Versi cetak

Rabu, 24 Oktober 2007 02.27

Sekelumit Catatan Kopdar 2007 #2

— Katarsis di Milis

Global Catharsis
Global Catharsis
www.cahaly.net

Setelah saling bersalaman, saya dan MDS pun memasuki ruang depan lapo yang tampaknya diperuntukkan bagi keluarga atau pengunjung yang tidak merokok, yang ditandai dengan adanya AC di dinding. Tetapi, AC itu tidak dihidupkan. Entah sengaja guna menghemat enerji, entah rusak, entah hanya sebagai pemanis ruangan untuk menaikkan gengsi. Dan, uniknya pula, malah ada asbak rokok di atas meja. Dasar lapo, mana bisa tanpa rokok? Di sini tak laku Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang kawasan bebas rokok, Bung!

Di dalam ruang itu, saya lihat ada 3 orang duduk berhadap-hadapan di salah satu meja. DTA di satu sisi, sedangkan di sisi lainnya Obrin dan seorang rekan yang —maaf— saya lupa namanya karena memori otak saya hari itu agak memble :-(. (Pada tanggal 31 Oktober 2007, Lay Siagian mengingatkan saya bahwa dia adalah orang ketiga yang namanya saya lupa itu :-).)

Barangkali karena bukan BTL (Batak Tembak Langsung) dari Bona Pasogit, maka saya tidak memiliki insting memekikkan salam "Horas!" kepada ketiga orang tersebut. Beginilah jadinya orang Batak yang sudah sekian banyak tahun —sejak hadir di bumi— hidup dalam buaian atmosfir Parahyangan yang lemah-lembut dan mendayu-dayu, sehingga mengalami sedikit kesulitan menegangkan lidah yang sudah terbiasa berayun-ayun saat berkata-kata.

Walhasil, saya pun hanya menyalami mereka sambil menyebutkan nama, kemudian duduk di samping DTA. Selain karena posisinya yang dekat pintu masuk sehingga lebih cepat dicapai, saya rasa lebih aman duduk di samping orang yang sudah pernah saya kenal :-). Apalagi DTA tampaknya masih DTA yang dulu pernah saya sua (satu kali pada kopdar sebelumnya), yang senang tertawa riang dan jeli melihat sisi jenaka dari setiap hal. Setidaknya, saya tidak perlu terlalu repot memeras otak mencari bahan perbincangan yang disukainya.

Sebagaimana lazimnya perjumpaan pertama, tatakrama ketimuran masih amat berkuasa. Perbincangan hanya seputar hal-hal ringan yang sudah sama-sama diketahui. Misalnya, soal kehebohan maupun kelucuan yang berlangsung di milis. Beberapa nama sempat disebut, namun hanya lewat begitu saja dalam memori otak saya tanpa terendapkan :-(.

Tidak lama kemudian, muncullah Joe. Bersepeda motor sambil mencangklong ransel. Setelah bersalam-salaman, langsung dikeluarkannya titipan dari Denny. Kacang garing Sihobuk. Untunglah hanya sekantong, bukan 1 kuintal. Bisa terbungkuk-bungkuk punggung Joe memanggulnya :-).

Seiring dengan kian merapatnya pasangan jarum pendek dan jarum panjang jam ke angka 12, satu demi satu rekan lain bermunculan (dan namanya hanya lewat begitu saja dalam memori otak saya yang benar-benar sedang payah :-().

Akhirnya, muncul juga orang yang menyandang status sebagai pendiri dan jurukunci milis hkbp, Erwinthon. Dengan kehadirannya, barulah pertemuan ini sah disebut kopdar, walau sama sekali tidak dirancang untuk merumuskan sesuatu yang khusus. (Saya akan enggan hadir kalau ada agenda-agenda tertentu, karena niat saya datang kali ini adalah untuk mencecap sedikit kegembiraan di kala sedang terhempas-hempas, bukan mau mikir.)

Bersama Erwin, hadir pula Ricard, adiknya yang mukim di Singapura. Walau katanya kedatangannya tidak direncanakan, saya sangat gembira karena milisi hkbp masih mau mencantumkan acara kopdar ini dalam prioritas agendanya.

Jika gaya DTA di dunia nyata tidak berbeda jauh dengan gaya DTA di dunia maya, maka Erwin yang datang siang itu amat santun dan sedikit pendiam, berbeda dengan penampilannya yang cukup garang akhir-akhir ini di milis.

Barangkali memang begini fenomena umum para milisi internet: angker di dunia maya, namun bersikap manis di dunia nyata. Itu sebabnya banyak yang mengaku salah membayangkan penampilan para milisi lain. Namun saya tidak tahu dari mana Obrin mendapat ilham sehingga menyangka saya berpenampilan perlente. Rasanya agak susah menarik kesimpulan seperti itu dari tulisan-tulisan saya. Dan sudah pasti Obrin kecele sebab sudah lama sekali saya tampil rada urakan.

Melihat perbedaan Erwin dunia maya dengan Erwin dunia nyata, saya menembaknya bak pakar psikologi yang memahami kejiwaan manusia, "Saya kerap bertanya-tanya, mengapa akhir-akhir ini Erwin sering menulis posting. Dan agak sengit pula. Apalagi terhadap Augustinus Simanjuntak alias August-18. Padahal, dulu saya lihat Erwin amat kalem bak air mengalir di pegunungan. Saya lantas berpikir, tampaknya Erwin sedang ada masalah."

"Bagaimana tidak. Harga brokoli merosot 300 perak!", tukasnya jujur.

Bah! Rupanya Erwin sang arsitek alumni ITB yang memilih jalan hidup sebagai petani brokoli di Lembang sana sedang dihantam secara gila-gilaan oleh mekanisme pasar. Pantas saja dia gampang naik pitam. Diam-diam saya tersenyum. Kasus Erwin serupa dengan saya yang belakangan ini menjadikan milis sebagai pelepasan beban pikiran dan perasaan.

Dan beberapa waktu kemudian, Mula Harahap mengakui di hadapan forum kopdar hari itu bahwa dia memilih rajin mengirim posting ke milis daripada menghantami orang di jalan. Entah apa pula masalah yang sedang dihadapinya. Saya menebak-nebak dalam hati, barangkali lantaran kegamangan menyongsong pernikahan anak perempuannya beberapa hari yang akan datang :-).

Bagusnya Mula lebih sering mengirim lelucon ataupun renungan kehidupan bersahaja yang sarat makna kearifan tinimbang hantam-hantaman secara frontal. Itulah bedanya orang yang sudah banyak makan asam-garam dan makan sekolahan dibanding orang yang masih hijau seperti saya.

Namun, agaknya tidaklah terlalu berlebihan jika saya menduga bukan hanya kami bertiga yang melakukan pemulihan diri dengan cara itu. Padre Joas pernah mengatakan bahwa dia lancar menulis posting justru saat tugas kuliahnya bertimbun-timbun. Kalau sedang santai, dia memilih pergi memancing atau jalan-jalan. Yang mengherankan saya, dia bisa menulis posting berbobot dalam berbagai thread diskusi pada saat otaknya mumet. Ajaib! Maka pernah saya katakan pada MDS bahwa Joas adalah anomali.

Dan ada juga beberapa rekan yang menjadikan milis sebagai media penuangan ganjalan yang terjadi di dunia nyata. Misalnya soal perseteruan tak kunjung tuntas yang masih berlangsung di HKBP Jalan R.E. Martadinata Bandung. Siapa tahu, melalui milis —walau diawali dengan kata-kata yang keras— bisa terbuka peluang dialog yang nyaris mustahil diwujudkan dalam perjumpaan nyata di halaman gereja setiap kebaktian pada hari Minggu.

Saya rasa Erwin tidak keberatan jika milis yang menyandang nama hkbp ini menjadi media curah pendapat dan rasa, yang diharapkan dapat didengar oleh keduabelah pihak yang sedang bertikai. Tapi, saya rasa, tidak perlulah namanya diganti menjadi bantudamaikanhkbp@yahoogroups.com. Terlalu berlebihan :-).

Mencermati hal ini, saya rasa boleh juga jika Marihot Hutahayan, sang psikolog-konsultan, membuat penelitian tentang milis sebagai katarsis ketidakseimbangan jiwa sesaat (bukan yang permanen!) ataupun media interaksi awal dalam mengelola konflik. Siapa tahu nanti ada kliennya yang bisa dianjurkan untuk rajin menulis —entah posting di milis ataupun intranet perusahaan— demi kesehatan jiwanya ataupun proses pencapaian perdamaian bagi sebagian orang yang masih senang bertengkar dengan sesamanya :-).

— Beth: Rabu, 24 Oktober 2007 02:27

Selasa, 23 Oktober 2007 00.52

Sekelumit Catatan Kopdar 2007 #1

— Sebelumnya

HKBP
hkbp.or.id

Akhirnya, jumpa (kopi darat/kopdar) para anggota mailing list (milis) hkbp yang kerap disebut kolam lele ataupun lapo ditetapkan jatuh pada tanggal 20 Oktober 2007 di Lapo Ni Tondongta di kawasan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) melalui pengesahan ketukan tombol keyboard komputer Erwinthon Napitupulu selaku pendiri dan jurukunci milis.

Maka, pada tanggal 27 September, Mbah Dukun Sesat (MDS) Efron yang mengusulkan lokasi tersebut segera melakukan reservasi dengan dukungan penuh dan langsung dari Padre Daniel Taruli Asi Harahap (DTA) yang membubuhkan tandatangannya pada akad janji dengan pengelola lapo.

Dan sejak jauh-jauh hari, Muna Panggabean rajin mengirim email melalui jalur pribadi pada semua anggota milis untuk meringankan langkah menghadiri perhelatan tersebut. Dengan setia pula Muna mengumumkan nama-nama anggota milis yang sudah menyatakan kesanggupannya hadir di sana. Hari demi hari berlalu hingga akhirnya tercatat sekitar 40 nama dalam daftarnya. Jarang ada yang mau berlelah-lelah menghubungi setiap pribadi demi sebuah kopdar. Untuk itu, saya angkat dua jempol atas kesuksesan Muna sebagai event organizer.

Tentu saja sangat menarik membayangkan hadirnya 40 orang yang biasa bersilat kata melalui dunia maya internet dalam ruang dan waktu nyata yang sama. Entah apa pula jadinya nanti. Apalagi dalam dua bulan terakhir, gejolak milis begitu dahsyat sehingga jumlah posting pada bulan September 2007 mencapai angka 2306. Meningkat tajam lebih dari 100% dibanding rekor bulan Pebruari 2005 yang mencapai angka magis 1001.

Bagi saya sendiri, pertemuan semacam ini lebih kerap menjadi dilema tinimbang kecemasan. Kalau Padre Jan Calvin Pindo mengaku gamang dalam langkah pertama memasuki gerombolan orang-orang belum dikenal (Batak pula!), saya tidak begitu takut. Sebab saya tahu, sudah lama orang Batak tidak makan orang :-).

Dilema yang saya hadapi adalah kepanggahan (konsistensi) kami untuk tetap tangguh dalam berargumentasi di dunia maya tanpa diganggu perasaan sungkan setelah berjumpa secara nyata. Namun, dari pengalaman sebelumnya (kopdar milis hkbp yang pertamakali saya ikuti, tanggal 10 September 2005 di Lapo Ni Tondongta Jalan Sabang), rasanya saya tidak perlu khawatir. Lewat satu minggu, semua akan kembali seperti semula, saling menancapkan patil lagi :-).

Tetapi pertemuan kali ini tidaklah dapat segera saya sanggupi, bahkan hingga saat-saat terakhir. Bukan karena dilema di atas, melainkan karena sekitar tanggal tersebut abang ipar saya (suami kakak saya) menjalani operasi kanker saluran empedu. Dan menurut dokter, operasi semacam ini termasuk operasi besar yang bisa memakan waktu 6 jam hingga 8 jam. Belum lagi masa-masa kritis pascaoperasi yang menurut tradisi medis berlangsung hingga 5 hari.

Ternyata operasi yang dilaksanakan pada tanggal 18 Oktober itu memakan waktu hingga sekitar 11 jam, sejak masuk ruang operasi pada jam 11 hingga keluar pada jam 22. Menurut dokter, proses operasi berlangsung sesuai dengan rencana. Walau demikian, belum dapat dipastikan bahwa penyakit tersebut sudah dapat disingkirkan sepenuhnya maupun dampak penyumbatan saluran empedu selama ini terhadap organ-organ tubuh lain, sehingga masih memerlukan beberapa pemantauan dan pemeriksaan lanjutan.

Tentu saja hal ini membuat pikiran dan perasaan tidak nyaman. Bagaimana bisa saya bergembira dalam situasi memprihatinkan semacam ini? Namun, setelah kondisi abang ipar saya tampak stabil selama 2 hari, akhirnya saya putuskan untuk menghadiri kopdar. Go show saja, karena nama saya baru tercantum dalam daftar tunggu kopdar (belum memberikan konfirmasi).

Saya rasa perlu juga saat ini saya sampaikan terimakasih —yang tidak bisa saya ungkapkan dengan cara yang lebih baik daripada kata-kata tulus dari lubuk hati terdalam— atas dukungan rekan-rekan yang sudah bersedia "mendampingi" pada masa-masa sulit yang membuat saya merasa seperti anak sebatang kara yang tak henti didera pukulan berat. Mauliate godang.

Jam 6 pagi tanggal 20 Oktober, saya tinggalkan rumah adik saya di Cibubur tanpa tidur sekejap pun karena semalaman berbincang-bincang dengan ibu dan adik saya hingga jam 5 dini hari. Sesampai di rumah (syukur masih libur panjang Idul Fitri sehingga jalur Cibubur-Pancoran lengang), langsung saya siapkan buku-buku yang sudah saya nazarkan akan saya hadiahkan pada Joe Tampubolon dan Christien Nababan. Juga beberapa buku lain yang saya rasa lebih bermanfaat jika saya berikan pada orang lain daripada hanya memenuhi rak buku lantaran terbeli dua kali.

Walau buku untuk Joe bukanlah karya Dr. C. Groenen, OFM. yang belum diterbitkan lagi oleh Penerbit Kanisius, saya berharap Joe tidak kecewa. Saya rasa buku Willi Marxsen tidak kalah menariknya dalam membahas pseudo-Paulus alias Paulus gadungan yang menulis beberapa surat dalam Perjanjian Baru. MDS pun merekomendasikan buku ini tinimbang buku Groenen, walau DTA mengatakan selalu membuka buku-buku Groenen tersebut saat menyiapkan kotbah.

Jam 8 saya tidur setelah mencuci mobil dan mengepel rumah (maklumlah, sudah beberapa bulan tidak berhasil mendapatkan pramuwisma). Jam 10 lewat saya terbangun oleh dering telpon. Sempat berdebar keras juga jantung saya, khawatir ada berita kurang baik dari rumah sakit. Untunglah bukan. Setelah menelpon ke rumah sakit menanyakan kabar abang ipar saya yang ternyata baik-baik saja, saya pun bersiap-siap menuju kawasan Taman Mini.

Jam 11.30 saya sudah melaju di jalan tol Jagorawi. Berhubung belum pernah ke lapo tersebut, saya pun menelpon MDS untuk mengonfirmasikan posisi lapo yang berada di sisi kanan jalan satu arah. Akan sangat repot jika harus berputar akibat terlewatkan. Untunglah saya sempat membaca posting DTA yang mengatakan lokasinya dekat dengan kios penjual knalpot. Maka mobil pun segera saya hentikan begitu melihat gelantungan knalpot.

Ketika saya katakan sudah melewati gerbang utama masuk ke Taman Mini, MDS mengatakan jalan saja terus. Maka mobil pun saya jalankan lagi. Dari kejauhan saya lihat MDS sudah menanti di pinggir jalan. Untung saja dia tidak sambil berjingkrak-jingkrak. Bisa runtuh pamornya sebagai dukun dan sudah pasti akan bikin malu Bundesliga pula :-).

"Sudah ada siapa?" tanya saya setelah memarkir mobil di seberang.

"Daniel dan Obrin" sahutnya.

"Syukurlah", saya berdesis lega. Mereka bukan lawan-lawan saya di milis akhir-akhir ini, sehingga saya tidak perlu rikuh saat menunggu rekan-rekan lainnya :-).

Maka, dengan perasaan tenang saya pun memasuki lapo.

— Beth: Selasa, 23 Oktober 2007 00:52

# catatan kaki