Versi cetak

Selasa, 10 Juni 2008 01.18

Les Misérables #1

— Memandang Dunia melalui Jendela Bertabir Kabut Putih

Les Misérables
Les Misérables
theaterofthestars.com

Namanya Tien Lisnawaty Francesca Pauline. Panggilannya Lisna atau Lis saja. Sejak kecil hingga [kadang-kadang] saat ini, dialah satu-satunya perempuan dalam keluarga kami yang masih menyandang panggilan Uték (berasal dari kata Butét yang belum bisa dilafalkannya dengan baik ketika masih balita). Dia adalah adik bungsu saya, yang terpaut 7 tahun usianya.

Sejak kecil, Lis adalah adik yang paling dekat dengan saya. Seringkali saya memintanya memijati saya dengan memukul-mukulkan tinjunya yang kecil ke pundak dan punggung saya. Kami menyebut cara pemijatan seperti itu dengan "dobuk-dobuk" (pukul-pukul), yang juga kerap kami lakukan pada Bapak dan Mami saat mereka penat.

Kami tidak lagi bersama-sama ketika saya melanjutkan pendidikan ke SMA di kota Bandung. Namun demikian, minimal sebulan sekali saya pulang ke Sukabumi. Pada saat itulah saya kembali dekat dengan Lis dan melakukan berbagai hal selama 1 hari kunjungan saya itu. Misalnya mengajarinya lagu-lagu masa orientasi siswa SMA saya. Atau menyuruhnya [dan kakaknya, Tidy] menghapalkan lagu-lagu lucu yang saya karang sendiri, dan bulan depannya saya uji :-).

Saya dan Lis sama-sama menyukai kue Nastar yang berisi selai nenas. Biasanya pada hari raya Natal dan Idul Fitri, di rumah kami tersedia beberapa stoples kue tersebut. Saya dan Lis selalu mencicil menghabiskan kue-kue tersebut dengan cara berbagi sama-rata. Masing-masing memperoleh jatah yang sama jumlahnya (tentu saja saya yang membaginya). Kadang-kadang, secara sembunyi-sembunyi saya mengambil jatah lebih. Lalu, ketika kue itu sudah berkurang jauh jumlahnya, dengan bergurau saya menudingnya bahwa dialah yang menghabiskan kue itu. Tentu saja dia menolak tudingan itu. Tetapi dia tidak menangis. Dia memang jarang menangis.

Barangkali karena kenangan masa kecil itu, hingga kini Lis kerap mengirimi saya kue Nastar.

Kedekatan saya pada Lis amat jauh berkurang pada beberapa tahun masa-masa terakhir kuliah saya, karena saya lebih banyak menghabiskan waktu di laboratorium kampus. Padahal, saat itu dia pun sudah tinggal di Bandung untuk melanjutkan pendidikan SMA-nya.

Hubungan kami kian renggang setelah saya pindah ke Riau untuk bekerja di sebuah perusahaan minyak. Akibatnya, saya sama sekali tidak tahu bahwa dia mengalami masalah dengan penglihatannya. Sifatnya yang tidak ingin merepotkan orang lain membuatnya menyimpan sendiri semua itu, termasuk kepada anggota keluarga lainnya. Baru bertahun-tahun kemudian kami mengetahui rinciannya.

Lis memang berkacamata minus. Tetapi letak persoalannya bukan pada kecekungan atau kecembungan lensa matanya. Tidak ada perubahan terhadap ukuran lensa kacamata yang diperlukannya. Yang dirasakannya, kian lama penglihatannya kian kabur. Semua yang dilihatnya bagaikan bayang-bayang yang bergerak dalam lautan kabut putih. Apalagi jika cahaya cukup banyak seperti pada siang hari.

Persoalan ini dicoba diatasi dengan menggunakan kacamata berlensa gelap. Walau pada awalnya hal ini cukup membantu, semakin lama daya penglihatannya semakin berkurang. Hingga akhirnya, dia malah tidak menggunakan kacamata sama sekali, karena tidak ada bedanya.

Secara bergiliran, kakak perempuan dan adik lelaki saya berkali-kali membawanya ke berbagai klinik, rumahsakit, dan tempat praktik dokter mata yang menurut banyak orang memiliki reputasi baik. Tidak ada hasilnya. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang malah kebingungan menghadapi fenomena ini. Dokter syaraf pun sudah didatangi. Hasilnya nihil. Menurut pemeriksaan mereka, tidak ada syaraf-syaraf dan organ matanya yang rusak.

Setelah saya menyatakan berhenti dari tempat kerja di Riau dan kembali bergeliat di rimba beton Jakarta, saya pun beberapa kali saya mengantarkan Lis ke beberapa dokter mata. Walau sepahit apa pun kenyataan yang harus dihadapi, rasanya lebih baik terperangkap dalam kejelasan tinimbang melayang-layang dalam ketidaktahuan. Sedikitnya, kami bisa mendada kekalahan secara ksatria. Namun, dunia kedokteran ternyata memilih membisu. Walhasil, belasan tahun, hingga saat ini, Lis hidup dalam dunia kabut putih.

Tidak bisa saya bayangkan sudah berapa kali Lis terjatuh ketika turun dari kendaraan umum. Entah sudah berapa kali pula dia terperosok ke lubang, tersandung trotoir atau tunggul atau anak tangga, bahkan terjerembab di jalan. Mempertimbangkan hal itu, Bapak dan Mami memintanya tinggal di Sukabumi setelah dia lulus dari perguruan tinggi.

Beberapa kali saya bersama Bapak dan Mami mengantarnya mengikuti ujian masuk kerja ke beberapa perusahaan yang membuka lowongan. Amat terasa pedihnya hati tatkala kami mengantarnya hingga ke pintu ruang ujian setelah menuntunnya tertatih-tatih mendaki sekian anak tangga. Namun, semua perjuangan itu berakhir dengan tidak ada satu pun perusahaan yang memanggilnya masuk menjadi bagian dari mereka. Entah karena tahu bahwa Lis ada masalah dengan penglihatannya, entah karena Lis tidak bisa menjawab soal-soal ujian dengan baik karena tidak terbaca.

Lis kemudian memutuskan tinggal di Bogor bersama komunitas Bangau Putih yang sudah diakrabinya semenjak masih berkuliah di Bandung. Walau Bapak dan Mami keberatan pada keputusannya, tekad Lis tidak terbendung. Saya rasa ini adalah sebuah keputusan yang sangat berani, karena dia akan hidup bersama-sama dengan [dan sedikit-banyak akan tergantung pada] orang-orang yang tidak memiliki hubungan keluarga. Dengan kondisinya yang begitu terbatas, Lis memilih hidup mandiri dengan segala risikonya.

Ada kalanya kami lupa pada ketidaksempurnaan matanya. Satu kali, ketika akan makan, Mami menyodorinya sendok dan garpu. Lis hanya diam saja. Mami lalu berkata agak keras, "Lis, ini sendoknya". Dengan meraba-raba udara, Lis pun menjangkau sendok-garpu itu. Kemudian dia berkata pelan, "Maaf, Mi, Lis tidak lihat". Mami pun lantas tersadar akan kekurangan adik saya itu (dan satu hari menceritakan pada saya bahwa saat itu beliau menangis di dalam hatinya).

Pernah saya dari Jakarta menjemputnya ke Bogor untuk sama-sama pulang ke Sukabumi. Saya berpesan agar dia menunggu di depan gang tempat tinggalnya agar saya tidak perlu memarkir kendaraan di jalan yang lumayan sempit namun ramai itu. Ketika tiba di jalan depan gang tempat tinggalnya, saya melihat Lis sudah berdiri menunggu di tepi jalan. Tuter mobil pun saya bunyikan. Tetapi Lis bergeming seperti orang yang sedang melamun. Beberapa kali tuter saya bunyikan, dia tidak bereaksi. Akhirnya saya buka kaca jendela mobil dan meneriakkan namanya. Barulah dia beranjak mendekat.

Ketika sudah di dalam mobil, saya memarahinya. "Bagaimana sih kamu ini? Saya sudah klakson-klakson, tapi kamu diam saja."

"Maaf, Bang, Lis tidak lihat", sahutnya pelan.

Sontak saya terdiam. Ingin rasanya menangis saat meminta maaf karena lupa pada cacat matanya. Apalagi ketika ingat bahwa dia hampir saja terjatuh saat turun ke jalan dari trotoir yang hanya beberapa sentimeter tingginya. Hingga kini, saya kerap merasa sebagai orang kalah perang saat mengingat Lis.

Namun, saya rasa, Bapak dan Mami adalah orang yang paling berduka pada keadaannya. Hampir setiap subuh, saat mereka berdua memanjatkan doa pagi, airmata mengalir di pipi kedua orangtua saya terutama ketika mendoakan Lis.

Walau tidak pernah menolak mentah-mentah jika diajak untuk berobat (termasuk ke pengobatan alternatif), Lis tidak terlalu berharap lagi bahwa matanya akan pulih.

"Bapak dan Mami jangan bersedih atas apa yang saya alami. Toh mata saya tidak buta. Jika Tuhan memang menginginkan saya hidup dalam kondisi seperti ini, saya menerima dan akan menjalaninya dengan rela. Hanya dengan cara itulah maka saya punya keyakinan bahwa Tuhan akan menyediakan yang terbaik bagi saya."

Demikian kata-kata yang kerap diucapkannya, yang selalu terngiang di telinga Bapak dan Mami, yang selalu terbawa dalam doa dan airmata mereka.

 

berlanjut ke Hati Berlimpah Rela dan Cinta

— Beth: Selasa, 10 Juni 2008 01:18

# catatan kaki