Versi cetak

Jumat, 30 Mei 2008 11.18

Ke Mana Perginya Para Insinyur dan Peneliti Kita? #2

— Kontroversi Blue Energy: "Presiden Panggil Tim UGM"

Indonesia Bisa
Indonesia Bisa
???

YOGYAKARTA -- Tim ilmuwan Universitas Gadjah Mada yang membeberkan dugaan penipuan oleh Joko Suprapto dan kawan dipanggil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara hari ini. Pertemuan itu dilakukan untuk mendiskusikan secara ilmiah terkait dengan kontroversi kabar penemuan sumber energi alternatif dari air (blue energy).

"Besok (hari ini) pukul 13.00 dijadwalkan pertemuan itu," kata Kepala Pusat Studi Energi Sudiartono di kantornya kemarin. Selain Sudiartono, Rektor UGM Profesor Sudjarwadi, Ketua Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik UGM Tumiran, peneliti teknik energi dan reaktor nuklir pada Fakultas Teknis Jurusan Teknik Fisika UGM, Dr-Ing Sihana, akan turut dalam pertemuan itu. Sudiartono pernah bertemu dengan Joko Suprapto saat mereka menemui Rektor UGM Profesor Sofian Effendi pada Desember 2005 untuk meminta pembiayaan proyek pembangkit listrik dengan blue energy senilai Rp 3 miliar. Setelah ditelusuri, akhirnya disimpulkan upaya Joko dan kawan-kawan hanyalah penipuan.

"Kami ini akademisi yang urusannya ilmiah. Saya akan bercerita polos apa adanya (kepada Presiden)," kata Sudiartono.

Dasar ilmiahnya, Tumiran menambahkan, air tidak mempunyai unsur kimia yang bisa diubah menjadi minyak. Susunan unsur kimia air (H2O) adalah hidrogen dan oksigen, sedangkan minyak mengandung karbon (C) dan hidrogen. "Jadi sangat kecil sekali kemungkinannya (air menjadi sumber energi)," katanya.

Sumber energi alternatif menjadi kontroversi karena melibatkan lingkaran dalam Istana Negara. Staf khusus kepresidenan, Heru Lelono, mengaku menjadi komisaris dalam perusahaan yang akan mengembangkan proyek tersebut. Presiden Yudhoyono, kata dia, tetap meminta proyek Joko itu diteruskan. "Temuan ini logis. Sudah didukung oleh ahli perminyakan," katanya kepada Tempo, Ahad lalu.

Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman mengaku tak tahu banyak soal blue energy. Karena itu, dia menyarankan Tempo bertanya kepada Joko Suprapto dan orang-orang yang punya perjanjian dengan investor. Saat ditanya apakah dirinya sama sekali tidak dilibatkan dan ditegur pihak Istana karena ragu terhadap blue energy, Kusmayanto menyatakan hal itu hanya permainan politik.

"Saya tidak mau terjebak dan terbawa arus politik. Perkenankan saya berfokus melakukan yang baik-baik dengan benar," katanya melalui layanan pesan singkat, Rabu malam lalu.

Sementara itu, Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Unggul Prayitno, menyatakan konsep dan teknologi mendapatkan energi pengganti minyak dari air dalam jumlah besar dan murah masih diragukan. "Di dunia ini hanya Afrika Selatan yang mampu, itu pun karena sumber daya alamnya mendukung," kata Unggul.

Dia menjelaskan, ada tiga teknologi yang bisa digunakan untuk mendapatkan energi bahan bakar dari air, yaitu dengan memecah hidrogen dan oksigen dalam air menggunakan arus listrik, menyemprot gas hidrogen dengan uap air, dan menyemprot batu bara dengan uap air.

Afrika Selatan menggunakan metode ketiga sehingga mereka bisa melakukan produksi massal. Teknologi ini dikembangkan akibat embargo dunia karena negara itu menerapkan politik apartheid. "Energi yang dihasilkan 5.000 barel per hari dengan biaya Rp 28 triliun," kata Unggul. Metode ini merupakan pilihan dengan biaya termurah. Sebab, metode yang lain biayanya sangat mahal, apalagi jika menggunakan arus listrik.

http://www.indonesia.go.id/id/index.php?
option=com_content&task=view&id=7483&Itemid=701


http://www.korantempo.com/korantempo/
2008/05/30/headline/krn,20080530,39.id.html

30-05-2008

— SBY faces questions over 'Blue Energy' hoax

Abdul Khalik, The Jakarta Post, Jakarta | Fri, 05/30/2008 11:18 AM | Headlines

The President has been chided for apparently being taken in by what experts are calling the "Blue Energy" hoax.

Blue Energy was the work of a Joko Suprapto, who claimed to have created fuel from water. Joko, who has been labeled a charlatan by some observers, managed to secure a meeting with President Susilo Bambang Yudhoyono, who was eager to pursue the Blue Energy project.

Some scientists and lawmakers have since dismissed the so-called invention as a hoax, saying the President was deceived by Joko, who never published articles about his claimed Blue Energy in scientific journals.

Officials at Gadjah Mada University in Yogyakarta dismissed Joko as a charlatan, saying his scientific claims were unsubstantiated. They also said personal information provided by Joko and his work turned out to be false.

The university turned away Joko when he approached officials there in 2006 seeking their endorsement for Blue Energy.

"Hydrogen is a source of energy. In theory, it is possible to separate hydrogen from oxygen in the water, but the process is very costly and technologically very difficult," the head of Trisakti University's research center, Dadan Umar Daihani, said here Thursday.

Early in 2007, Joko, a resident of the East Java regency of Nganjuk, secured a meeting with Yudhoyono, and piqued the President's interest.

Yudhoyono, eager for alternative sources of energy amid skyrocketing global oil prices, offered support for the claimed invention.

"In times of energy panic, any idea for alternative energy will be swallowed," Dadan said.

The President named the fuel "Blue Energy" and appointed a special adviser, Heru Lelono, to head the project.

A research center was built in Cikeas, Bogor, just three kilometers from Yudhoyono's private residence. Some Rp 10 billion (US$1.07 million) was allocated for the project, a lawmaker said.

As Indonesia was preparing to host a major UN climate change conference in Bali last December, Yudhoyono visited the center three times to examine the "fuel" resulting from Joko's work, before seeing off a convoy of cars to make the drive to Bali using the fuel.

Blue Energy was then exhibited during the conference, which was attended by more than 10,000 people from around the world.

Since the close of the conference, there was no news about Joko until his family reported him missing in March. After 13 days, he was located in a hospital in Madiun, East Java.

The presidential office has never issued a statement about the issue, although lawmakers and scientists have urged the government to explain the mystery behind Joko's brief disappearance and what has happened with his invention.

Lawmaker Alvin Lie of the National Mandate Party (PAN) said the House of Representatives would seek an official explanation from the President about his involvement in the project.

Effendy Choirie of the National Awakening Party (PKB) demanded the government protect the President from charlatans and prevent them from feeding Yudhoyono false information.

Effendy said it was Yudhoyono's aides who allowed people like Joko to get close to the President.

"The President should strengthen his office's capabilities to screen information from the outside, as it is very dangerous to establish national policies based on inaccurate input. In this case, he could set up an office for scientific and technological affairs," Kusnanto Anggoro of the Centre for Strategic and International Studies said.

http://www.thejakartapost.com/news/
2008/05/30/sby-faces-questions-over-039blue-energy039-hoax.html

Friday, May 30, 2008 11:18 AM

Kamis, 29 Mei 2008 00.00

Ke Mana Perginya Para Insinyur dan Peneliti Kita? #1

— Joko Sutrisno Menawarkan Alternatif Irit BBM

Joko Sutrisno
Joko Sutrisno

Setiap hari puluhan mobil dan motor antre di rumah Joko Sutrisno (50) di Jalan HOS Cokroaminoto Yogyakarta. Pemilik mobil dan motor itu mengantre untuk menjajal alat sederhana yang dikembangkan lelaki paruh baya itu, generator hidrogen, yang diklaim mampu menghemat 40 persen sampai 50 persen konsumsi bahan bakar.

Pada masa-masa seperti sekarang ini, setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak, usaha apa pun akan ditempuh banyak orang untuk mengurangi pengeluaran. Upaya yang dilakukan Joko Sutrisno tentu menarik perhatian, ibarat "pengobatan alternatif" ketika biaya tindakan medis mencekik leher. Apalagi Joko tidak mematok biaya tinggi bagi pemasangan generator hidrogen karyanya. Konsumennya cukup membayar Rp 75 ribu untuk motor dan Rp 150 ribu untuk mobil.

Joko sendiri menegaskan teknologi karyanya itu bukanlah teknologi baru. Pada sekitar abad ke-18, Badan Antariksa Amerika (NASA) sudah menggunakan energi hidro untuk meluncurkan roket.

Apa yang dilakukannya tak lebih sama dengan yang dilakukan Joko Suprapto pencipta Blue Energy dari Jawa Timur dan Banyugeni yang dikembangkan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Bedanya, Joko Sutrisno bukanlah sosok "misterius" seperti Joko Suprapto. Bahkan pada saat tim peneliti dari Pusat Studi Pengembangan Energi Regional (Pusper) UMY sedang sibuk dengan proses hak paten teknologi Banyugeni atau Hidro-Kerosin dengan merek BanyugeniTM, Joko dengan enteng mengatakan tak mau berurusan dengan mekanisme hak paten. "Nanti malah paten-patenan," ujarnya bergurau. Dalam bahasa Jawa, kata-kata yang diucapkannya terakhir itu berarti saling bunuh.

"Yang pusing soal BBM ini orang kecil. Masak mereka yang datang kepada saya harus berhadapan dengan UU kepatenan. Semua boleh datang, belajar, dan pasang bareng-bareng. Semakin banyak orang menguasai, saya makin senang," katanya.

Apa sebenarnya alat yang dikembangkan bapak tiga anak, buah kasihnya dengan Maria Yacinta Melati (48) itu? Generator hidrogen yang dikembangkannya itu berupa sebuah tabung electrolyzer plastik berisi air murni atau aquades, dilengkapi dengan elektrode (berbahan stainless steel) dan diode atau relay (pada mobil), difungsikan sebagai pengubah molekul hidrogen menjadi energi.

Melalui proses elektrolisis pengatur tekanan menuju manifold (keran plastik), sistem pembakaran mesin akan mendekati sempurna.

Tenaga mobil atau motor bahkan genset, meningkat. Mesin menjadi lebih halus, emisi gas buangnya minim.

Alat itu bukan bertujuan untuk membuat irit bahan bakar, melainkan justru dijadikan bahan mengganti premium maupun solar. Ke depan, Joko Sutrisno akan memaksimalkan penggunaan air, sehingga motor akan 100 persen melaju dengan tenaga hidro. Proses pemasangannya pun tak berbelit-belit. Paling lama setengah jam.

Skema
Skema

Lulusan "S2"

Kalau Joko Suprapto adalah seorang cerdik pandai dengan gelar insinyur, Joko Sutrisno mengaku hanya lulus "S2", SD dan SMP. Bukannya tak mampu melanjutkan sekolah ke jenjang SMA karena kurang biaya atau kurang cerdas, Joko mengaku sering ketiduran pada jam-jam pelajaran sekolah akibat keasyikan melakukan berbagai uji coba.

Meskipun tidak mengecap pendidikan menengah dengan lengkap, Joko bertekad menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin. Anak pertamanya, Diana (29), adalah sarjana lulusan Teknik Industri Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Adiknya, Benjamin, juga sarjana Teknik Informatika lulusan salah satu universitas di Belanda. Mateo, anak bungsunya sedang menempuh pendidikan ilmu pariwisata di Bali.

Soal alat yang dikembangkannya itu, Joko mengakui bahwa untuk kendaraan bermotor masih memerlukan BBM sebagai bahan bakar utama. Namun setelah dipasangi generator hidrogen, konsumsi BBM bisa dihemat. Joko menyodorkan beberapa contoh, mulai dari motor hingga bus antarkota yang sudah dipasangi generator hidrogen yang dikembangkannya.

"Saya melakukan uji coba dengan mobil sendiri dan sudah berlangsung dua tahun tanpa masalah, meski dulu saya sering dikatai orang gila," ujarnya, tertawa.

Teknologi yang dikembangkan Joko itu sebenarnya terbilang sederhana. Kunci utamanya terletak pada hidrogen dalam air untuk dijadikan bahan bakar dengan proses pemisahan molekul gas yang memiliki nilai oktan pada angka 130. Hidrogen yang terurai tersebut kemudian diteruskan ke dalam ruang kompresi.

"Karena kebodohan maka saya mengembangkan teknologi ini," Joko mengenang. Tiga tahun lalu, ia mencoba melihat isi air aki dengan menggunakan korek api. Terjadi ledakan ketika ia mencoba mendekatkan nyala api untuk dapat melihat lebih jelas. "Saya bertanya-tanya, bukankah air aki itu air murni. Kenapa bisa terbakar?"

Joko akhirnya menemukan jawabannya. Yang terbakar adalah unsur hidrogen dalam air aki yang terurai karena proses kimiawi.

Pengalaman karena kebodohan itu, meminjam istilahnya, mengusik Joko untuk mulai mengutak-atik, mencari cara memisahkan hidrogen (H2O) yang ada dalam air.

Lambat laun, ia menemukan bahan yang lebih mapan dari air aki, yakni aquades yang mudah ditemukan di apotek dan toko kimia, ditambah kalium hidroksida yang harganya sangat murah. Air kemudian dihubungkan dengan elektrode demi mengurai unsur oksigen dan hidrogen. Setelah itu, unsur hidrogen yang mudah terbakar dijebak dan diubah menjadi sumber tenaga.

"Semuanya sangat sederhana," komentarnya.

Joko Sutrisno dan generator hidrogennya
Joko Sutrisno dan generator hidrogennya

Tidak Ada Monopoli

Dalam keseharian, Joko dikenal rendah hati. Pria yang acap mengeluarkan kata-kata lucu itu menegaskan tidak berniat dan berminat mengeduk keuntungan dari alat yang dikembangkannya itu.

Ia bahkan telah menyebarkan teknologi yang dikembangkannya itu lewat website www.egmca.org. Siapa pun bisa mengakses, mengunduh, menambahi, memprotes, membantah teknologi yang dikembangkannya. Dalam website itu, tampak juga diskusi bagaimana menerapkan ilmu Joko itu, dimoderatori Romo Vincentius Kirjito Pr.

Bagi Joko, semakin teknologi itu tersebar luas, diterapkan masyarakat, dan dikritik, semakin mendorongnya menyempurnakannya, bahkan mengembangkan teknologi yang lain. "Asal tidak ada monopoli, dan saya tidak akan mau menjual teknologi ini untuk perusahaan yang berniat monopoli. Saya justru ingin, masyarakat beramai-ramai menjadi montir sendiri," ia menegaskan.

Belakangan ini, keramaian di rumahnya bertambah. Beberapa kru bus Damri datang bergelombang untuk belajar kepada Joko, membuat dan memasang generator hidrogen. "Biar kru bus itu jadi montir sendiri dan menyebarkannya kepada yang lain," ujarnya.

Soal media turut andil memasyarakatkan produknya, Joko lebih menganggapnya sebagai membantu menawarkan alternatif bagi masyarakat. "Bukan karena ingin dipublikasikan. BBM naik tidak bisa ditolak, tapi mari cari alternatifnya," ujar Joko, yang akan terus melanjutkan penelitiannya untuk menyempurnakan generator hidrogennya. [SP/Fuska Sani Evani]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/05/30/Personal/per01.htm

Last modified: 29/5/08

Kamis, 15 Mei 2008 01.07

Tak Beranjak dari Tahun Pertama hingga Tahun ke Sepuluh

— Pupusnya Jejak Reformasi Kita

Chaos Inversion
Chaos Inversion
skokienet.org

Hari ini, tanggal 15 Mei, sebagian orang memperingati tragedi kelabu yang terjadi sepuluh tahun yang lalu. Konon, tanggal ini dianggap sebagai tonggak lahirnya era Reformasi yang mengakhiri tiga dasawarsa era kejayaan Orde Baru. [Reformasi dan Persatuan Nasional: 1998 to 2001]

Pada tanggal ini, 10 tahun silam, kota Jakarta dicekam kengerian yang amat pekat. Berawal dari maraknya demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat setelah Indonesia diterjang krisis moneter. Mulanya, demonstrasi yang terkonsentrasi di seputaran gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu masih terkendali. Semua berlangsung biasa. Teriak-teriak, orasi, pernyataan sikap, bernyanyi-nyanyi, long march. Namun, entah apa alasannya, tiba-tiba beberapa orang mahasiswa —yang saat itu sedang berada di kawasan kampusnya sendiri— tewas diterjang peluru penembak gelap. Beberapa orang lain hilang tak tentu rimba. Begitu pula orang-orang biasa yang tidak tercatat namanya sebagai tokoh negeri ini. Lenyap tanpa jejak.

Sekonyong-konyong, kerusuhan merebak di mana-mana. Penjarahan terhadap toko-toko dan pusat-pusat perbelanjaan, bahkan bank, meledak serentak di seluruh penjuru kota bagai sebuah drama yang sudah disusun jalan ceritanya. Asap hitam tebal membubung ke angkasa dari berbagai lokasi yang merah membara bagai api unggun raksasa. Umumnya, penjarahan terjadi di kawasan-kawasan yang dominan dengan aktivitas komersial. [The May 1998 Riot in Jakarta, Indonesia, Analyzed with GIS]

Yang amat mengenaskan adalah terjadinya pelecehan seksual dan pemerkosaan, hingga pembunuhan, secara brutal dan terang-terangan terhadap para perempuan keturunan Tionghoa. Ada dengan cara menyeret korban dari jalan, ada pula yang sengaja mendobrak rumah korban. Walau penistaan yang sangat biadab ini tidak diakui oleh pemerintah Indonesia, tidak sedikit kesaksian para korban (walau kebanyakan disampaikan secara anonim demi keselamatan mereka) maupun para relawan yang bergerak di bidang kemasyarakatan, penanganan pascatrauma, dan perlindungan perempuan. [Indonesian Anti-Chinese Riot, Jakarta, May 1998, Riot in Indonesia on May 1998, Chinese victims, Jakarta Black May]

Belum cukup sampai di situ, di beberapa pusat perbelanjaan, terjadi "pembantaian" massal. Sekian puluh —bahkan mungkin ratus— orang terperangkap dalam gedung yang bernyala-nyala dilalap api. Entah bagaimana logikanya sehingga mereka bisa terkunci di dalamnya. Padahal, biasanya pintu toko, pusat perbelanjaan, maupun mal tidak pernah terkunci pada saat jam kerjanya. Apalagi, di tempat-tempat semacam itu pasti ada petugas satuan pengamanan (satpam) yang sejatinya tahu persis apa yang harus dilakukan dalam keadaan darurat.

Entah mengapa, hari itu Jakarta seperti kehilangan aparat dan penguasa. Tidak ada satu pun pihak berwewenang yang berinisiatif mengambil kendali koordinasi pengamanan. Benar-benar suatu kondisi anarkis dan chaos. [Peaceful Indonesia - Sign the Petition/Masukkan Petisi]

“Sekitar jam 11.30, saya melihat beberapa orang di antara massa mencegat sebuah mobil dan memaksa penumpang turun, kemudian menarik dua orang gadis keluar. Mereka mulai melucuti pakaian kedua gadis itu dan memperkosanya beramai-ramai. Kedua gadis itu coba melawan sambil menjerit ketakutan, namun sia-sia,” tutur seorang saksi mata di Muara Angke, Jakarta pada tanggal 14 Mei 1998.

Hampir seratus perempuan Indonesia etnis Tionghoa menderita kekerasan seksual dalam tragedi kemanusiaan 13-15 Mei 1998 dan 1.339 warga Indonesia menderita kematian dini di beberapa supermarket yang dibakar gerakan massa. Penembakan yang menyebabkan kematian dini empat mahasiswa Universitas Trisakti mendahului tragedi Mei. Langit siang Jakarta menjadi gelap dan langit malam menjadi merah membara oleh kobaran asap dan pembakaran terhadap lebih dari 5.723 bangunan, 1948 kendaraan dan 516 fasilitas umum dengan total kerugian material, moral dan jiwa yang tak terhargai. Kekerasan serupa juga berlangsung di beberapa kota lain, seperti Surabaya, Palembang, Solo dan Lampung (Jusuf, Timbul, Gultom & Frishka, 2007).

peacefulindonesia.com

Ketika akhirnya suasana berangsur-angsur mereda, ketika rezim Orde Baru mengundurkan diri [secara simbolis] melalui berhentinya Soeharto selaku presiden, kebanyakan orang berharap akan muncul pemerintahan baru yang lebih mengedepankan kepentingan rakyat.

Namun, sejarah berkata lain. Silih bergantinya presiden maupun datang-perginya para pejabat negara —termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat dan petinggi-petinggi hukum— ternyata tidak mengubah wajah bangsa dan negara ini. Banyak dari mereka yang dahulu dianggap [dan menganggap dirinya] sebagai bagian dari gerakan reformasi 1998, lupa pada cita-cita perjuangan dahulu setelah kini dihadiahi berbagai posisi nyaman. Jangankan mendarmabaktikan dirinya bagi kepentingan orang banyak, bahkan untuk menuntaskan pengusutan tragedi Mei 1998 pun tampaknya hati mereka tidak tergerak. Padahal, kenyamanan mereka saat ini dibayar tunai dengan darah dan nyawa para mahasiswa dan rakyat.

Berlalu 10 tahun, tidak banyak perbaikan signifikan bagi kebanyakan rakyat Indonesia. Kemiskinan masih merajalela, bahkan kian meningkat. Biaya pendidikan semakin tidak terjangkau, biaya kesehatan kian mencekik leher. Berbagai subsidi dari pemerintah (enak saja dari pemerintah! Itu dari uang rakyat juga, yang ditarik melalui pajak) banyak yang tidak tepat sasaran. Dan, entah dari mana pula, timbul gagasan mengajari rakyat menjadi malas dan bermental pengemis dengan mengadakan pembagian uang melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Tetapi, alih-alih meredakan penderitaan rakyat, program ini malah menimbulkan perkara baru. Ada orang berkekurangan yang tidak mendapat jatah, namun sebaliknya ada orang yang tidak tergolong miskin malah mendapatkannya. Tragisnya, pada pelaksanaannya, tidak sedikit keributan yang terjadi yang mengakibatkan jatuhnya korban nyawa.

Belakangan ini, malah terjadi antrean berbagai macam kebutuhan. Mulai dari bahan bakar minyak (BBM) untuk kendaraan, minyak goreng, minyak tanah (yang semakin langka dengan adanya upaya pengalihan ke penggunaan kompor gas). Bahan makanan pun kian sulit diperoleh rakyat miskin. Kendati dicanangkan pengadaan beras untuk rakyat miskin (raskin), media massa kian bertubi-tubi memberitakan kondisi kurang gizi dan kelaparan di berbagai daerah. Bukan hanya satu-dua orang yang akhirnya "terbebas" dari penderitaan tersebut melalui kematian.

Setelah 10 tahun, gerakan reformasi —yang semula diharapkan menjadi titik terang di ujung terowongan gelap— ternyata masih tinggal sebagai utopia. Kalaupun ada, saya rasa, tidaklah banyak pergerakan menuju kemakmuran dan keadilan. Dan dalam beberapa waktu mendatang, rakyat akan semakin dihimpit berbagai kesusahan baru dengan adanya rencana pemerintah menaikkan harga BBM.

Pada akhirnya, semua masih sama —bahkan lebih berat— tinimbang 9 tahun yang lalu saat saya tuliskan puisi-puisi berikut ini:

Generasi tanpa bendera
(satu tahun reformasi #1)

Tigapuluh delapan tahun yang lalu,
aku bertanya pada Bunda, "Ini foto siapa?"
Bunda menjawab, "Kakekmu. Ayah Bapakmu."
Aku kembali bertanya, "Mengapa kakek berselempang peluru?"
Bunda menjawab, "Merebut bendera."

Tidak sekalipun aku jumpa kakek.

Tigapuluh tiga tahun yang lalu,
aku bertanya pada Bunda, "Kemana Bapak?"
Bunda menjawab, "Menjaga bendera."

Esoknya, sebuah keranda ada di pekarangan rumah.

Satu tahun yang lalu,
aku bertanya pada Bunda anak-anakku, "Kemana anak kita?"
Bunda anak-anakku menjawab, "Mengibarkan bendera."

Esoknya, semua tetangga membaca surah Yassin.

Malam ini,
aku bertanya pada Tuhanku,

"Kemana kami akan pergi, Tuhan?
Setelah semua yang kami kasihi tidak kembali.
Kami tidak tahu bendera mana
—dari sekian puluh bendera warna-warni
yang mencakari langit kota—
yang kemarin anakku kibarkan
dengan darahnya."

Esok akan kukibarkan Sang Saka
di atas semua bendera
di puncak menara kota.

— Cipinang, 19 Mei 1999

 

Nyanyian angin Tugu Proklamasi
(satu tahun reformasi #2)

Aku tidak lagi punya airmata
buat mereka yang terkapar
karena luka sudah demikian dalam
mengiris nadi.

Senja kemarin aku berdiri
di pelataran sepi Tugu Proklamasi.
aku bertanya pada Bung Karno,
aku bertanya pada Bung Hatta,

: "Inikah bangsa merdeka?"

Bisu.
Aku hanya mendengar nyanyi angin.

Empat lelaki muda
dengan pakaian putih-putih
tanpa kata tanpa suara
menyeka air mata dari pipi Bung Karno.

— Cipinang, 19 Mei 1999

— Beth: Kamis, 15 Mei 2008 01:07

# catatan kaki