Versi cetak

Selasa, 27 September 2005 03.16

Vita Brevis

— Sebuah Gugatan dari Cinta

Vita Brevis
Vita Brevis
amazon.com

Beberapa waktu yang lalu, saya terlibat (tepatnya: melibatkan diri) dalam diskusi yang menyoal buku Vita Brevis — Sebuah Gugatan dari Cinta (edisi Inggrisnya berjudul That Same Flower). Mestinya buku itu cuma buku biasa yang tidak perlu dihebohkan, karena hanya berisi sebuah surat (atau beberapa buah surat yang sinambung) dari seorang perempuan tidak terkenal kepada mantan kekasih kumpul-kebonya yang telah membuahkan seorang anak lelaki.

Secara ringkas, surat pribadi itu berisi protes (itu sebabnya subjudul buku tersebut sangat pas disebut gugatan dari cinta) terhadap alasan kekasihnya meninggalkannya sebagaimana dilansir oleh kekasihnya itu dalam sebuah buku berbentuk otobiografi reflektif. Mestinya juga surat itu tidak istimewa. Ada banyak kasus serupa yang terjadi di dunia ini. Perempuan itu bukan satu-satunya perempuan di dunia yang pernah ditinggalkan dan merasa dikhianati serta disia-siakan oleh lelaki yang sangat dicintainya dan mengaku pernah sangat mencintainya pula.

Keistimewaan timbul ketika si penulis surat yang mengaku bernama Aemilia Floria itu menujukan surat-suratnya kepada Aurelius Agustinus yang kemudian lebih dikenal sebagai Uskup Hippo, yang tidak lain adalah seorang teolog besar gereja dan seorang santo. Dan yang lebih dahsyat lagi, selain memaparkan kenangan dan sikapnya atas hubungan cinta mereka di masa lalu, surat itu juga berisi kritik terhadap beberapa hal yang tertera dalam karya besar Agustinus yang berjudul Confessiones.

Terlepas dari keabsahan surat yang disebut sebagai Codex Floriae oleh Jostein Gaarder yang menerjemahkannya dari bahasa Latin ke bahasa Swedia tersebut, timbul satu kesangsian besar: Mungkinkah di jaman Agustinus (354 – 430 ZB) ada perempuan yang memiliki tingkat intelektualitas sedemikian tinggi sehingga mampu menyampaikan kritik yang sepadan dengan pemikiran-pemikiran orang sekaliber Santo Agustinus? Apalagi pada masa itu paradigma patriarkal masih sedemikian kuat mencengkeram berbagai gatra kehidupan, termasuk gereja, sehingga peran perempuan nyaris tidak termunculkan sama sekali.

Saya tidak bisa menjawab kesangsian tersebut secara tegas karena saya bukan pakar sejarah atau bahasa atau skriptologi ataupun sosio-antropologi yang berkompeten memberikan pernyataan akhir. Namun, di sisi lain, saya pun tidak bisa untuk tidak memberikan the benefit of doubts bahwa kelangkaan atau ketidaklaziman bukanlah istilah lain bagi ketidakmungkinan. Karena, menurut saya, intelektualitas kaum perempuan bukanlah produk masa kini yang baru muncul kemudian, melainkan sudah ada sejak kisah penciptaan Taman Eden.

Malah sempat terlintas pikiran nakal dalam benak saya, jangan-jangan ada bagian yang tidak tertera dalam kitab Kejadian dimana Adam sudah lebih dulu kalah berdebat melawan ular dan kemudian mengajukan Hawa sebagai palang-pintu terakhir pembela manusia. Atau, Adam malah tidak sempat melakukan perdebatan itu karena sudah terlalu letih memberi nama semua binatang ciptaan Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu.

Sore tadi, kebetulan saya membuka-buka kembali buku lama Mencari Bulir-bulir Gandum yang merupakan kumpulan tulisan padat-ringkas-bernas karya [almarhum] Romo Dick Hartoko, SJ. Dalam artikel nomor 4 yang diberinya judul Surat-menyurat sebagai Sarana Pewartaan, Romo Dick menuliskan:

Agustinus menguraikan pandangannya mengenai rahmat dan dosa lewat surat-surat kepada teman-teman di Roma. Dan ingat, banyak di antara mereka adalah wanita. Lalu Ignatius dari Loyola, pendiri Ordo Jesuit, lewat surat-suratnya kepada wanita-wanita, menguraikan ide-idenya tentang hidup rohani. Demikian juga Fransiskus dari Sales. (hal. 5)

Saya rasa, saya bisa mempercayai tulisan Romo Dick karena beliau adalah seorang yang sangat akrab dengan dunia literatur dan pernah mendalami bidang sejarah di Tilburg (1949 – 1952 ZB). Sehingga saya yakin beliau tidak asal menulis, apalagi yang berkenaan dengan tokoh-tokoh sebesar Agustinus dan Ignatius.

Dengan demikian, nyatalah bahwa para tokoh besar gereja —termasuk Agustinus yang menjadi topik dalam diskusi tersebut— kerap berkorespondensi dengan para perempuan dalam soal-soal yang tidak sederhana. Atau, dengan kata lain, di masa-masa lampau —bahkan di jaman Agustinus pada abad keempat—, tidak sedikit perempuan yang sanggup terlibat dalam soal-soal filsafat dan teologi yang kala itu —bahkan hingga kini pun!— kerap dianggap sebagai kawasan khusus yang didominasi oleh kaum lelaki.

Namun kesangsian besar di atas belum sepenuhnya terjawab tuntas. Malah menimbulkan pertanyaan baru: Apakah para tokoh pemikir gereja itu berkirim surat secara searah ataukah terjadi komunikasi timbal-balik di mana terjadi pertukaran wacana antara mereka? Dan mengapa kepada para perempuan?

Masih dalam bingkai the benefit of doubts, saya rasa para tokoh gereja itu bukannya sekedar iseng tatkala berkirim surat dan berdialog dengan para perempuan (yang kebanyakan dari mereka tetap tidak dikenal luas). Amatlah naif jika saya berpikir bahwa mereka melakukannya demi memuaskan libido berkotbah (monolog) yang hanya ditelan bulat-bulat dan tidak mungkin ditanggapi secara serius dan seimbang oleh para perempuan itu.

Sebaliknya, sangat boleh jadi mereka —entah sadar entah tidak— menempatkan para perempuan dalam posisi sebagai penolong yang sepadan sebagaimana dinyatakan dalam Kejadian 2:18, yang menyiratkan kemampuan perempuan untuk mengimbangi dan melengkapi keberadaan kaum lelaki, halmana intelektualitas tidak bisa dikecualikan. Apalagi dalam soal kepedulian dan kepekaan akan sifat-sifat dan perasaan yang sangat manusiawi, yang malah kerap luput dari perhatian kaum lelaki (yang kemudian digeneralisasi bahwa kaum lelaki lebih mengutamakan rasio sedangkan kaum perempuan lebih mengutamakan perasaan).

Dari bersilancar di internet, saya temukan banyak analisis yang sangat menarik mengenai makna kata Ibrani ezer k'negdo yang diterjemahkan sebagai penolong yang sepadan. Padahal, makna dari masing-masing kata tersebut tidaklah sesederhana itu.

Dalam bahasa aslinya, ezer yang diterjemahkan sebagai penolong (helper) tidak mengimplikasikan posisi inferior atau subordinasi (assistant, servant, second-rate attendant), melainkan setara atau malah lebih tinggi. Bahkan, dalam Alkitab Yahudi, kata itu hampir selalu secara eksklusif dikenakan untuk Allah (bdk. Keluaran 18:4, Mazmur 33:20, 70:6, 115:9, 121:1-2, 146:5, Hosea 13:9). Sedangkan k'negdo berasal dari kata neged yang berarti melawan, bertentangan (against, opposite).

Tentu saja penggandengan kedua kata tersebut menghasilkan makna yang ganjil, sehingga melahirkan banyak penafsiran, mulai dari yang moderat hingga yang sangat ekstrim (misalnya penafsiran bahwa perempuan adalah penolong yang berasal dari dan atas nama Allah sehingga lebih superior dibanding lelaki).

Namun demikian, ada benang merah yang pada intinya menegaskan bahwa perempuan adalah mitra setara lelaki yang bersifat melengkapi, menyempurnakan, menyelamatkan (to rescue, to save), atau menguatkan (to be strong) dalam harmoni. Sehingga akhirnya dapat mengerti mengapa Adam menyebut Hawa sebagai tulang dari tulangku dan daging dari dagingku, yang mengandung pengakuan atas ketidaksempurnaannya dalam kesendirian.

Lalu saya ingat pula perjalanan hidup Juan de Yepes (1540 – 1591 ZB) yang sangat boleh jadi tidak akan menampakkan kecemerlangan pemikiran spiritualnya kalau saja Teresa dari Avila tidak membujuk, membimbing, dan mendorongnya untuk menempa proses kreatif dan imajinatifnya melalui media musik, puisi, dan dongeng. Tanpa Teresa, barangkali Juan hanya akan tinggal sebagai seorang paderi Karmelit pemalu dan rendah diri (barangkali karena tubuhnya yang pendek) yang tidak dikenal, bukannya menjadi pujangga dan mistikus besar gereja yang menyandang nama Yohanes dari Salib.

Terngiang sebuah pepatah klasik yang menyatakan, "Di balik setiap lelaki yang sukses, terdapat seorang perempuan yang kuat". Saya rasa, ke dalam kategori itu termasuk juga perempuan yang harus menanggung deritanya seorang diri, yang dengan berat hati harus mematahkan belenggu yang bisa menghalangi langkah sang lelaki menggapai bintang kejayaannya. Bukan karena mereka kalah kelas dalam hal intelektualitas dibanding lelaki, melainkan karena mereka lebih tangguh dalam menyimpan rahasia, walau dengan luka dan airmata. Sedangkan hidup ini terlalu singkat untuk mengurainya. Vita brevis.

— Beth: Selasa, 27 September 2005 03:16

Jumat, 16 September 2005 05.08

Perempuan dari Taman Eden Itu Ibu

Eve Before Eden
Eve Before Eden
by David Haslewood

Dalam satu kesempatan perbincangan yang menyoal kisah Taman Eden dalam pasal 3 kitab Kejadian, seorang rekan mengatakan bahwa perempuanlah yang menjadi sebab jatuhnya manusia ke dalam dosa. Malah, menurutnya, hingga kini pun perempuan masih memegang peranan sebagai penggoda yang menggelincirkan kaum lelaki ke berbagai kesalahan. Mulai dari kebohongan-kebohongan kecil semisal kepalsuan sikap si lelaki guna menarik perhatian si perempuan, perselingkuhan, hingga ke dorongan untuk mengambil apa yang bukan haknya melalui tindak korupsi.

Nyaris hampir semua orang yang akrab dengan kisah Taman Eden memiliki pandangan serupa. Gara-gara perempuan yang kalah beradu argumentasi dengan ular, maka lelaki pertama bernama Adam itu pun terpengaruh untuk ikut makan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Padahal, Allah sudah memperingatkan Adam agar tidak memakan buah tersebut, yang pelanggarannya berisiko kematian.

Boleh dibilang, kisah Taman Eden menjadi [salah satu] alasan pembenar untuk memberi stigmata kepada perempuan bahwa mereka adalah mahluk yang rentan terhadap dosa, yang oleh karena itu harus menebus takdirnya dengan menjadi manusia kelas dua di bawah bimbingan (baca: dominasi) kaum lelaki.

Sebagai orang yang secara "tidak sengaja terperosok" ke dalam beberapa forum diskusi maya di internet yang diikuti oleh orang-orang yang memiliki pandangan kritis luarbiasa (sampai-sampai saya sendiri terkadang ngeri dan gamang), saya jadi tidak bisa untuk tidak menggemakan pertanyaan yang sangat mendasar: "Apakah melalui agama Tuhan melegitimasi subordinasi sebagian manusia (kaum perempuan) di bawah sebagian manusia lain (kaum lelaki)?"

Di pihak lain, kita cukup akrab dengan peribahasa klasik Indonesia yang menyatakan sorga ada di telapak kaki ibu.

Bagaimanakah penjelasan untuk mendamaikan kedua pendapat ini? Jika salah satu salah, mana yang benar? Atau malah kedua-duanya salah?

Ataukah kita punya dalih jalan tengah yang menyatakan bahwa makna kata perempuan berbeda dengan ibu, sehingga hanya perempuan yang telah menjadi ibu sajalah yang berhak memiliki sorga di telapak kakinya?

Tetapi, tentu saja hal ini akan bertentangan dengan pendapat rekan yang saya ceritakan di atas yang memberikan gambaran bahwa seorang istri/ibu tetap berpotensi sebagai sumber malapetaka yang mendorong suaminya korupsi. Lagipula, bukannya tidak pernah kita mendengar kisah tentang ibu yang justru tidak memberikan sorga melainkan neraka bagi anak-anaknya.

Makin ruwet saja jadinya. Maka, daripada melantur, saya coret alternatif ketiga itu dari solilokui ini.

Bagi para "pecinta agama" yang mengamini dan mengimani teks secara harafiah, barangkali pendapat yang kedua akan langsung diberangus dan dimasukkan ke keranjang sampah. Barangkali itu jugalah yang menjadi sebab mengapa dalam doa orang Yahudi (entah hingga sekarang apakah masih) ada kata-kata "Terimakasih, Tuhan, karena Engkau tidak menciptakanku sebagai perempuan".

Dan yang cukup menarik adalah adanya kemiripan tradisi berbagai kultur maupun subkultur di berbagai penjuru dunia yang memperlakukan perempuan sebagai mahluk yang "dibeli" ketika akan diperistri, halmana kebiasaan semacam ini sudah berlangsung jauh sebelum mereka mengenal kisah Taman Eden. (Daripada jadi melenceng ke pembahasan sosio-antropologi, saya lewati saja dulu topik ini. Mungkin lain waktu.)

Rabi Harold S. Kushner mencoba mengoreksi pemahaman berkedok agama yang mendiskreditkan perempuan sebagai asal-muasal dosa. Dalam buku How Good Do We Have To Be? (A New Understanding of Guilt and Forgiveness), dikatakannya bahwa kisah Taman Eden bukanlah peristiwa jatuhnya manusia ke dalam dosa melainkan dimulainya kehidupan manusia yang sungguh-sungguh hidup. Bahkan secara mengejutkan dia nyatakan bahwa dengan dimakannya buah dari pohon pengetahuan itu, maka lahirlah hati nurani (pertimbangan moral) dalam diri manusia yang menjadikannya berbeda dengan hewan.

Diusirnya manusia dari Taman Eden bukanlah hukuman, melainkan belas kasih Allah dalam menghargai kehendak bebas, tanggung jawab, dan karya manusia untuk mengelola dunia. Buah pohon pengetahuan itu telah menempatkan manusia dalam dinamika kreatif yang tidak dimiliki dan dialami oleh hewan yang hanya mengandalkan naluri. Ada banyak pilihan dalam kehidupan yang dapat dibuat dan dijalani oleh manusia, yang menuntutnya menggunakan secara optimal otak (akalbudi), hati (nurani), otot (upaya), dan citarasa (jiwa). Sehingga, dengan demikian, segenap perjuangan manusia pun akan memiliki arti.

Kini saya bisa memahami makna agung dari kata Hawa, nama yang diberikan Adam kepada perempuan dari Taman Eden itu, yang berarti dia yang menjadi ibu semua yang hidup. Ibu Hawa telah memberikan kemanusiaan kepada kita dengan segala penderitaan dan kelimpahannya, lebih dari sekedar eksistensi sebagai salah satu spesies di muka bumi ini. Dialah asal-muasal kehidupan manusia, yang melaluinya manusia memiliki sejarah tentang Taman Eden, tempat di mana manusia dan Allah pernah tinggal bersama-sama. Yang untuk itu, dia dan seluruh keturunannya yang berjenis kelamin perempuan harus menanggung beban stigmata secara tidak adil dari dunia.

Seorang rekan di forum diskusi cyber-gki pernah menuliskan —kurang-lebih— bahwa merendahkan perempuan dengan membuat interpretasi sepihak [androgini, atau bahkan misogini] atas teks Alkitab sama artinya dengan menginjak kepala ibu kita. Jika dihadapkan pada alternatif semacam itu, dia memilih menginjak Alkitab ketimbang menginjak kepala ibunya.

Tercekat leher saya nyaris tidak bisa bernapas saat membaca tulisannya itu. Nanar mata saya membayangkan wajah ibu saya yang kini semakin tua. Dan samar-samar saya ingat seseorang yang suatu waktu di masa lalu pernah mengatakan bahwa "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat".

Saya rasa, kini saya tahu bahwa saya akan terbebas dari dilema antara menginjak kepala ibu saya ataukah menginjak Alkitab jika saya tidak lagi memandang perempuan sebagai manusia kelas dua yang menjadi sebab berdosanya manusia. Bahkan walau semua itu mengatasnamakan agama.

Dan oleh sebab itulah saya berhutang pencerahan pada rekan diskusi di ruang maya itu, Adji A.S., walau belum pernah jumpa secara fisikal. Kata-katanya selalu terngiang di benak saya saat membaca Alkitab, bahkan ketika tidak menyoal martabat perempuan. Terimakasih saya padamu, kawan.

— Beth: Jum'at, 16 September 2005 05:08

# catatan kaki