Joko Sutrisno Menawarkan Alternatif Irit BBM
Joko Sutrisno |
Setiap hari puluhan mobil dan motor antre di rumah Joko Sutrisno (50) di Jalan HOS Cokroaminoto Yogyakarta. Pemilik mobil dan motor itu mengantre untuk menjajal alat sederhana yang dikembangkan lelaki paruh baya itu, generator hidrogen, yang diklaim mampu menghemat 40 persen sampai 50 persen konsumsi bahan bakar.
Pada masa-masa seperti sekarang ini, setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak, usaha apa pun akan ditempuh banyak orang untuk mengurangi pengeluaran. Upaya yang dilakukan Joko Sutrisno tentu menarik perhatian, ibarat "pengobatan alternatif" ketika biaya tindakan medis mencekik leher. Apalagi Joko tidak mematok biaya tinggi bagi pemasangan generator hidrogen karyanya. Konsumennya cukup membayar Rp 75 ribu untuk motor dan Rp 150 ribu untuk mobil.
Joko sendiri menegaskan teknologi karyanya itu bukanlah teknologi baru. Pada sekitar abad ke-18, Badan Antariksa Amerika (NASA) sudah menggunakan energi hidro untuk meluncurkan roket.
Apa yang dilakukannya tak lebih sama dengan yang dilakukan Joko Suprapto pencipta Blue Energy dari Jawa Timur dan Banyugeni yang dikembangkan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Bedanya, Joko Sutrisno bukanlah sosok "misterius" seperti Joko Suprapto. Bahkan pada saat tim peneliti dari Pusat Studi Pengembangan Energi Regional (Pusper) UMY sedang sibuk dengan proses hak paten teknologi Banyugeni atau Hidro-Kerosin dengan merek BanyugeniTM, Joko dengan enteng mengatakan tak mau berurusan dengan mekanisme hak paten. "Nanti malah paten-patenan," ujarnya bergurau. Dalam bahasa Jawa, kata-kata yang diucapkannya terakhir itu berarti saling bunuh.
"Yang pusing soal BBM ini orang kecil. Masak mereka yang datang kepada saya harus berhadapan dengan UU kepatenan. Semua boleh datang, belajar, dan pasang bareng-bareng. Semakin banyak orang menguasai, saya makin senang," katanya.
Apa sebenarnya alat yang dikembangkan bapak tiga anak, buah kasihnya dengan Maria Yacinta Melati (48) itu? Generator hidrogen yang dikembangkannya itu berupa sebuah tabung electrolyzer plastik berisi air murni atau aquades, dilengkapi dengan elektrode (berbahan stainless steel) dan diode atau relay (pada mobil), difungsikan sebagai pengubah molekul hidrogen menjadi energi.
Melalui proses elektrolisis pengatur tekanan menuju manifold (keran plastik), sistem pembakaran mesin akan mendekati sempurna.
Tenaga mobil atau motor bahkan genset, meningkat. Mesin menjadi lebih halus, emisi gas buangnya minim.
Alat itu bukan bertujuan untuk membuat irit bahan bakar, melainkan justru dijadikan bahan mengganti premium maupun solar. Ke depan, Joko Sutrisno akan memaksimalkan penggunaan air, sehingga motor akan 100 persen melaju dengan tenaga hidro. Proses pemasangannya pun tak berbelit-belit. Paling lama setengah jam.
Lulusan "S2"
Kalau Joko Suprapto adalah seorang cerdik pandai dengan gelar insinyur, Joko Sutrisno mengaku hanya lulus "S2", SD dan SMP. Bukannya tak mampu melanjutkan sekolah ke jenjang SMA karena kurang biaya atau kurang cerdas, Joko mengaku sering ketiduran pada jam-jam pelajaran sekolah akibat keasyikan melakukan berbagai uji coba.
Meskipun tidak mengecap pendidikan menengah dengan lengkap, Joko bertekad menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin. Anak pertamanya, Diana (29), adalah sarjana lulusan Teknik Industri Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Adiknya, Benjamin, juga sarjana Teknik Informatika lulusan salah satu universitas di Belanda. Mateo, anak bungsunya sedang menempuh pendidikan ilmu pariwisata di Bali.
Soal alat yang dikembangkannya itu, Joko mengakui bahwa untuk kendaraan bermotor masih memerlukan BBM sebagai bahan bakar utama. Namun setelah dipasangi generator hidrogen, konsumsi BBM bisa dihemat. Joko menyodorkan beberapa contoh, mulai dari motor hingga bus antarkota yang sudah dipasangi generator hidrogen yang dikembangkannya.
"Saya melakukan uji coba dengan mobil sendiri dan sudah berlangsung dua tahun tanpa masalah, meski dulu saya sering dikatai orang gila," ujarnya, tertawa.
Teknologi yang dikembangkan Joko itu sebenarnya terbilang sederhana. Kunci utamanya terletak pada hidrogen dalam air untuk dijadikan bahan bakar dengan proses pemisahan molekul gas yang memiliki nilai oktan pada angka 130. Hidrogen yang terurai tersebut kemudian diteruskan ke dalam ruang kompresi.
"Karena kebodohan maka saya mengembangkan teknologi ini," Joko mengenang. Tiga tahun lalu, ia mencoba melihat isi air aki dengan menggunakan korek api. Terjadi ledakan ketika ia mencoba mendekatkan nyala api untuk dapat melihat lebih jelas. "Saya bertanya-tanya, bukankah air aki itu air murni. Kenapa bisa terbakar?"
Joko akhirnya menemukan jawabannya. Yang terbakar adalah unsur hidrogen dalam air aki yang terurai karena proses kimiawi.
Pengalaman karena kebodohan itu, meminjam istilahnya, mengusik Joko untuk mulai mengutak-atik, mencari cara memisahkan hidrogen (H2O) yang ada dalam air.
Lambat laun, ia menemukan bahan yang lebih mapan dari air aki, yakni aquades yang mudah ditemukan di apotek dan toko kimia, ditambah kalium hidroksida yang harganya sangat murah. Air kemudian dihubungkan dengan elektrode demi mengurai unsur oksigen dan hidrogen. Setelah itu, unsur hidrogen yang mudah terbakar dijebak dan diubah menjadi sumber tenaga.
"Semuanya sangat sederhana," komentarnya.
Joko Sutrisno dan generator hidrogennya |
Tidak Ada Monopoli
Dalam keseharian, Joko dikenal rendah hati. Pria yang acap mengeluarkan kata-kata lucu itu menegaskan tidak berniat dan berminat mengeduk keuntungan dari alat yang dikembangkannya itu.
Ia bahkan telah menyebarkan teknologi yang dikembangkannya itu lewat website www.egmca.org. Siapa pun bisa mengakses, mengunduh, menambahi, memprotes, membantah teknologi yang dikembangkannya. Dalam website itu, tampak juga diskusi bagaimana menerapkan ilmu Joko itu, dimoderatori Romo Vincentius Kirjito Pr.
Bagi Joko, semakin teknologi itu tersebar luas, diterapkan masyarakat, dan dikritik, semakin mendorongnya menyempurnakannya, bahkan mengembangkan teknologi yang lain. "Asal tidak ada monopoli, dan saya tidak akan mau menjual teknologi ini untuk perusahaan yang berniat monopoli. Saya justru ingin, masyarakat beramai-ramai menjadi montir sendiri," ia menegaskan.
Belakangan ini, keramaian di rumahnya bertambah. Beberapa kru bus Damri datang bergelombang untuk belajar kepada Joko, membuat dan memasang generator hidrogen. "Biar kru bus itu jadi montir sendiri dan menyebarkannya kepada yang lain," ujarnya.
Soal media turut andil memasyarakatkan produknya, Joko lebih menganggapnya sebagai membantu menawarkan alternatif bagi masyarakat. "Bukan karena ingin dipublikasikan. BBM naik tidak bisa ditolak, tapi mari cari alternatifnya," ujar Joko, yang akan terus melanjutkan penelitiannya untuk menyempurnakan generator hidrogennya. [SP/Fuska Sani Evani]
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/05/30/Personal/per01.htm
Last modified: 29/5/08
0 tanggapan:
Posting Komentar