Versi cetak

Rabu, 05 November 2008 00.07

Spiral Kematian

Landmark Kehidupan

Spiral II
Spiral II
arthurdouet.com

Saya tidak tahu apakah saya sedang menuju gila ataukah sedang melangkah di titik nadir lorong kehidupan ataukah sedang dilanda melankoli yang amat-sangat, sehingga selama beberapa waktu belakangan ini benak saya kerap ditelikung oleh pikiran-pikiran tentang kematian. Yang jelas, hal ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan peringatan hari arwah yang diperingati oleh umat Katolik pada tanggal 2 Nopember kemarin :-).

Kematian bukanlah hal yang cukup akrab bagi saya. Dalam lingkaran keluarga kandung, baru satu kematian yang kami alami, yakni bapak saya yang berpulang pada tanggal 9 Agustus 2007. Agak keluar sedikit, masih dalam lingkup saudara dekat, memang sudah ada beberapa peristiwa kematian. Peristiwa tertua yang saya ingat adalah kematian Ompung Naboru, ibunda Mami. Saat itu saya masih kecil sehingga tidak tahu apa yang harus saya lakukan ketika berdiri di samping tempat tidur pembaringan jenasahnya. Setelah saya bekerja, Ompung Dalahi, ayah Bapak, meninggal di kampung. Saya tidak sempat melihat jenasahnya karena sudah dimakamkan ketika saya menyusul Bapak dan Mami ke sana. Kemudian kakak tertua Mami meninggal di Jakarta tanpa sempat saya hadiri pemakamannya. Lalu abang tertua Mami meninggal di kampung, dan juga tidak bisa saya hadiri pemakamannya. Demikian pula saat abang kedua Mami meninggal.

Saya memang tidak pernah suka datang ke pemakaman maupun acara-acara yang berkaitan dengan kematian :-(.

Di luar keluarga kandung, memang ada cukup banyak yang saya ingat dan hadiri prosesi penghormatan terakhirnya (melayat). Misalnya ketika ayah Riris —yang saat itu belum menjadi istri saya— meninggal di Bandung. Lalu abang ayahnya (saat itu pun saya masih belum menjadi suami Riris) yang disusul oleh istrinya beberapa tahun kemudian saat saya dan Riris sudah berstatus sebagai suami-istri.

Lebih keluar lagi, dalam lingkup kekerabatan yang didasari oleh hubungan keluarga orangtua saya maupun marga serta kekerabatan dari pihak keluarga Riris, ada lebih banyak lagi peristiwa kematian. Kebanyakan dari mereka tidak saya kenal dekat sehingga nyaris tidak ada perasaan tertentu yang menggigit di dalam hati.

Di lingkung perkawanan, saya masih ingat kematian tragis seorang kawan perempuan di SMP. Lantaran bergurau dengan kawan-kawannya, dia terdorong ke jalan sehingga disambar kendaraan angkutan kota yang melaju cepat. Ketika kuliah, seorang sahabat sejak SMA meninggal akibat stroke. Saat itu saya tidak percaya bahwa orang semuda dia bisa terkena "penyakit" yang saya anggap sebagai keniscayaan orang sudah tua yang banyak pikiran. Sama sekali tidak terbayang betapa berat beban pikirannya sebagai seorang "mantan orang kaya". Setelah lulus, beberapa kawan sekelas saat perkuliahan meninggal tanpa sempat saya layat akibat perbedaan lokasi tinggal atau terlambatnya berita. Beberapa diantaranya akibat kanker.

Bagi kebanyakan orang seperti saya, kematian bukanlah suatu hal yang cepat diakrabi. Walau berita kematian di koran selalu ada setiap hari, kebanyakan dari mereka bukanlah orang-orang yang kita kenal dalam keseharian sehingga kita membacanya hanya sambil lalu atau bahkan tidak pernah membacanya.

Saat masih kecil, saya berpandangan bahwa kematian adalah "jatah" para orang tua sebagai sebuah mekanisme yang eksak bagi keuzurannya. Setelah agak besar sedikit, barulah saya sadar bahwa kematian adalah suatu peristiwa acak, dalam pengertian tidak bisa ditentukan dan dipastikan. Ke-mati-muda-an sahabat sejak SMA itu sempat membuat saya tercenung. Tidak ada yang bisa menentukan siapa yang akan mati lebih dulu. Tidak ada aturan urutannya. Apalagi jika kematian itu diakibatkan oleh hal-hal yang di luar perkiraan, entah karena sakit atau kecelakaan atau bencana. Tidak ada yang bisa menerka jadwal kedatangannya. Seperti sebuah putaran undian kesialan.

Menyimak peristiwa-peristiwa kematian yang sudah terjadi di sekitar saya, saya menampak satu pola berbentuk spiral yang bergerak dari luar menuju pusat, yakni diri saya. Kematian itu tidak melesat langsung ke hadapan saya mencabut napas saya melainkan mengambil jalan memutar sambil menjemput orang-orang di sekitar saya, mulai dari yang paling tidak saya kenali akrab hingga yang sangat dekat secara hubungan darah. Aksinya seperti burung elang yang berputar-putar di angkasa menantikan kelengahan sang korban. Tanpa ketentuan namun penuh kepastian, hingga satu saat saya pun akan bermuka-muka langsung dengannya satu lawan satu. Dan dalam hitungan keumuman selaku manusia biasa, sudah pasti saya akan kalah digelandangnya sebab saya bukan manusia immortal semacam tokoh fiksi highlander.

Saya tidak mengerti kenapa pikiran-pikiran mengenai kematian datang menghantui akhir-akhir ini. Saya bukan seorang tua yang renta, tidak pula sedang sakit ataupun mengidap penyakit mematikan (persoalan yang satu ini tidak bisa saya jamin karena saya selalu menolak memeriksakan diri ke dokter walau sakit :-(). Juga bukan seorang yang sedang dilanda depresi dahsyat sehingga menganggap kematian sebagai satu-satunya jalan terbaik untuk keluar dari kemelut tak tertanggung.

Saya tidak mau menebak-nebak ataupun mencari jawaban dari para penyusup ke masa depan. Kalau memang sudah tiba masanya, apa pula yang harus saya takuti?

Namun demikian, ada yang cukup mengganggu pikiran saya saat ini: Apa yang akan saya tinggalkan sebagai bukti di masa depan bahwa seorang ~alof pernah hadir di dunia ini? Ataukah saya memang disuratkan untuk menjadi seorang manusia yang datang hanya untuk pergi?

Pertanyaan itu kian menggedor benak tatkala beberapa hari yang lalu saya mewawancarai seorang pejabat yang bekerja di salah satu lembaga negara yang mengemban tugas menangani pelaksanaan kebijakan enerji nasional di bidang minyak dan gas (migas). Wawancara yang semula dilangsungkan dalam kisi-kisi profesional itu akhirnya berbumbu perbincangan akrab yang menghabiskan waktu makan siang (ini salah satu "sifat jelek" saya sehingga urusan yang semula murni bisnis akhirnya menjadi interpersonal). Barangkali lantaran terjalinnya kecocokan sebagai sesama mantan pekerja perusahaan multinasional yang memilih keluar karena lebih suka berdiri di bawah kibaran Merah-Putih walau harus memerosotkan perolehan pendapatan :-(.

Salah satu topik perbincangan menarik (selain urusan Kilang Tangguh yang sempat menghebohkan itu :-) ) adalah mengenai sejarah berlakunya sistem Production Sharing Contract yang merupakan inovasi cemerlang orang Indonesia. Mekanisme yang dirumuskan pada masa kepemimpinan Ibnu Soetowo tersebut diterapkan akibat keterbatasan teknologi, pengetahuan, maupun sumber daya manusia yang kompeten dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi migas. Tujuan mulia di balik itu adalah mempersiapkan manusia Indonesia agar sekian tahun kemudian bisa menangani sendiri kekayaan alamnya.

Apa lacur, mekanisme tersebut malah membuat orang-orang di lembaga yang pernah dipandang sebagai institusi terkaya itu malah terlena dalam kenikmatan memperoleh kucuran uang tanpa harus berkeringat di hutan maupun lautan. Biar saja orang asing yang berpikir, bekerja, dan memodalinya; kita tinggal menunggu jatah bagian keuntungan setelah dipotong ongkos produksi. (Saya yakin bahwa mereka juga tahu —bahkan lebih dibanding saya— bahwa tidak sedikit dari perusahaan asing itu yang sebenarnya adalah perampok dan perompak.)

Hasilnya? Hingga lebih dari setengah abad kemudian, lembaga yang dulu berlogo bintang dan sepasang kuda laut itu tidak pernah menjadi institusi yang perkasa. Anda tentu sudah tahu lembaga yang saya maksudkan. Ya, Pertamina.

Sedangkan Petronas dari Malaysia yang sekian puluh tahu lalu berguru pada lembaga ini kini menjulang lebih tinggi dan mendunia melampaui gurunya. Logo Petronas melekat angkuh di badan mobil balap Formula-1. Menara kembarnya menjulang megah sebagai landmark negeri jiran. Bisnis eksplorasi dan eksploitasi migas mereka merambah ke seantero jagad. Padahal migas mereka kalah jauh dibanding kekayaan negeri ini. Apa bukan ironis namanya?

Sebagaimana sama-sama kita ketahui, migas adalah sumber daya alam yang tidak terbaharui sehingga suatu saat pasti akan habis dan hanya menjadi sejarah masa lalu. Sehingga, amatlah wajar ketika rekan berbincang saya itu bertanya miris, "Apa yang akan ditinggalkan oleh Pertamina bagi bangsa dan negara ini sebagai bukti bahwa Republik Indonesia pernah menjadi penghasil minyak dan gas?".

Sendok es krim saya sempat terhenti di udara ketika saya merefleksikan pertanyaan itu ke hidup saya sendiri. "Satu saat saya hanya akan menjadi masa lalu dalam lintasan waktu. Apa yang akan saya tinggalkan sebagai bukti bahwa saya pernah ada? Minimal bagi orang-orang yang memiliki kedekatan hubungan dengan saya."

Blog ini? Bah!

— PinAng: Rabu, 05 Nopember 2008 00:07

landmark : kb. 1 (guide) penunjuk. 2 sesuatu yang mudah dilihat atau dikenal. 3 hal yang menonjol. 4 kejadian/peristiwa penting.
— sumber: kamus.itb.ac.id

0 tanggapan:

# catatan kaki