita menilik latarbelakang agama mereka yang bercikal-bakal dari Italia (lebih tepatnya lagi: kawasan Sisilia).

Baptis bagi umat Katolik [dan Kristen pada umumnya] merupakan inisiasi memasuki keluarga Allah dan terikat perjanjian kekal dengan-Nya. Memang mirip dengan masuknya seseorang ke dalam lingkaran keluarga mafia, yang penyerahan diri dan sumpah setianya menjadi tanda "pembaptisan" yang dimeteraikan dengan mencium cincin sang Don (mirip dengan umat Katolik yang mencium cincin Uskup atau Paus :-) ).

Dalam prosesi Sakramen Baptis di Katolik —khususnya yang dilayankan pada anak kecil— orangtua sang anak tidak menjalaninya sendirian, melainkan didampingi pasangan suami-istri yang bertindak sebagai Orangtua Baptis (Godparent: Godfather dan Godmother) bagi sang anak (disebut Godchild, Godson atau Goddaughter). Keberadaan dan status mereka dicatat secara resmi dalam surat baptis yang diterbitkan oleh gereja.

Saya yakin ada peran khusus bagi mereka yang dipandang penting oleh gereja. Kalau tidak, untuk apa repot-repot membuat skenario semacam itu? Menurut penjelasan Bapak saya, sejatinya mereka akan berperan sebagai orangtua juga bagi sang anak, yang mendampingi orangtua kandungnya dalam banyak hal, bukan hanya dalam hal-hal yang bersifat kerohanian melainkan juga hingga ke masalah kebutuhan fisikalnya. Persis seperti orangtua kandung, kecuali dalam hal-hal yang benar-benar menjadi urusan dan kewenangan khusus keluarga asli. Maka, Bapak saya menyatakan adalah keterlaluan jika Orangtua Baptis tidak ingat tanggal lahir Anak Baptisnya.

Pendeknya, Orangtua Baptis berkewajiban memantau dan mengikuti perkembangan sang anak serta terlibat sebagai mitra orangtua kandung dalam membekali seorang manusia baru memasuki dunianya sendiri. Secara sepintas terlihat bahwa hal ini memberikan banyak dukungan positif bagi semua pihak apabila masing-masing pelaku menjalankan perannya sesuai dengan proporsinya.

Pengandaian itulah yang sempat melintas di benak saya tatkala menghadiri prosesi pembaptisan anak teman Riris di GKI Kebayoran Baru pagi tadi. Dua anaknya dibaptis berbarengan. Dan yang membawa mereka maju ke altar hanyalah ibunya saja sebab ayah mereka sudah meninggal beberapa bulan yang lalu akibat kanker. Ketika kami memberikan selamat di pintu keluar gereja, sang ibu nyaris tidak bisa membendung airmata karena terkenang pada almarhum suaminya yang tidak ada di sisinya pada momen bersejarah tersebut.

Mengapa saya harus berandai-andai? Apakah tanpa Orangtua Baptis maka sang ibu tidak akan mampu menjaga dan memelihara anak-anaknya? Tidak. Sama sekali tidak! Bukan itu maksud saya. Ada banyak bukti nyata bahwa orangtua tunggal tidaklah identik dengan ketidakmampuan mengurus anak dan keluarga. Sebaliknya, tidak sedikit anak-anak dari keluarga semacam itu yang malah berhasil dalam hidupnya.

Namun, di sisi lain, merupakan sebuah kewajaran jika seorang manusia memerlukan orang lain yang bersedia diajak bicara tentang hal-hal yang sangat pribadi dan peka, yang tidak perlu diketahui orang lain. Itu sebabnya anak-anak muda umumnya memiliki sobat untuk curhat, suami memiliki istri dan sebaliknya, yang pada dasarnya memiliki kepentingan yang sama terhadap persoalan yang dibahas atau memiliki saling ketergantungan satu terhadap yang lain.

Tetapi, kepada siapakah seorang orangtua tunggal pergi mengadu? Apalagi jika mereka dihadapkan pada keterbatasan waktu, pengetahuan, kemampuan, biaya, dan sebagainya. Terlebih-lebih jika keterbatasan-keterbatasan tersebut justru merupakan faktor yang turut mewarnai persoalan yang timbul antara sang orangtua dengan anaknya.

Kepada teman atau sahabat? Bisa saja. Sayangnya, mereka pada umumnya tidak memiliki panggilan moral untuk selalu siap menopang beban hati. Paling banter, ngobrol sesekali ataupun membantu tanpa harus terlibat secara pribadi. Bagaimana dengan kakek-nenek sang anak? Selain berbeda "dunia" dan "bahasa", mereka pun acapkali kurang bisa mengambil jarak objektif terhadap persoalan yang berlangsung antara anaknya dengan cucunya. Akibatnya, malah sering memperuncing masalah.

Bagaimana dengan Pastor atau Pendeta? Wah, susah, karena mereka tidak jarang bersikap normatif dan menggurui [bahkan menghakimi], bukannya sebagai kawan. Kepada anggota jemaat lain? Walah! Bisa-bisa menimbulkan masalah baru karena menjadi bahan pergunjingan. Apalagi mereka semua tidak mengetahui secara cukup rinci proses yang berlangsung.

Kepada Tuhan? Sudahlah pasti. Hanya saja, manusia kerapkali merasa butuh sosok yang tampak secara visual dan bisa memberikan tanggapan secara langsung.

Lalu, siapa orang yang secara etis dianggap layak mengemban tanggung jawab menjaga kerahasiaan keluarga seraya membantu menjernihkan serta menyelesaikan persoalan yang sangat pribadi semacam itu? Siapa yang mau bersukarela menempatkan diri di posisi orangtua sebagaimana layaknya orangtua asli?

Peran itulah yang seyogianya dilakoni oleh para Orangtua Baptis, demikian Bapak saya kerap menyampaikan pandangannya saat beliau masih cukup sehat untuk menunaikan kewajibannya selaku seorang Prodiakon. Hanya saja saya sangsi ada cukup banyak orang yang sungguh-sungguh melakoni peran tersebut sebagaimana diidealkan Bapak (dan hal ini pun diakui beliau), kecuali mereka yang juga memiliki hubungan kekeluargaan secara nyata. Tetapi, hubungan keluarga pun ternyata bukanlah sebuah jaminan. Di dunia nyata ini, tidak sedikit keluarga yang tidak terpelihara kekerabatannya. Jangan kata diminta untuk ikut berbagi beban.

Saya pun kurang yakin bahwa mereka yang secara legal-formal-gerejani telah tercatat sebagai Orangtua Baptis tersebut sebenarnya cukup memahami makna peran yang diembannya. Ada berapa banyak Orangtua Baptis yang benar-benar bisa menempatkan diri sebagai bagian dari keluarga Anak Baptisnya berikut tanggungjawab yang disandangnya? Faktanya, saya sendiri tidak pernah diberi penjelasan oleh pihak gereja ketika menjadi Orangtua Baptis bagi keponakan saya, apalagi dimintai konfirmasi mengenai kesanggupan menjadi Orangtua Baptis. Hanya penjelasan dari Bapak sayalah yang jadi pegangan saya. Itu pun saya diskusikan terlebih dahulu dengan kedua orangtua si anak.

Saya khawatir, jangan-jangan malah tidak ada orang yang mau menjadi Orangtua Baptis jika kepadanya disampaikan "beban berat" yang akan dipikulnya. Walhasil, menurut pandangan saya, peran tersebut di masa kini cenderung menjadi sebuah formalitas belaka, yang tidak bermakna apa-apa seusai prosesi pembaptisan.

Membandingkan Godfather kaum mafia dengan Godfather pembaptisan di Katolik, tampaknya kalangan mafioso sudah lebih berhasil menerjemahkan posisi Godfather bagi sang anak ke dalam perilaku nyata. Meskipun relasi yang terbangun antara keduabelah pihak jadi berlebihan, yakni kesetiaan mutlak kepada kekuasaan tak terbatas sang pemimpin terhadap seluruh hidup dan mati sang anak, ikatan dan pengejawantahannya dalam kehidupan merupakan sesuatu yang amat nyata tinimbang sekedar prosesi dan pencatatan di selembar kertas akta baptis.

Saya tidak tahu apakah pernah terpikirkan tentang pendudukan kembali peran Godparent dalam sebuah keluarga Katolik. Entahlah. Itu urusan yang jauh dari kemampuan saya untuk menggelutinya. Yang jelas, saya masih terus bertanya-tanya tentang siapa orang yang akan mengambil peran sebagai Godparent (tanpa harus diformalkan) bagi kedua anak teman Riris yang masih demikian panjang perjalanannya ke masa depan. Tentu saja tanpa mereduksi bahkan menihilkan posisi orangtua kandung sang anak sebagai Godparent yang sesungguhnya, sebagaimana de Niro maupun Pacino maupun Garcia yang tidak akan bisa menggeser kedudukan Brando.

Terutama pada saat dunia ini tampak demikian tidak bersahabat, betapa melegakan memiliki orang yang bersedia berdiri di samping kita.

— PinAng: Minggu, 14 September 2008 15:27

Kamis, 11 September 2008 23.57

Tujuh Tahun yang Lalu

— Macapat Kelabu Satu Bangsa

Sun Shines in New York
Sun Shines in New York
askquestions911.com
1st Plane Approaching
1st Plane Approaching
jimrlong.com
2nd Plane Approaching
2nd Plane Approaching
911research.wtc7.net
Twin Towers on Fire
Twin Towers on Fire
britannica.com
Smoke in The Sky
Smoke in The Sky
gallupindependent.com
Collapse
Collapse
debunk911myths.org
Survivor
Survivor
shieldofblue.com
Shattered Dreams, Broken Lives
Shattered Dreams, Broken Lives
illinoisphoto.com
New York Heroes
New York Heroes
arlingtoncemetery.net
911 Angel
911 Angel
packrat-pro.com
Aftermath
Aftermath
wikimedia.org
Nation Hand in Hand
Nation Hand in Hand
coronanorco.com
Healing Field
Healing Field
gothamist.com

Ground Zero — Tribute in Light

Ground Zero
911hotline.com
Ground Zero
af.mil
Ground Zero
nymag.com
Ground Zero
911hotline.com


Heaven 9-11
youtube.com

Never Forget
Never Forget
fireandrescuedecals

— PinAng: 9 September 2008 23:57

Rabu, 10 September 2008 12.00

Bianglala Kehidupan

— Merentang Busur Asa dan Juang Tanpa Putus

Rare Rainbow (Idaho, June 19, 2006)
Rare Rainbow
nationalgeographic.com

Entah kenapa, sepekan ini saya berulangkali memutar lagu Somewhere over The Rainbow, persis kelakuan orang sedang kasmaran yang tidak jemu mendendangkan lagu cinta yang sama sampai-sampai orang lain naik pitam karena bosan :-)). Padahal saya tidak sedang mengalami mood tertentu yang ada hubungannya dengan pelangi, konon pula dengan rasa kasmaran.

Sudah agak lama saya ingin tahu siapa yang menyanyikan lagu yang terdengar sederhana. Apalagi penyajiannya hanya diiringi kocokan khas pada ukulele, sebuah alat musik yang boleh dibilang sama sekali tidak elit dan prestisius bagi para pesohor musik. Benar-benar lagu yang sederhana.

Beberapa kali saya mendengar lagu itu digunakan sebagai musik ilustrasi film. Yang masih saya ingat adalah 50 First Dates yang diperani oleh Adam Sandler dan Drew Barrymore (tentu saja bersama sobat kental Sandler, Rob Schneider) serta Meet Joe Black yang dibintangi Brad Pitt dan Anthony Hopkins. Juga sebuah film lain yang saya lupa judul dan ceritanya :-(, hanya ingat adegan akhirnya dimana kamera yang berada di ketinggian angkasa menyorot sang tokoh yang berdiri di puncak sebuah bukit.

Karena film-film itu bicara tentang nilai indah harapan dan perjuangan serta penghargaan terhadap kehidupan, terlepas dari tragedi apa pun yang mengiringi dan menggerogoti, tentu sangat menarik untuk mengetahui mengapa lagu sederhana itu dipilih. Namun kali ini saya tidak hendak bicara tentang film-film tersebut walau ada sesuatu yang sangat dalam yang bisa diulas. Lain kali saja.

Satu ketika, Riris membuat sebuah demo iklan untuk media TV yang dihiasi lagu tersebut. Kontan rasa penasaran saya jadi makin tergugah. Sayangnya, Riris tidak bisa memberikan informasi banyak tentang lagu tersebut. Bodohnya pula saya saat itu tidak segera bertanya pada Mr. Google yang mahasakti dalam soal informasi :-). Walhasil, rasa ingin tahu itu tetap tinggal sebagai kerikil samar-samar dalam hati selama sekian lama.

Beberapa hari yang lalu, sewaktu mengunggah (upload) lagu-lagu ke internet, saya teringat pada lagu yang menurut saya cukup ajaib itu. Kali ini, tanpa menunda-nunda lagi, saya langsung takzim menghadap Mr. Google. Dalam hitungan kurang dari 1 detik, ribuan informasi segera membanjiri layar komputer. Dari sana, saya singgah ke perpustakaan WikiPedia untuk mencari informasi lebih dalam, serta menyambangi situs YouTube untuk mendapatkan efek visual. Dan tentu saja tidak lupa memasukkan lagu tersebut ke dalam daftar lagu untuk blog ini :-).

Israel Kamakawiwo'ole
Israel "Iz" Ka'ano'i Kamakawiwo'ole

Baru saya tahu bahwa lagu itu digubah dan dipopulerkan oleh seorang "raksasa" dari Hawaii bernama Israel Ka'ano'i Kamakawiwo'ole yang akrab disapa Iz. Kisah hidupnya cukup menarik. Selain menjadi seniman yang tekun memopulerkan musik khas Hawaii, Iz juga adalah seorang pejuang yang gigih menyerukan kebebasan dan hak-hak orang Hawaii.

Demikian besar determinasi dan upayanya, sehingga pada akhir hayatnya dia menjadi orang ketiga (tetapi rakyat biasa pertama) yang jenasahnya mendapat penghormatan disemayamkan di gedung pusat pemerintahan Honolulu. Bendera Hawaii pun dikibarkan setengah tiang pada hari pemakamannya. (Jadi ingat Bob Marley yang juga sering dianggap sebagai pahlawan orang Jamaika.) Selain raksasa dalam ukuran badan, ternyata Iz juga adalah seorang raksasa dalam musik serta perjuangan kesetaraan hak-hak sipil orang Hawaii.

Tentang lagu itu sendiri; secara mengagumkan Iz menyisipkan syair lagu "What a Wonderful World" gubahan Louis Armstrong Jr. di tengah-tengah syair lagunya. Lagu Armstrong yang berjiwa jazz/blues tersebut masuk dengan mulus dan cantik ke dalam irama hawaiian yang menjadi karakter lagu Iz. Lagu yang kemudian kerap dijuduli Somewhere over The Rainbow/What a Wonderful World itu pun populer ke seantero dunia. Bahkan hingga saat ini, setelah kematian Iz sekitar satu dekade lalu. Selain dinyanyikan banyak orang dan penyanyi sohor dari berbagai genre musik, juga menjadi lagu latar berbagai film dan iklan di berbagai negara.

Digital Rainbow
Digital Rainbow
digitalrevolutions.biz

Sekarang soal pelangi. Sejatinya, tidak satu pun dari kita —kecuali saudara-saudara yang tunanetra ataupun butawarna— asing pada pelangi serta keindahannya. Memang pelangi hanyalah sebuah fenomena optik yang bisa dijelaskan secara masuk akal oleh ilmu fisika sehingga tidak dianggap sebagai mukjijat. Namun, sekian masa yang lampau, pelangi dipandang sebagai tanda yang dilambari sifat keilahian. Bahkan menjadi meterai perjanjian damai antara Tuhan dan manusia melalui Nuh, demikian Alkitab bertutur perihal fenomena indah alam yang saat itu belum terjelaskan ilmu pengetahuan.

Maka bisa dipahami mengapa pelangi hampir selalu dikaitkan dengan kebaikan. Malahan dalam dongeng kanak-kanak, sering digambarkan sebagai busur rejeki yang di kakinya tergeletak seguci emas ataupun sepeti harta karun. Pada intinya, nyaris tidak ada metafora yang menggunakan pelangi untuk keburukan. Paling banter netral-netral saja sebagai kias keragaman ataupun dinamika asam-garam kehidupan.

Pelangi adalah simbol keindahan-tiada-tara dunia ini. Segala sesuatu demikian indah dalam harmoni bak sebuah simfoni agung. Maka, rasa haru saya cukup tergetar saat melihat klip video yang lagunya dilantunkan suara kanak-kanak Aselin Debison (silakan klik ini ataupun ini).

Sialnya, bukan klip video manis tersebut yang pertamakali saya temukan dan buka di situs YouTube :-(, melainkan video ilustrasi di bawah ini.

Entah siapa yang membuatnya, namun dengan jitu memparodikan 180° seluruh syair tentang keindahan yang semula nikmat didendangkan. Dan naasnya, justru itulah kenyataan dunia saat ini! Walhasil, lagu yang semula membuat saya penasaran itu kini malah membuat saya terjerembab dalam renung kesesakan. Benarkah dunia ini demikian indah tiada tara? Ataukah semua itu hanya dongeng pengantar tidur kanak-kanak?

Dan ketika menyimak liriknya, saya terpukau pada frasa pendek yang disodorkan Iz di akhir syairnya. Begitu singkat sehingga tidak menonjol, bahkan seperti sambil lalu. Namun, entah kenapa, saya merasa, justru pada frasa pendek itulah terkristalkan jiwa lagu tersebut.

Adalah sebuah gugatan besar yang mendasar tatkala seseorang mempertanyakan kenyataan tidak diijinkan memasuki berbagai hal indah dan menyenangkan yang berani [dan boleh] diimpikan orang lain. Seluruh keindahan yang kerap dikisahkan orang lain tinggal sebagai dongeng yang bahkan terlarang untuk dimimpikan, konon pula dinyatakan. Sebagian orang seakan berhadapan dengan dinding cadas yang membatasinya dari kebebasan dan keutuhan manusia yang asasi. Dalam hal ini saya bisa memahami maknanya dalam kaitan perjuangan Iz bagi hak-hak orang-orang asli Hawaii yang terbedakan dengan orang kulit putih.

Gugatan semacam itu membuat saya resah tatkala merefleksikannya ke dalam kehidupan di sini dan kini.

Saya percaya bahwa sesungguhnya dunia dan kehidupan ini amatlah indah. Penuh warna bagai pelangi, yang dalam lagu kanak-kanak dinyatakan sebagai ciptaan Tuhan. (Bukankah dunia dan hidup ini memang ciptaan Tuhan?) Pelangi adalah gambaran keragaman berbagai hal yang kita hadapi setiap saat dalam kehidupan. Kita bisa saja melihat sesuatu yang sama, tetapi belum tentu kita membaca makna dan memiliki rasa yang sama tentangnya. Demikianlah halnya semua kenyataan yang berlintasan di hadapan kita. Amat berwarna dan seharusnya amat menggairahkan. Bahkan setiap orang pun berhak memiliki pelanginya sendiri, tempat dia menyisipkan harapan dan mimpi-mimpi.

Sayangnya, kerapkali kita sulit menerima keberadaan orang lain yang memiliki "warna" berbeda dengan yang kita gemari. Entah bagaimana caranya menikmati keindahan pelangi yang hanya terdiri dari satu warna. Dan entah warna mana pula yang pantas dihadirkan. Setiap orang akan bertikai mempertahankan kubu masing-masing.

Pelangi kehidupan memang tidak seindah pelangi alam. Tidak musti selalu berwarna cerah semarak. Begitulah galibnya kehidupan. Namun, pelangi kehidupan ini acap berlumur lumpur hitam yang bukannya tidak jarang kita sendiri yang melaburkannya atau —lebih celaka— dilakukan satu orang terhadap lain orang. Tak perlu kita sangkal kenyataan tentang sebagian orang yang —entah dengan cara bagaimana— punya kuasa menentukan, menodai, atau bahkan merebut pelangi orang lain. Di sisi lain, tidak sedikit orang lain yang sudah tidak tahu lagi bagaimana menghayati pelangi kehidupannya yang sudah tergadaikan oleh belenggu keseharian. Di antara keduanya terentang ketegangan tak terdamaikan yang mungkin belum akan berakhir hingga hayat berpamitan pada raga.

Seandainya saja setiap orang mau berpadan diri dalam harmoni bagai nada-nada yang terangkai dalam sebuah lagu, niscaya semua akan menjadi pelangi yang anggun mewarnai kehidupan. Betapa indah dunia ini jika berjuta pelangi saling bertaut menyumbangkan keindahan masing-masing.

Pelangi memang belum menjadi tanda perdamaian dan kebaikan yang dijanjikan bagi seluruh insan. Namun kehidupan terus berjalan tanpa henti, tak jemu menantang orang-orang untuk tidak pernah menyerah hingga mencapai kaki pelangi. Di baliknyalah barangkali akan ditemukan keindahan sejati, bukannya kesemuan penuh gincu demi mematut penampilan dan kenikmatan tamak. Barangkali di sanalah bisa disua kedamaian dalam kesahajaan yang tidak canggih, tatkala setiap orang sedia berbagi dengan sesamanya, sehingga tak ada lagi orang yang masih harus berjuang menggugat hak-hak asasinya, termasuk untuk bermimpi.

Di sanalah mungkin Iz kini berada, bernyanyi riang dengan ukulelenya. Entah pula jika hal itu berarti telah terpenuhinya janji perdamaian antara Tuhan dengannya, sehingga pelanginya bukan lagi sekedar sebuah busur cahaya yang dipendarkan kristal air sebagai sebuah fenomena fisika biasa semata, bukan pula sebuah angan yang terbelenggu. Somewhere over the rainbow, dreams really do come true.

Sekarang saya bisa menarik hikmah dari parodi video ilustrasi tersebut tentang kenyataan dunia yang amat bertolakbelakang dengan keindahan di balik pelangi. Kendati demikian, bagi saya, lagu legendaris karya Israel Ka'ano'i Kamakawiwo'ole itu adalah sebuah himne bagi orang-orang yang terbedakan namun tidak pernah terkalahkan. Itu sebabnya secara intuitif saya langsung menyukainya sejak awal B-)

— PinAng: Sabtu, 6 September 2008 02:27

Sabtu, 06 September 2008 12.00

Panta Rhei*

— Nyanyi Sepi Segara Lara

Satu lagi tulisan yang menjadi peserta perlombaan yang dibatalkan itu :-((

Song of Self
Song of Self
by Henryk Fantazos

Malam masih amat muda tatkala perempuan itu duduk di sofa di hadapanku berseberang meja. Kutoleh sekejap lalu meneruskan membaca email melalui PDA. Apa peduliku? Setiap orang berhak duduk di kursi mana pun yang disukainya.

"Boleh minta rokok sebatang?" tanyanya mengoyak keasikanku.

Kuangkat wajahku dari ketertundukan. "Silakan," sahutku sambil menyorongkan bungkus rokok yang tergeletak di meja diapit pemantik api Zippo dan asbak keramik berisi dua puntung padam.

Perempuan itu mencabut sebatang rokok. Alih-alih menyalakan pemantik api a-la gentleman dalam film, aku hanya mendorong Zippo ke arahnya.

"Terimakasih," katanya sambil menghembuskan asap lewat mulut dengan tiupan kuat.

"Kembali," sahutku sepintas tanpa menghentikan gerak stylus di layar sentuh PDA. Tak terlintas hasrat bercakap-cakap meski sekedar basa-basi. Bukan kebiasaanku berkenalan dengan sembarang orang di sembarang tempat dan waktu. Apalagi di arena boling, tempat bermacam manusia boleh datang dan pergi sesuka hati tanpa wajib kenal-mengenal.

Pasti aku sudah melupakan kehadirannya jika dia tidak bicara tepat setelah kutuntaskan membaca dan membalas beberapa email.

"Tidak main?" tanyanya.

Aku menggeleng sambil mematikan PDA. "Tidak suka," kataku menegaskan.

"Terus, ngapain ke sini?"

Keningku berkerut. Untuk apa menanyakan alasan kehadiran seseorang di tempat yang boleh dikunjungi siapa pun termasuk yang tidak punya alasan?

"Mengawani sepupu," tukasku datar dengan gerakan dagu menunjuk Ronny yang beberapa bulan ini amat gandrung boling.

"O, Pak Ronny."

"Kenal?"

"Satu klub dengan temanku," sahutnya seraya menunjuk lelaki yang bermain di jalur lain. Kukenali Ishak yang belasan tahun lebih tua dibanding Ronny yang seumuranku. Sedangkan perempuan itu kutaksir tak kurang sepuluh tahun lebih muda dariku. Entah bagaimana cara pertemanan dua insan berbeda jenis kelamin yang terpaut duapuluhan tahun. Ah, bukan urusanku!

"Kamu tidak main?" tanyaku kemudian. Entah kenapa aku jadi rajin berbasa-basi. Biasanya aku amat canggung pada perempuan, apalagi di tempat umum, sehingga kerap diolok bahwa padananku adalah perempuan "rumahan" atau "sekolahan". Peranku dalam berbagai kesempatan adalah menjadi manusia periferal di tepi kerumunan sebagai figuran yang luput dari hitungan.

"Sedang malas," katanya sambil mematikan rokok di asbak.

"Biasa main di sini?"

"Seminggu sekali. Lain hari, di Kuningan atau Ancol."

"Minimal tiga kali seminggu, jago dong."

"Ah, biasa saja."

"Suka ikut turnamen?"

"Kalau hadiahnya menarik," jawabnya sambil tersenyum.

Kudorong bungkus rokok dan Zippo sekalian ke dekatnya. Rokok dia selipkan di bibir. Tangan kanannya yang menggenggam Zippo melakukan dua gerakan tanpa jeda: ibu jari mengungkit terbuka tutup Zippo dengan denting khas, lalu berbalik memutar roda gigi penggesek batu api menyalakan sumbu. Setelah ujung rokok membara, tangannya menyentak ke kiri sehingga Zippo menutup memadamkan api. Kendati hanya style dasar, belum pernah kulihat seorang perempuan memakai Zippo dengan bergaya.

"Perokok profesional juga rupanya," komentarku.

"Belasan tahun mencumbu nikotin," dia tersenyum.

Baru kusadari matanya pun memancarkan senyum di balik bulu mata yang —juga baru kusadari— amat lentik. Entah asli atau palsu, tampak pantas hadir di sana. Telanjur memandang, kuteruskan menelusur kening, hidung, pipi, bibir, dan dagunya. Tanpa bedak, hanya saputan samar gincu merah pucat di bibir. Walau tidak cantik seturut kriteriaku, semua tertata serasi. Bekas luka kecil di tepi kelopak mata kirinya bahkan menjadi aksen pemanis. Ya, manis adalah istilah yang cocok. Hitam manis, tepatnya. Eksotis.

"Ada yang aneh di mukaku?" tanyanya memergoki.

Aku menggeleng. Lambaian Ronny di depan meja kasir menyelamatkanku dari kekikukan.

"Ronny sudah selesai. Aku duluan," kataku sambil bangkit.

"Thanks rokoknya."

Aku mengangguk kecil sambil menjajari Ronny ke pintu keluar.

"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Ronny setelah kami duduk di mobil.

"Siapa?"

"Kamu dan perempuan tadi, Julia."

"Tidak ada. Hanya minta rokok."

"Hati-hati."

"Kenapa?"

"Bukan perempuan rumahan dan sekolahan."

"Karena bersama Ishak si hidung belang?"

Ronny hanya berdehem.

Aku tak berminat meneruskan. Bergunjing bukanlah kegemaranku. Lagipula, siapakah Julia sampai perlu kubicarakan? Hanya seorang perempuan yang sejenak lewat di satu malam yang sangat biasa untuk menumpang menghirup dan mengepulkan kabut nikotin dua batang rokokku.

Flying Lessons
Flying Lessons
by Henryk Fantazos

Ternyata, masih berkali-kali kujumpa Julia. Setelah kali kesekian, dia tak lagi sungkan duduk di hadapan atau sampingku. Malah sepertinya sengaja mencari. Dan, laksana ritual, aku pun langsung menyodorinya rokok berikut Zippo.

Kadang, tak satu pun kata terucap sampai aku pulang, hanya menambah tebal asap yang berlomba menggapai langit-langit. Atau bergurau mengomentari tingkah para pemula yang tersipu malu melihat bolanya menyusur parit tepi lintasan. Namun, adakalanya kami berbincang serius setelah tak lagi peduli pada kata-kata minus polesan. Atau saling meledek tanpa sakit hati. Kecerdasan dan kejenakaannya membuatku nyaman.

"Pasti kamu punya pikiran jelek tentang aku," satu kali dia berkata tiba-tiba.

"Kenapa? Karena orang yang kamu temani?" aku menebak.

Julia mengangguk, tak lepas menatapku dengan sorot mata kanak-kanak yang menuntut jawaban paling jujur.

"Bukan jelek, hanya buram," elakku bergurau. Kuhirup rokok dalam-dalam lalu mengepulkan asapnya ke atas membentuk lingkaran tebal berpilin.

"Kamu baik. Tak pernah hunjamkan pandang merendahkan," katanya lagi.

"Kenapa harus begitu? Pilihan dan kemauan tidaklah sama ukurannya bagi tiap orang."

"Jika pilihan itu bukan dari kemauan orang itu sendiri tapi pilihan dan kemauan orang lain?"

"Apa yang kamu harapkan? Belaskasihan? Jangankan airmata, darah pun tak ada harganya. Kita sendiri yang tentukan siapa kita di dunia yang tidak adil ini dengan apa pun yang kita miliki kini."

"Termasuk menjadi sepertiku?"

"Lihat, kamulah yang menilai rendah diri sendiri! Tahu apa aku tentang kenyataan yang terjadi pada diri kamu sehingga berhak menilai pembenaran yang kamu ambil? Tidak ada."

"Kalau kamu tahu ... ?" tanyanya menggantung.

"Jangan paksa aku jadi orang suci."

Julia terdiam sejenak. Asap rokok di jemarinya mendaki atmosfer pelan-pelan. Aku sengaja menunggu.

Sambil mematikan rokok dia berkata, "Aku anak sulung dari tiga bersaudara, perempuan semua, dari keluarga biasa. Kaya tidak, miskin tidak, terkenal pun tidak. Hanya jambon krislam seperti banyak orang lain."

"Jambon krislam?" aku tak paham.

"Bapak Jawa, ibu Ambon. Ibu Kristen, bapak Islam," dia tertawa senang melihat kerut keningku. Matanya ikut tertawa. Aku memencongkan mulut.

"Sore itu kami bertiga sedang pulang melalui jalan yang setiap hari kami lalui ketika sekelompok lelaki menyergap dan menyeret kami ke dalam hutan. Kepalaku diselubungi kain, tak bisa melihat apa yang terjadi pada kedua adikku. Hanya jeritan mereka yang kudengar ditingkah suara pukulan, makian dan tawa lelaki, serta kain koyak. Kian keras mereka menjerit, kian kerap pukulan kudengar, hingga akhirnya jeritan mereka melemah dan lenyap. Aku tahu, yang mereka alami sama seperti yang kualami, dianiaya dan diperkosa."

Telinga kupaksa menepis gaduh hantaman bola boling. Wajah eksotisnya bagai petang yang sekonyong-konyong diringkus malam.

"Apa yang mereka incar dari seorang novis berkawan dua perempuan kecil berseragam sekolah lanjutan pertama? Keluarga kami bukan tokoh masyarakat, bukan penggiat gereja atau mesjid, bukan pula anggota laskar. Kenapa kami?"

Mulutku terkunci. Layar di benakku mengilaskan tragedi kelam yang melanda kepulauan rempah-rempah bertahun silam.

"Sia-sia meronta. Bertubi pukulan ke badan dan kepala membuatku tak mampu bertahan tetap sadar. Saat siuman, kutemukan diriku terkapar telanjang berkubang lumpur. Perih luka dan memar melumpuhkan seluruh sendi. Kepala tak lagi berselubung. Langit di atas amat gelap. Hutan begitu senyap. Kuseru nama kedua adikku sekuat tenaga, tapi hanya bisik berludah darah yang terucap. Berulangkali kucoba, tiada bersahut. Aku melata sambil meraba-raba hingga akhirnya menyentuh benda lunak hangat. Adik bungsuku. Kukenali dari parut di lengan kirinya. Telanjang berlumur lumpur, leher mengangakan luka, kepala terkulai nyaris terpisah dari tubuhnya. Gerimis di gelap malam jadi ganti tangis yang tak sanggup kulakukan."

"Tidak usah diteruskan jika membuatmu tak nyaman," hiburku saat dia tersuruk dalam diam. Halimun kelabu bergulung-gulung di telaga gelap tanpa airmata.

"Enggankah kamu jadi pendengar cerita tak indah?" todongnya.

"Haruskah bercerita kepadaku yang hanya seorang asing bagimu?" balasku.

"Kamu Aldo. Aku Julia," katanya sambil menganjurkan tangan kanannya. Kami bersalaman seperti baru berkenalan. "Nah, sekarang kita bukan lagi orang asing satu sama lain," sambungnya menirukan dialog dari film yang kulupa judulnya. Aku menyeringai sepat.

Belum sempat dia lanjutkan kisahnya, kulihat Ronny melambai dari depan meja kasir. Kukedipkan mata pada Julia memberi isyarat aku harus pulang. Dia mengangguk tanpa kecewa.

"Besok ada waktu?" tanyanya sebelum aku beranjak.

Biasanya tak ada kegiatanku hari Sabtu. "Kuhubungi besok," kataku sambil mengeluarkan PDA hendak mencatat nomor ponselnya.

"Tidak usah. Aku akan ada di sini," elaknya halus.

Kuhampiri Ronny. Sepanjang jalan, aku hanya diam. Ronny pun tak berselera bicara. Mungkin kesal karena kalah dalam permainan.

From: jdf83@...
Date: Wednesday, 30 July 2008 21:34

dear aldo,

sebentar lagi burung besi gemuk itu membawaku melintas laut dan benua ke tempat yang belum pernah kubayangkan sekalipun dalam khayal, sebuah negeri yang tiruan saljunya dulu kerap kulihat di dedaunan cemara natal. kata orang, di sana semua mimpi tak lagi mustahil. sayangnya aku tak berani bermimpi, hanya bersedia diri mendada hari sekuat badan dan jiwa, apa pun taruhannya.

banyak yang sudah dan akan kamu dengar dari ronny ataupun orang lain. tak akan kusangkal meski bukan itu kesejatian yang erat meringkuk di pojok paling rahasia diriku. kamu pun tak sepenuhnya tahu biarpun kamu satu-satunya orang yang kututuri perihalku. apa pun kata mereka, janganlah turut menjadi hakimku, sebagaimana aku pun tak akan mengutuk noktah hidupku sebagai dosa orang lain.

julia namaku. dari nama bulan pertama paruh kedua tahun. aku tak percaya takdir, tapi pilihan dan kemauan. kuingin langkahku kini jadi pijakan pertama merengkuh kesempatan kedua dari pilihan yang kutetapkan sendiri.

harapkan aku tak patah dan kalah. doakan aku jika kamu masih percaya doa.

penuh sayang,
julia

Malam mendaki remaja.

* * *

Langit Sabtu berundung awan. Julia menawan seluruh petang dan setengah malamku lewat kisahnya.

Dia peluki jasad adik bungsunya dalam hujan, tak henti membisikkan namanya sepanjang malam hingga fajar menyeruak dari balik pepohonan sagu. Beberapa orang kampung yang lewat lantas menolongnya. Adik keduanya tidak pernah ditemukan.

Saat pulang, cuma arang membara dan puing berasap yang dia dapatkan. Genap sudah kemusnahan seketika. Tak sesuatu dan seorang pun tersisa sebagai alasan tetap tinggal. Hampa hari menuntun galaunya ke pelabuhan. Ingin dia luruhkan segalanya ke buih ombak yang menyerpih diiris lunas kapal yang membawanya ke Surabaya.

Namun, malam pekat berhujan di hutan sagu bersikeras memburu lewat ingatan maupun mimpi-mimpi yang senantiasa memaksanya terjaga bersimbah peluh. Tidur jadi sangat menakutkan. Dia larikan dirinya mengejar malam tanpa kegelapan. Profesi pramuria karaoke menyeretnya ke keping waktu padat rahasia. Cengkeraman pelik kemilau semu malam mendesaknya ke sisi paling muram seorang perempuan.

"Setelah semua direnggut paksa, masih haruskah kenajisan diludahkan pada perempuan yang memakai tubuhnya, satu-satunya milik yang tersisa, untuk bertahan? Seks tak lagi berurusan dengan kesakralan maupun rajut terhalus perasaan manusia, melainkan transaksi menunda lapar. Dan, bagiku, sebagai senjata perlawanan. Mereka memujanya, aku menistanya. Kucibir mereka yang terkapar kalah di hadapan seks yang mereka kejar," tutur Julia tanpa nada berapi-api.

Jeda sejenak sebelum dia menyambung, "Tapi, adalah munafik jika kukatakan tak pernah sekali pun menikmatinya. Seperti orang lain, aku pun punya birahi. Dan tak bisa kubunuh angan untuk merasainya sepenuh-jiwa sepenuh-tubuh bersama lelaki yang sanggup berdamai dengan keberadaanku."

"Seperti film Pretty Woman?" cetusku mencoba mengikis getir.

"Begitulah," timpalnya ringan. "Nyaris aku terbebas dari jerat kemenduaan itu saat kujumpa Ronny."

Serta-merta tenggorokanku tercekat. Alis mata kananku terangkat. Ronny? Anggukan Julia menjadi konfirmasi.

"Tapi aku tidak terlalu bodoh untuk memahami siapa diriku dan siapa Ronny. Pretty Woman adalah senandung orang yang mampu bersegera selaraskan diri seturut perkembangan keberadaan orang lain. Sedangkan kita masih selalu memperhitungkan masa lalu sebagai ukuran martabat."

"Tapi, Ronny ..."

"Setidaknya, dia menyadarkanku bahwa kubangan pun ada tingkatannya," potong Julia tertawa, "yang tidak mustahil ditembus di Jakarta ini."

Lidahku kelu. Meski kutahu Ronny jauh dari alim, tak pernah kuharap menyua sosok fragmen masa lalunya.

"Tak usah dipusingkan. Aku saja tidak kenapa-napa, malah kamu yang loyo seperti baru dilabrak debt collector," gurau Julia membuyarkan kecamuk pikiranku.

"Aku jadi curiga kamu mendekatiku karena Ronny," gumamku murung.

Julia menampar pelan pipiku sambil mencibir. Bukan marah, sebab kulihat senyum menari di matanya.

"Paranoid! Kamu kira aku anak kencur yang ingin pacarnya cemburu?"

"Lalu kenapa?"

"Sebab aku suka kamu," bisiknya tanpa menundukkan pandang.

Gubraaaak! Mungkin itulah seruan remaja jaman sekarang yang jitu memerikan perasaanku. Melongo adalah satu-satunya ekspresi yang bisa kutampilkan.

"Jangan pasang tampang bloon gitu, ah!" tegur Julia sambil menggoyang-goyangkan daguku.

Aku masih belum bisa bereaksi.

"Terlarangkah bagiku untuk menyukaimu? Terlalu tinggikah kamu untuk kusukai?" desaknya membelalak. Senyum masih menari di matanya.

Julia, aku hanyalah seorang lelaki periferal. Pengakuan seperti itu bukanlah hal biasa buatku.

"Jika demikian, kenapa aku repot-repot ke sini?" gerutuku melepaskan diri dari debar.

"Entah. Mungkin mengharap seks ...," sahutnya acuh tak acuh.

"Dasar otak kotor, mulut juga kotor!" geramku sambil menuding mulutnya.

"Memangnya tidak pernah terpikir? Ayo, ngaku!" ganti dia menuding pelipisku.

Telanjur masuk gelanggang, sekalian sajalah bertarung. "Sangkamu aku lelaki buta tuna imajinasi?"

Julia menatap mataku seakan hendak menerobos ke dalam. Dengan lembut diraihnya kepalaku mendekat ke arahnya. Di luar, gerimis turun malu-malu dalam lagu.

From: jdf83@...
Date: Friday, 1 August 2008 07:47

dear aldo,

aku baru tiba di negeri yang bekunya masih belum bisa kuakrabi. kutulis email ini di café sambil menunggu kereta. secangkir cappuccino hangat dan zippo tuamu mengawaniku. tapi aku masih sanggup bertahan tidak menyalakan rokok.

sabtu sore itu, nyaris tak luput kutatapi pintu, berharap kamu segera tiba walau kamu tak pernah janji. senyum pasti menari di mataku (begitu istilahmu) saat hadirmu memupus 5 jam penantian paling meresahkan.

itulah kali terakhir pertemuan kita. kamu terkejut saat kukatakan bahwa kamu satu-satunya orang yang kupamiti. memang tak ada siapa-siapa yang bukan orang asing bagiku. tidak pak ishak, tidak ronny, atau siapa pun yang bahkan pernah berbagi selimut denganku. hanya kamu, yang sebatas berbagi rokok, waktu, dan kata. toh tak semua percintaan bermeterai persebadanan, katamu.

diniary namaku. dari "dini hari". aku percaya janji mentari yang akan selalu berjuang datang saat subuh menjelang. kuingin hari tersulit yang kusongsong kini jadi fajar pemupus pekat meski harus merangkak lambat.

dear aldo, keretaku sudah tiba. belum sepadan terimakasihku atas semua perjumpaan kita yang membuatku tak putus berharap ada pagi di ujung lorong dan semua akan baik-baik saja.

dengan cinta,
diniary

Malam kian meranum dewasa.

* * *

Aku tidak mengawani Ronny ke tempat boling. Batuk dan pilek menyerangku membabi-buta. Bunyi komputer tanda datangnya email memaksaku turun dari ranjang.

From: jdf83@...
Date: Saturday, 2 August 2008 04:23

dear aldo,

fajar baru saja bangkit menciumi embun di balik kaca jendela. satu malam berlalu lagi, satu perjalanan pun usai sudah. namun, untaian tualang sejati temukan tempat dan makna, baru saja bermula, di hamparan lenan putih yang menantiku melangkah.

aku percaya segala sesuatu mengalir. kini aku pun akan mengalir. ke atas, melampaui lapis teratas kubangan. kuharap kota kecil yang namanya mungkin belum pernah kamu dengar ini tak menuntut daya lompat sedahsyat jakarta :-) setidaknya, tak ada yang mengukuriku lewat teropong masa lalu.

fitria namaku. dari "fitri". kuingin lahir kembali seperti bayi yang tak berbeban dosa kala menyapa dunia dengan ketelanjangan dan tangisan.

ya, aku telanjang saat ini, aldo. kumau memasuki dan dirasuki sejarah baru dengan kepolosan paling hakiki. kuingin menyapamu seutuh diri tanpa selubung, hanya berbatas udara yang dulu kerap kita gambari dengan asap.

aku juga menangis, aldo. bukan bersebabkan ketelanjangan-luka-memar berlumur lumpur di hutan sagu ataupun ranjang masai berkeringat, melainkan dari rasa paling purba yang telah kulabuhkan kekal di satu sabtu, menyimpul tuntas geligi masa lalu yang dengannya aku telah berdamai.

dear aldo, dentang lonceng doa pagi memanggil. aku harus bergegas. maklum, aku belum cukup mahir memasang tudung kepala :-)

dalam kasih,
fitria

ps. alamat ini akan kututup setelah email ini terkirim. tak usah kita rindukan masa datang. biarlah semua mengalir.

Ada yang diam-diam menyelinap lolos dari pusat diriku. Rasa kehilangan yang teramat sangat. Seorang perempuan bukan rumahan dan bukan sekolahan. Bukan kriteria idamanku. Namun satu-satunya yang pernah menghelaku dari sisi periferal menjadi orang pertama bahkan satu-satunya.

Adieu, Julia Diniary Fitria. Panta rhei.

Malam kian menyuruk renta. Hari esok mematri janji kisah berbeda.

— PinAng: Minggu, 3 Agustus 2008 04:01

[*] panta rhei (Gerika) = segala sesuatu ada dan berubah dalam aliran.

untuk seseorang yang namanya jadi ilham meski bukan tokoh nyata kisah di atas

# catatan kaki