Sebuah Refleksi tentang Forum Diskusi GKPS
Grand Aventures in Cooking 4shared.com |
Ada sebuah pepatah yang mengatakan rumput di pekarangan tetangga lebih hijau daripada rumput di pekarangan rumah kita sendiri. Kedengarannya memang bertendensi negatif. Tetapi, jika kita mau lebih arif, kita bisa melihat menarik hikmahnya dari berbagai sisi:
- Apakah dengan demikian kita lebih suka menikmati atau bermain di pekarangan tetangga?
Alangkah gawatnya jika istri tetangga lebih cantik daripada istri kita sendiri :-). Orang-orang semacam ini adalah para pengkhayal yang lupa pada kenyataan dirinya sehingga terlena dalam mimpi di siang bolong ataupun orang-orang yang lupa kacang akan kulitnya alias malu pada identitas aslinya.
- Apakah kita akan memuji-muji pekarangan tetangga seraya menghina pekarangan kita
sendiri?
Inilah tipologi penggerutu yang hanya ingin mendapat kenikmatan tanpa mau berupaya. Dia ingin orang lain mengerjakan semuanya sampai selesai sehingga dia bisa berleha-leha menikmatinya.
- Apakah kita akan mempelajari kiat-kiat tetangga kita agar kita pun memiliki pekarangan
yang hijau dan asri?
Jika kita mau berbesar hati pada kekurangan kita dan mau rendah hati untuk memperbaikinya, niscaya kita pun akan berbangga akan keberadaan kita. Ini pekerjaan yang tidak mudah karena menuntut kita menyiangi pekarangan, menanam, memupuk, menyirami, dan sebagainya.
- dan lain-lain (silakan jabarkan sendiri)
Penghayatan kita terhadap pesan orang tua jaman baheula melalui pepatah itulah yang menjadi cermin jati diri kita.
Fenomena itu jugalah yang kita hadapi saat "merantau" ke berbagai forum diskusi lain. Ketika kita mengabarkan betapa asrinya taman tetangga, kita akan dihadapkan pada beberapa sikap tanggapan seperti di atas. Kabar yang kita sampaikan bisa menjadi kabar baik ataupun kabar buruk.
Sepanjang yang saya ketahui dari berbagai forum diskusi yang saya ikuti, tidak satupun dari mereka yang dapat dikatakan sempurna. Kelebihan mereka adalah keterbukaan untuk menerima berbagai persoalan yang diangkat oleh para anggotanya, serta kesetiakawanan sesama anggota untuk menjadi bagian dalam pemecahan masalahnya.
Tentu saja tidak dapat dihindari adanya oknum-oknum yang egois dan keras-kepala. Tetapi, semua itu adalah proses pembelajaran bersama yang dapat dijadikan bagian paling bermutu dari resolusi konflik, yakni kesediaan untuk menerima satu sama lain, yang pada intinya membutuhkan kesabaran dan kesadaran.
Forum diskusi semacam mailing list (milis) GKPS ini bukanlah media indoktrinasi satu arah. Forum ini adalah media berbagi pemahaman dan ajang menguji buah pikiran dalam adu argumentasi. Sebuah forum diskusi yang baik dapat diibaratkan sebagai kuali penggodogan. Semua bahan yang diperlukan dimasukkan sesuai takarannya dan diolah sesuai dengan tujuannya.
Forum diskusi juga bukanlah sebuah restoran siap-saji (fast food), dimana kita bisa memesan makanan matang sesuai selera kita. Sebaliknya, forum diskusi dapat dianalogikan dengan sebuah festival rakyat yang menyajikan berbagai hidangan. Kita semua adalah juru masaknya. Dan kita semua juga yang akan menikmati sajiannya.
Mengharapkan sajian matang tanpa mau repot berpanas-panas di dapur adalah mental priyayi (ningrat) feodal atau bayi yang hanya bisa menanti disuapi. Dan bukan itu kalau saya tidak keliru tujuan forum diskusi GKPS ini. Kita semua hadir di sini untuk saling mendewasakan pikiran, yang untuk kemudian diharapkan dapat dipancarkan dalam sikap hidup.
Walau tidak semua hidangan sesuai dengan selera kita, kita tidak berhak menetapkan jenis-jenis hidangan yang boleh disediakan di atas meja, karena orang lain memiliki selera yang berbeda dengan kita. Kita tidak berhak membatasi topik bahasan selama masih berada dalam koridor visi dan misi forum diskusi GKPS yang ditetapkan oleh pemilik (owner) forum.
Lagipula, semua posting ke forum ini sudah diperiksa oleh moderator. Ibaratnya dalam literatur Katolik, sudah mendapat cap imprimatur (sudah diperiksa) dan nihil obstat (tidak berkeberatan) dari pihak yang berwewenang.
Soal bumbu juga tidak perlu dijadikan persoalan besar. Ibarat makan saksang, ada yang tidak kuat pedas, sementara bagi yang lain masih kurang menggigit. Bagi seseorang, diskusi dan debat yang bersemangat (keras) merupakan ajang berdialektika yang menguatkan jiwanya, sementara bagi orang lain tampak sebagai debat kusir atau pertengkaran.
Semuanya sah-sah saja. Kita hanya perlu kembali ke tujuan awal kita bergabung di sini: apakah hendak makan di restoran siap-saji ataukah berpartisipasi aktif dalam festival rakyat yang meriah? Oleh sebab itu kita perlu mengetahui secara pasti model forum diskusi yang kita ikuti. Dan sejauh yang saya alami, model forum GKPS adalah festival rakyat. Kitalah yang dituntut meramu semua bahan yang kita punya agar dapat membuat hidangan yang nikmat untuk disantap bersama.
Di sinilah peran moderator sebagai wasit, jangan sampai semua hidangan terlalu pedas sehingga hanya bisa dinikmati oleh segelintir kecil orang saja, yang mengakibatkan kemubaziran. Juga menjaga agar festival tidak terlalu hingar-bingar dengan suara-suara keras yang tidak keruan semisal caci-maki.
Ada beberapa forum diskusi yang moderatornya cukup rajin [dan punya waktu] untuk menyimpulkan diskusi. Kesimpulan itu tidak musti merupakan suara tunggal. Bisa saja tetap ada 2 pendapat yang bertentangan, tetapi moderator bisa menarik inti dari masing-masing pendapat tersebut untuk dikaji sendiri oleh pembacanya. Memang tidak mudah menjadi moderator forum diskusi. Saya bukannya menuntut harus begitu lho... :-)
Berbicara soal bahan-bahan religius, realitas, serta teknologi dalam satu racikan; saya hanya bisa menyarankan salah satu menu, yaitu Teologi Pembebasan. Dalam teologi itu dibahas peran religiositas khususnya Kristologi dan Eklesiologi dalam menyikapi persoalan nyata marjinalisasi kaum miskin. Jika membutuhkan menu hidangannya, bisa saya rekomendasikan:
- Sebagai pembukaan (cocktail):
Teologi Pembebasan, Michael Lowy, INSIST Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.
Hidangan ini sangat ringkas, padat, dan gurih seperti nyamikan (camilan).
- Sebagai pembangkit selera (appetizer):
Teologi Pembebasan Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, Fr. Wahono Nitiprawiro, LKiS, Yogyakarta, 2000.
Dengan hidangan ini, metabolisme dalam perut kita sudah lebih siap untuk menerima makanan berat.
- Sebagai hidangan utama (main course):
Teologi Pembebasan Asia, Michael Amaladoss, Pustaka Pelajar, INSIST Press, Cindelaras, Yogyakarta, 2001.
Hidangan ini lebih dianjurkan mengingat kemiripan kultur Indonesia dengan negara-negara Asia lainnya (Korea, India, Filipina) dibanding dengan Amerika Latin yang menjadi asal-muasal teologi ini.
- Sebagai penutup (desert):
Teologi Gustavo Gutierrez Refleksi dari Praksis Kaum Miskin, Martin Chen Pr., Kanisius, Yogyakarta, 2002.
Dalam sajian penutup ini kita bisa menikmati asal-muasal lahirnya pemikiran teologi tersebut dari teolog utamanya sehingga semua hidangan yang sudah kita santap lebih terhayati rasanya.
(Saya baru sadar kalau semua hidangan dalam menu di atas berasal dari Yogyakarta. Jangan-jangan semuanya adalah gudeg :-).)
- Sebagai oleh-oleh, kita bisa minta dibungkuskan kudapan dalam kemasan merah-muda yang
menawan:
Iman: Akali dan Nir-Akali Mengenai Pengetahuan Iman dan Kenyataan, C. Sanders, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1977.
Dalam kemasan kecil ini, kita diajak menikmati hubungan iman Kristen dengan ilmu
pengetahuan.
- Atau sekotak permen berwarna kuning dengan label:
Biarlah Kemuliaan Allah Terpancar, Peter G. van Breemen SJ., Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2000.
Dalam kotak ini kita bisa menikmati renungan-renungan tentang hubungan iman dengan kehidupan sehari-hari.
Jika ingin hidangan matangnya, kita bisa mampir di restoran Gramedia atau Gunung Agung atau Obor atau bahkan di bursa buku murah Palasari Bandung. Tetapi jika ingin makan ramai-ramai di festival rakyat, mari kita datang ke forum diskusi GKPS ini dengan membawa bahan dan bumbu sendiri. Kita masak sama-sama dan nikmati sama-sama juga.
SELAMAT DATANG DI FESTIVAL RAKYAT FORUM DISKUSI GKPS!
MARI BELAJAR MEMASAK BERSAMA.
Jum'at, 07 November 2003 06:49
0 tanggapan:
Posting Komentar