Versi cetak

Minggu, 10 Agustus 2008 03.10

Les Misérables #2

— Hati Berlimpah Rela dan Cinta

Coming from The Heart
Coming from The Heart
universalchurchofmetaphysics

Kehidupan sebagai pelatih bersama komunitas Bangau Putih di Bogor tentu saja tidak memberikan janji masa depan mapan sebagaimana yang mungkin diraih oleh kebanyakan sarjana yang beroleh kesempatan memiliki pekerjaan tetap. Walau orang yang dilatihnya banyak yang tergolong berkecukupan serta juga pesohor, berapalah honor yang diperoleh Lis sebagai pelatih? Boleh dikatakan bahwa yang dilakukannya cenderung merupakan pengabdian tinimbang pekerjaan. Walau begitu, tidak pernah dia mengeluhkan keterbatasan pilihan yang tersedia baginya.

"Dijalani saja, Bang," katanya tanpa kehilangan senyum dan tawa yang jauh dari kesan terpaksa.

Betapa lapang hati seorang manusia yang harus menjalani keterbatasan yang tidak dapat ditolaknya. Entah dari mana datangnya kerelaan sebesar itu.

Ketabahan Lis menjalani hidup kerap membuat saya iri dan sekaligus tidak mampu menahan torehan perih yang membuncah di dalam hati ketika suatu siang saya mengunjunginya.

"Bagaimana makanmu, Lis?" tanya saya dengan perasaan sangat berdosa lantaran kentara berbasa-basi. Jelas saya bisa melihat kardus mie instan setengah kosong di pojok kamarnya.

"Begitulah, Bang, sama-sama dengan teman-teman yang tinggal di sini," sahutnya tanpa memberikan rincian penjelasan. Walau tidak pernah mengalami, saya cukup mengerti bagaimana cara makan beramai-ramai a-la asrama.

Kemudian saya mengajaknya makan siang keluar. Saya tidak tahu sudah berapa lama dia tidak merasakan gurih dan renyahnya ikan gurame goreng olahan rumah makan Sunda. Makanan yang biasanya saya santap dengan nikmat itu jadi amat sulit melewati tenggorokan.

Dalam perjalanan pulang, tidak bisa saya tahan keluarnya airmata. Bukan hanya karena haru, tetapi juga malu. Kondisi keuangan saya yang nyaris selalu pas-pasan akibat prinsip angkuh tidak sudi mengejar materi dan diperbudak uang membuat saya tidak bisa menggenggamkan uang lebih dari 500.000 rupiah ke dalam tangannya ketika berpamitan. Saya memang tidak memerlukan banyak uang untuk keperluan pribadi saya, tetapi saya kerap lupa ada orang lain yang membutuhkannya, yang seharusnya saya bisa menjadi sarana penyalurannya. Lis adalah salah satunya.

Apabila keadaan keuangan saya agak longgar, saya mengirimkan sebagian kepadanya melalui ATM. Situasi istimewa yang tidak sering terjadi ini biasanya berlangsung sekitar hari raya. Dengan bergurau saya katakan bahwa itu adalah THR (Tunjangan Hari Raya) baginya sekedar untuk membeli kue Nastar. Adakalanya pula saya mengarang alasan ingin dikirimi kue Nastar. Dan jika Lis mengatakan bahwa uang yang saya kirim terlalu banyak untuk satu stoples Nastar yang saya pesan, dengan menahan getir saya berkata, "Sisanya untuk menambah uang jajan kamu, supaya tidak makan mie instan terus."

Menurut penuturan Bapak dan Mami, Lis pernah menjalankan usaha kecil-kecilan menjual perangkat bekal makan serta perlengkapan belajar anak sekolah. Dia juga pernah menjadi guru honorer di sebuah sekolah swasta maupun menjadi guru les privat untuk beberapa anak sekolah dasar. Tetapi semua itu tidak berlangsung cukup lama, konon pula langgeng sebagai sumber mata pencaharian ataupun sekedar sampingan. Kondisi matanya mengakibatkan gerak dan kemampuannya sangat terbatas. Membaca buku saja sudah semakin sulit. Walhasil, terhentilah satu demi satu usaha yang dia coba lakoni itu, hingga akhirnya hanya kehidupan bersama komunitas Bangau Putih yang tersisa baginya.

Kendati demikian, Lis tidak ingin dikasihani, malah berusaha berusaha memberikan kinerja terbaik yang tidak kalah dibandingkan rekan lain di komunitasnya yang tidak memiliki keterbatasan. Keteguhan hati dan kegigihan upayanya melahirkan kekaguman rekan-rekan maupun peserta-latihnya (saya mendengar pengakuan ini secara langsung dari seorang Afro-American yang sengaja pensiun dari pekerjaannya sebagai profesor di Taiwan guna menimba ilmu di Bogor selama beberapa waktu).

Lis pun bersikeras tampil sebagaimana layaknya anak normal yang bertekad menunjukkan bakti dan terimakasih kepada orangtua serta cinta kepada seluruh anggota keluarga dengan seluruh kemampuannya.

Jika ada kegiatan ekstra yang mengganjarnya dengan tambahan uang, maka Lis akan membawakan oleh-oleh bagi kedua anak kakak tertua kami saat dia pulang ke Sukabumi untuk menengok Bapak dan Mami. Ada saja yang dibawanya. Entah baju, tas, pita, buku, ataupun pernak-pernik lain. Meski bukan barang mahal, amat terasa betapa mewah dan berlimpahnya rasa cinta yang terkandung di dalamnya.

Bapak dan Mami pun beberapa kali mendapat kejutan darinya. Pernah Lis membawakan DVD player, juicer, ataupun beberapa peralatan lain yang menurutnya baik jika ada di rumah Sukabumi. Tentu saja hal ini membuat Bapak dan Mami jadi rikuh sekaligus trenyuh sehingga menyarankan Lis menyimpan uangnya untuk kebutuhannya. Tetapi Lis punya pendapat sendiri.

Suatu hari Lis berkunjung ke Sukabumi. Kebetulan hari itu adalah hari pernikahan Bapak dan Mami. Tidak ada kejutan khusus yang dibawanya selain ciuman bagi kedua orangtua kami. Semuanya berlangsung biasa-biasa. Setelah meninggalkan rumah untuk kembali ke Bogor, Lis menelpon dari jalan, "Bapak, Mami, coba deh periksa di bawah bantal. Ada sesuatu," katanya agak misterius.

Bapak dan Mami menemukan amplop kecil di bawah bantal masing-masing. Di dalamnya ada uang sebesar 200.000 rupiah. Betapa tidak teriris hati mereka dan menangis. Padahal Bapak dan Mami tidaklah hidup dalam keadaan berkekurangan. Uang pensiun mereka berdua setiap bulannya saja lebih dari cukup, sehingga dapat dikatakan tidak ada kebutuhan mereka yang memerlukan sokongan berkala dari kami. Tetapi begitulah cara Lis mengungkapkan perhatian dan kasih sayangnya.

Satu kali saya mengiriminya uang lewat ATM, lalu mengabarinya lewat SMS. Tidak lama kemudian dia membalas dengan SMS yang membuat saya terpaku cukup lama (saya kutip seutuhnya termasuk kesalahan ketik yang sering terjadi akibat keterbatasan penglihatannya),

Halo, Bang, aku udah trm smsnya. Tks byk, ya. Biar Tuhan yg berkati dan memberi yg lbh kpd Abang n Gawei. Aku seneng krn Abang inget aku, tp jg sedih, krn Abang selalu inget, walau mgkn Abbng cuma dpt sdkt, tp diksh ke aku. Tks byk ya, Bang. Oya, inget ga wkt Abang ksh aku uang dr jual mbl? Kan bbrp hr sblmnya, aku lht photo kt wkt kcl yg berlima. Photonya aku simpen di HP. Disitu kt duduk, trus aku digendong Abang. Trus aku kok pgn ada yg ksh duit, ga tau knp, pdhl sih ga utk apa2, cm pgn aja. Trus aku mkr, ah, ga mgkn Abang ngasih, krn thn lalu Abang kan ksh aku wkt mau Lebaran, smtr wkt itu msh jauh dr Lebaran. Udah tuh sampe situ ga mkrin lg. Eh, ga taunya Abang ksh aku uang bbrp hr kmdn. Aku sng, tp jg sdh, krn Abang srgnya sk mikirin dan merhatiin org lain, tp kdg Abang aja ga punya. Tp kiranya itu dpt menjadi berkat melimpah dlm stp kerjaan dan jg harapan2 Abang, ya, kiranya dpt terwujud. Amin.

Sent 13:28:51 15/11/2006

Dari cerita Mami kemudian, barulah saya ketahui bahwa uang yang saya kirim untuknya pun tidak jarang dia sisihkan sebagian untuk dibagi dengan anggota keluarga yang lain. Sekecil apa pun rejeki yang diperolehnya, Lis mengupayakan untuk berbagi dengan orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Apalagi pada momen-momen spesial seperti ulang tahun kelahiran maupun pernikahan anggota keluarga kami yang tidak pernah luput dari catatannya (bahkan dialah yang selalu rajin berkirim pesan mengingatkan kami semua agar tidak lupa memberikan selamat).

Bagaimana saya tidak menyesali kebebalan yang membuat saya enggan melempar jauh-jauh prinsip omong-kosong yang selama ini saya anut tentang mengejar materi?!

Dengan kenormalan, kemampuan, dan kesempatan yang saya miliki, bukankah saya seharusnya bisa berbuat dan berbagi kasih lebih dari yang saya lakukan saat ini? Bukankah sesuatu yang kecil dan kurang berarti bagi saya sangat boleh jadi memiliki arti yang sangat besar buat orang lain?

Apakah sebenarnya saya tidak rela meneteskan keringat yang bukan demi diri sendiri? Ataukah saya terlalu malas berbelarasa dan enggan mengemban kehormatan sebagai penyalur berkat bagi sesama? Atau ... jangan-jangan hati saya sedemikian kecil sehingga tak tersedia cukup ruang bagi kasih, yang membuat saya khawatir tidak memiliki cukup cadangan bagi diri sendiri ... :-(.

— PinAng: Minggu, 10 Agustus 2008 03:10

0 tanggapan:

# catatan kaki