Versi cetak

Sabtu, 18 Oktober 2003 10.51

Karunia Keselamatan #3

— Antara Iman dan Perbuatan #3

Saint Paul at His Writing Desk
Saint Paul at His Writing Desk
by Rembrandt

Walau berkali-kali mengatakan "imanmu menyelamatkanmu", Yesus tidak pernah mengatakan hanya iman sajalah yang dapat menyelamatkan. Juga tidak pernah Yesus mengatakan bahwa "iman adalah karunia Allah". Malah berulangkali Yesus menekankan untuk melakukan kehendak Bapa agar selamat. (Harap dicermati: melakukan = bertindak, bukan hanya berserah pada karunia!)

1. Pengutamaan Iman

Pauluslah yang mula-mula menekankan keutamaan iman dalam karya keselamatan. Tetapi, Paulus tidak mengatakan hanya iman semata. Malah dia mengatakan bahwa kasih (= perbuatan) mengatasi iman. Misalnya:

Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.
— 1 Korintus 13:2

Sangat bisa dimengerti mengapa ayat-ayat semacam ini tidak sering digaungkan di kalangan jemaat. [Hampir] semua gereja reformasi dicengkeram kuat oleh doktrin sola fide yang dicanangkan oleh Martin Luther berdasarkan tafsirnya atas [sebagian] surat-surat Paulus.

Oleh sebab itu, ada baiknya kita mencoba memahami mengapa Paulus memandang perlu mengutamakan iman.

Hampir semua surat Paulus bersifat kasuistis, kontekstual, dan situasional dalam rangka menjawab persoalan-persoalan lokal yang dihadapi suatu jemaat/komunitas pada saat itu, yang hampir semuanya adalah kaum kafir (gentiles) ataupun orang baru-Kristen yang masih berbaur secara rapat dengan para penyembah berhala.

Sinkretisme adalah salah satu jenis persoalan krusial yang sering dihadapi Paulus. Banyak orang baru-Kristen yang masih belum teguh pendiriannya, sehingga kerap memadukan berbagai unsur keagamaan, filsafat gnostisk, maupun mistisisme (magis, klenik, tenung, sihir).

Itu sebabnya Paulus memandang perlu "meluruskan" pandangan mereka dengan menanamkan pondasi yang kokoh. Dan, pondasi yang dimaksud adalah iman.

Bahkan, agar mereka —yang masih rapuh itu— tidak tergelincir lagi ke kesesatan, Paulus tidak segan-segan mengkarantina mereka dengan larangan bergaul dengan para pendosa (bdk. 1Korintus 5:9-11, 2Korintus 6:14-17, 2Tesalonika 3:6, 2Timotius 3:1-5, Titus 3:10), halmana sangat bertentangan dengan perilaku dan ajaran Yesus sendiri.

2. Orang-orang Beriman

Jika kita membandingkan Paulus dengan Petrus, Yakobus, atau Yohanes, maka kita akan menemukan perbedaan yang cukup mencolok. Ketiga tokoh ini [hampir] tidak pernah memusatkan perhatiannya pada iman, malah lebih banyak membicarakan perbuatan.

Dalam tulisan  ini, saya gunakan asumsi yang kerap digunakan oleh sebagian orang Kristen bahwa para penulis kitab-kitab yang saya kutip di bawah adalah benar-benar Petrus, Yakobus, dan Yohanes yang menjadi murid-murid Yesus.

Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka. [...] Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkamkan kepicikan orang-orang yang bodoh.
— 1 Petrus 2:12, 15

Karena itu baiklah juga mereka yang harus menderita karena kehendak Allah, menyerahkan jiwanya, dengan selalu berbuat baik, kepada Pencipta yang setia.
— 1 Petrus 4:19

Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? [...] Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. Tetapi mungkin ada orang berkata: "Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan", aku akan menjawab dia: "Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku." [...] Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong?
— Yak 2:14, 17-18, 20

Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.
— 1 Yohanes 3:18

Saudaraku yang kekasih, janganlah meniru yang jahat, melainkan yang baik. Barangsiapa berbuat baik, ia berasal dari Allah, tetapi barangsiapa berbuat jahat, ia tidak pernah melihat Allah.
— 3 Yohanes 1:11

Mengapa mereka berbeda pendekatan dengan Paulus?

Petrus, Yakobus, dan Yohanes melaksanakan pelayanannya pada orang-orang Yahudi, yang pada umumnya sudah menganut paham monoteisme, sehingga tidak usah diajari lagi soal iman. Sedangkan kaum kafir yang dihadapi Paulus masih harus ditunjukkan bagaimana caranya "beragama" yang benar. Mereka adalah orang-orang yang baru belajar bagaimana seharusnya orang beragama.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jemaat binaan Paulus adalah embrio-embrio yang baru terbentuk, sedangkan jemaat binaan Petrus, Yakobus, dan Yohanes adalah orang-orang beriman yang perlu penyempurnaan ke kedewasaan spiritual.

Hingga surat terakhirnya —yang ditujukan kepada orang-orang di Kolose— Paulus masih saja dihadapkan pada persoalan-persoalan lokal jemaat seperti filsafat kosong dan palsu, kepercayaan tradisional, makanan halal-haram, pertengkaran, dan lain-lain. Namun demikian, kali ini dia pun sudah menekankan pentingnya sikap dan perbuatan baik, tidak melulu dijangkarkan pada iman semata.

Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. (Kolose 3:12-14, 23)

Dalam suratnya ini, Paulus juga memberikan arahan bagaimana perbuatan yang selayaknya dilakukan oleh seorang istri, suami, anak, hamba, tuan.

3. Sola Fide

Di kemudian hari, Martin Luther mengemukakan tesis sola fide karena dia dihadapkan pada kenyataan adanya pembodohan umat secara massal oleh oknum-oknum gereja yang menjual surat pengampunan dosa (indulgensi). Saat itu, timbul pemahaman di kalangan jemaat bahwa keselamatan hanya bisa diperoleh jika memiliki surat tersebut.

Kondisi ini, sedikit-banyak, mirip dengan kaum kafir yang dihadapi oleh Paulus, yakni pembelokan makna kehidupan beragama yang sejati pada kasih Allah Yang Esa. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemahaman di kalangan jemaat pada masa Luther tidak lebih baik daripada di masa Paulus. Mereka sama-sama menghadapi kesesatan dalam kedangkalan pemahaman.

Oleh sebab itu, dapatlah dimengerti mengapa Luther mengambil-alih cara Paulus meneguhkan jemaatnya dengan menekankan keselamatan pada iman. Dia ingin membebaskan jemaat dari "kuasa-kuasa" lain yang melingkupi alam berpikir dan kerohanian jemaat.

Sayangnya, kebanyakan orang di masa kini lebih suka tetap menjadi embrio spiritual daripada bertumbuh, berkembang, dan berbuah dengan mewujudnyatakan imannya dalam perbuatan. Dalam anggapannya, perbuatan bukanlah sebuah tanggung-jawab yang merupakan penjelasan (explanation) imannya.

Bahkan, yang lebih celaka, tidak jarang mereka menghakimi orang-orang yang berbuat baik sebagai para pengejar pahala yang beranggapan bahwa keselamatan bisa ditebus dengan perbuatan baik. Mereka menuding bahwa perbuatan baik tidak akan menyelamatkan.

4. Upah Sorgawi

Padahal, bukan satu dua kali Yesus bicara soal "upah" atas apa yang kita lakukan ataupun tidak kita lakukan.

Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.
— Matius 5:12

Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?
— Matius 5:44-46

Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.
— Matius 6:3-4

Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.
— Matius 6:6

Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu. Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.
— Matius 6:14-18

Barangsiapa menyambut seorang nabi sebagai nabi, ia akan menerima upah nabi, dan barangsiapa menyambut seorang benar sebagai orang benar, ia akan menerima upah orang benar. Dan barangsiapa memberi air sejuk secangkir sajapun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya.
— Matius 10:41-42

Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.
— Lukas 6:35

Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.
— Lukas 14:13-14

Apa yang bisa menjadi upah kita jika kita tidak bekerja?

Jika dikatakan bahwa keselamatan adalah karena iman, sedangkan keselamatan dan iman itu sendiri adalah karunia Allah, lantas apa bagian kita yang akan dihargai Allah dengan upah sorgawi? Apa yang patut diberi upah?

Sudah mendapat karunia [iman], masih mendapat upah [keselamatan] pula atas sesuatu yang sama sekali tidak dikerjakannya. Alangkah tamaknya orang Kristen ini ...

Teringat saya pada satu berita kecil di koran beberapa waktu yang lalu, tentang seorang nenek yang menolak dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diprogramkan pemerintah sebagai "permen penghibur" atas kenaikan BBM yang luar-biasa. Nenek sederhana ini mengatakan, "Mengapa saya harus diberi uang atas sesuatu yang tidak saya kerjakan?".

Betapa dahsyatnya integritas orang kecil itu! Padahal dia bukan seorang yang tergolong berkecukupan. Apalagi, di masa sekarang ini, bukanlah sesuatu hal yang janggal jika seseorang ingin mendapat imbalan tanpa harus bekerja, ibarat bayi yang masih perlu disuapi dan disusui.

Bayi-bayi dan kanak-kanak memang perlu gizi yang baik untuk bertahan hidup dan tumbuh sehat. Mereka harus selalu disuapi dengan ASI atau makanan lunak. Mereka menggantungkan hidupnya sepenuhnya pada belas kasih orang-tuanya.

Sementara orang-orang dewasa harus bekerja agar dapat bertahan hidup dan dituntut tanggung-jawabnya atas segala hal. Mereka harus mengeluarkan secara optimal kemampuan yang sudah mereka peroleh dan asah semasa muda untuk mengaktualisasikan dirinya.

Entah di posisi mana kita hendak menempatkan diri. Bayi ataukah dewasa rohani?

— Sabtu, 18 Oktober 2003 10:51
[revisi: Kamis, 29 Desember 2005 02:34]

Selasa, 14 Oktober 2003 07.31

Karunia Keselamatan

— Antara Pemilihan dan Kesempatan

Snail
source unknown

1. Ketidaklayakan Manusia

Ada seorang rekan diskusi yang mengajukan tesis kondisi manusia sebagai berikut:

Semua manusia tanpa kecuali tidak ada yang layak dihadapan Allah. Patut menerima murka-adil Allah. Tidak memiliki pengharapan dan pertolongan untuk memperoleh keselamatan, baik dari dirinya sendiri atau di luar dirinya maupun dari dunia ini.

Secara pribadi, saya sama sekali tidak punya masalah dengan tesis tersebut. Semenjak manusia pertama jatuh ke dalam dosa, maka semua manusia menanggung akibatnya; yakni kerja, penderitaan, dan kematian. Dan dalam saat yang sama, saya juga tidak bermasalah dengan pernyataan bahwa keselamatan itu adalah anugerah Tuhan, yang tidak mungkin diperoleh manusia dari upayanya saja. Keselamatan adalah hak prerogatif Tuhan.

Jika hal itu yang dimaksud sebagai ketidaklayakan manusia di hadapan Allah, mari kita gunakan konsep tersebut dalam diskusi ini demi memudahkan pembicaraan.

Tetapi, sangatlah keliru jika mengartikan saya menganggap diri layak di hadapan Tuhan ketika saya mempersoalkan dimana letak kasih dan keadilan Tuhan jika keselamatan itu diberikan Tuhan melalui pemilihan awal yang sudah ditetapkan sejak semula (predestinasi). Bukan demikian maksudnya. Saya hanya merasa perlu mengenali secara baik Tuhan yang [katanya] penuh kasih dan keadilan itu melalui kacamata predestinasi.

2. Pengenalan akan Tuhan

Sebagai orang beragama, saya merasa perlu untuk MENGENAL Tuhan yang saya sembah, karena itulah yang berkali-kali diajarkan Yesus. Maka, saya perlu mengenali Allah melalui pengenalan saya pada Yesus.

Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia."
— Yohanes 14:7

Oleh sebab itu, saya berharap agar persoalan ini jangan dijadikan sumir dengan dalih "tidak boleh mempertanyakan keadilan Tuhan". Itu hanya alasan yang tidak lebih dari kilah (denial) yang sangat mirip dengan penguasa di jaman Orde Baru ataupun otoritarianisme monarki absolut a-la Louis XIV yang mengatakan "L'etat c'est moi" (negara adalah saya), yang membuat keputusan mutlak tanpa boleh dipertanyakan sama sekali.

Yesus yang saya kenal dari Injil telah memperkenalkan Allah yang penuh kasih dan keadilan, bukan Allah otoriter yang tidak boleh dipertanyakan sebagaimana halnya Allah dalam Perjanjian Lama (PL).

Maka, sangatlah wajar jika seseorang bertanya, "Dimana letak keadilan dan kasih yang digembar-gemborkan oleh orang Kristen jika dari semua manusia [yang tidak layak itu] hanya sebagian saja yang akan selamat berdasarkan pemilihan awal yang dilakukan Tuhan [bahkan] sebelum manusia dan alam semesta ini ada?"

3. Injil Bukanlah Kabar Baik Kasih Allah?

Kalau memang demikian halnya, maka semua jargon kasih yang menjadi andalan orang Kristen akan menjadi omong-kosong yang menggelikan. Dengan demikian, semua orang Kristen yang mewartakan kabar baik (Injil) kepada orang lain sebenarnya tidak lebih dari penipu murahan karena mereka tidak sejak awal jujur mengatakan bahwa Allah sudah memilih orang-orang tertentu saja untuk diselamatkan. Dan sudah jelas bahwa hal itu bukanlah sebuah kabar baik!

Saya belum pernah menemukan orang yang mengabarkan Injil kepada orang lain dengan diawali penjelasan tentang konsep pemilihan ini. Pada umumnya, semua selalu diawali dengan kata-kata "Allah/Yesus mengasihi saudara". Bukankah ini sebuah penipuan?

Jika kita maju dengan konsep pemilihan awal ini, jangankan orang baru, orang yang sudah lama menjadi Kristen pun akan mempertanyakan kejelasan konsep kasih dan keadilan Allah.

Lagipula, bagaimana orang bisa mempercayai omongan kita, sementara kita tidak bisa membuktikan bahwa kita (yang mengabarkan Injil) adalah orang pilihan Allah? Ibarat orang buta menuntun orang buta, akan sama-sama terjerumus ke dalam lubang!

4. Ke-Bapa-an Allah

Yesus membahasakan "Bapa" kepada Allah bukan dengan maksud sekedar pemanis sapaan. Makna yang dibawa dengan kata itu mengubah secara drastis konsep Allah yang tidak/belum banyak tersentuh dan dieksplorasi dalam PL. Allah yang diperkenalkan Yesus adalah Allah yang peduli pada semua orang, karena semua orang adalah buah karya-Nya juga.

Sekali lagi, saya contohkan: apakah mungkin kita, sebagai seorang ayah/ibu, memutuskan akan memilih salah satu anak kita sebagai pewaris kita sementara anak lain akan dibuang? Padahal anak-anak itu belum lahir. Dan dalam hal ini, kita sama sekali tidak akan memperhitungkan apa yang akan berlangsung pada diri masing-masing anak tersebut.

Mungkinkah kita melakukan kekejaman semacam itu?

Jika kita saja tidak mungkin melakukannya, mengapa Allah yang mahakasih dan mahaadil (yang artinya jauh melampaui kemampuan manusia untuk melakukannya) malah melakukan perbuatan yang jauh lebih rendah daripada manusia? Bahkan binatang saja tidak sekejam itu, sebagaimana digambarkan dalam pepatah "harimau tidak akan memakan anaknya sendiri".

Dan kasih Allah itu secara gamblang sudah digambarkan oleh Yesus:

Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya."
— Matius 7:7-11

Yesus menyatakan bahwa kasih Allah terbuka bagi setiap orang yang mau meminta, bukan bagi orang yang sudah dipilih saja.

Dalam kesempatan lain, kita bisa membahas makna "orang-orang terpilih".

5. Penebusan Yesus adalah Kesempatan bagi Semua Orang

Dalam pemahaman saya, setiap orang [yang tidak layak itu] berhak memperoleh kesempatan untuk selamat asal mereka mau bertobat. Dengan demikian, menjadi sangat jelaslah tujuan kedatangan Yesus ke dunia ini, bukan sekedar sandiwara konyol.

Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus mengatakan bahwa kejatuhan Adam ke dalam dosa mengakibatkan semua orang beroleh hukuman (berdosa). Tetapi, karena Yesus, maka semua orang pun memperoleh kesempatan (pembenaran) untuk hidup.

Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup. Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar.
— Roma 5:18-19

Sebagai konsekuensi logisnya, baik hukuman maupun penebusan ini tidak ditujukan pada orang-orang tertentu (pilihan) saja. Masakan semua orang ditakdirkan menanggung akibat dosa yang diawali oleh Adam tetapi tidak semua orang diperkenankan mendapat kesempatan diselamatkan?

Apakah mungkin Tuhan yang mahakasih dan mahaadil itu menjatuhkan hukuman pada semua orang tetapi tidak memberi pengampunan pada semua orang juga? Padahal hukuman massal itu sendiri bukan keinginan mereka.

Betapa menggelikannya. Sama sekali tidak sesuai dengan gambaran Allah yang disampaikan oleh Yesus.

6. Pertobatan adalah Pemenuhan Kesempatan

Tentu saja pertanyaan apakah seseorang akan benar-benar memperoleh keselamatan adalah soal lain yang tergantung pada keputusan mutlak Allah. Tetapi, semua orang sudah dibukakan kesempatan untuk memperoleh keselamatan itu.

Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka.
— 2 Korintus 5:15

Kelanjutan dari kesempatan itu memang terserah kepada orang yang bersangkutan, apakah mau menerima kebenaran yang sudah diajarkan dan diperlihatkan oleh Yesus atau tidak.

Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia: itu kesaksian pada waktu yang ditentukan.
— 1 Titus 2:3-6

Dalam pemahaman orang Kristen, kesediaan ini diwujudkan dalam bentuk kerelaan dipimpin oleh Yesus.

Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya, dan Ia dipanggil menjadi Imam Besar oleh Allah, menurut peraturan Melkisedek.
— Ibrani 5:8-10

Sehingga, jelaslah keadilan Tuhan itu, yakni semua orang akan dihakimi menurut perbuatannya, bukan karena pilihan yang tidak adil itu.

Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini.
— 1 Petrus 1:17

Yang pada intinya adalah kasih Allah yang menginginkan semua manusia bisa selamat dengan pertobatannya (berbalik pada Allah).

Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.
— 2 Petrus 3:9

Jika orang Kristen konsisten dengan jargon klasiknya bahwa Yesus adalah Juruselamat semua manusia, bahkan dikatakan sebagai Juruselamat dunia, maka orang Kristen harus mau menerima kenyataan bahwa semua manusia pun memiliki kesempatan untuk memperoleh keselamatan itu.

Itulah sebabnya kita berjerih payah dan berjuang, karena kita menaruh pengharapan kita kepada Allah yang hidup, Juruselamat semua manusia, terutama mereka yang percaya.
— 1 Timotius 4:10

Walau orang Kristen percaya bahwa mereka yang percaya kepada Yesus akan memperoleh keutamaan dalam keselamatan, hal itu sama sekali tidak berarti bahwa Yesus datang hanya untuk sebagian orang terpilih saja.

Jadi, perlu digarisbawahi, bahwa yang saya tentang bukanlah masalah "semua manusia tidak layak di hadapan Tuhan" melainkan "pemilihan yang tidak jelas juntrungannya, yang sama sekali jauh dari gambaran kasih dan keadilan Tuhan". Penekanan saya adalah "semua orang mempunyai kesempatan untuk selamat melalui penebusan Yesus".

— Selasa, 14 Oktober 2003 07:31
[revisi: Senin, 18 Agustus 2008 23:37]

From: logoscriptura <logoscriptura@yahoo.com>
To: Bible-Forums@yahoogroups.com; fordian@yahoogroups.com; alkitab-LAI@yahoogroups.com
Sent: Monday, 13 October 2003 14:26
Subject: [Bible-Forums] Semua manusia tidak ada yang layak...! --> sdr. alof

Date: Sat, 11 Oct 2003 08:29:56 +0700
From: "~alof"
Subject: Re: Re: Hati-hati dengan pengajaran Predestinasi.....!?-->Sdr. Yohannes

----------cut-------------cut----------

Intinya adalah: panggilan dan keselamatan adalah terbuka bagi SEMUA ORANG yang mau mendengarkan ajaran Yesus. Sehingga sangat bisa dipahami untuk apa Yesus datang. Bukan hanya untuk mempermanis sandiwara konyol dan tragis yang dirancang oleh penguasa yang absurd, otoriter, tidak adil, tidak mengasihi ciptaannya sendiri, serta hanya memberikan harapan kosong; melainkan sungguh-sungguh mewartakan kabar baik tentang kasih Allah.

Salam,
~alof

S14K:
Kalau anda membuat pernyataan diatas, apakah itu berarti anda tidak setuju dengan tesis 3? Menurut kesimpulan saya, anda percaya bahwa manusia yang sudah jatuh kedalam dosa masih layak dihadapan Allah. Untuk lebih meyakinkan saya, mohon Anda membuat antitesis dari tesis 3. Sehingga perbedaan kita menjadi jelas dan terhindar dari diskusi yang tidak sehat.

Mari kita lihat tesis nomor 3:

"Semua manusia tanpa kecuali tidak ada yang layak dihadapan Allah. Patut menerima murka-adil Allah. Tidak memiliki pengharapan dan pertolongan untuk memperoleh keselamatan, baik dari dirinya sendiri atau diluar dirinya maupun dari dunia ini".

Mungkin ini yang Anda maksud ketika anda mempertanyakan keadilan Allah:

"Dimanakah keadilan Allah, kalau untuk sebagian orang Dia memberikan kasih-Nya (orang pilihan), dan membiarkan sisanya untuk menerima penghukuman?"

Sdr. Alof, kita sebenarnya sekali-kali tidak boleh mempertanyakan keadilan Allah. Karena menurut keadilan Allah, kita semua tanpa kecuali harusnya dihukum di Neraka. Setuju..??? Pernyataan saya ini konsisten dengan tesis 3: "Tidak ada seorang pun yang layak dihadapan Allah yang Maha Kudus". Bahkan kesalehan manusia seperti kain kotor dihadapan-Nya (Yesaya 64:6).

Mempertanyakan keadilan Allah dalam ketetapan-Nya memilih, artinya sama dengan menganggap diri layak dihadapan Allah: "Kalau sebagian yang dipilih, maka Allah juga wajib memilih sisanya...!". Ini jelas kesimpulan yang salah. Menganggap layak diri dihadapan Allah yang Kudus adalah kesombongan yang besar. Menganggap diri tidak layak dihadapan Allah yang Kudus itulah ketulusan yang sejati. Dan hanya mereka yang telah mengalami regenerasi dapat bertindak dengan ketulusan yan sejati. (Ingat kisahnya orang Farisi dan pemungut cukai)

Orang yang tidak dipilih pasti menerima keadilan Allah, yaitu dihukum oleh karena ketidaklayakannya/kesalahannya sendiri dan tempatnya di Neraka.

Orang yang dipilih sebenarnya adalah orang yang tidak layak juga, tetapi kasih karunia Allah telah diberikan untuk mereka. Keadilan Allah yang harus mereka "bayar" kepada Allah telah dibayar lunas oleh pengorbanan Kristus di Kalvari. Kristus mati hanya untuk mereka yang telah diberikan oleh Allah kepada Kristus.

Mungkin dalam pikiran anda timbul pertanyaan:"Kalau begitu percuma saja pertobatan orang-orang yang tidak dipilih, toh akhirnya mereka ke neraka?"

Jawab: Tidak akan pernah ada kondisi seperti pertanyaan diatas. Karena orang yang tidak layak, orang yang diperbudak oleh dosa, tidak pernah akan bertobat. Pertobatan sejati hanya di alami oleh mereka yang diregenerasi olek Kuasa Roh Kudus.

Mudah-mudahan Anda paham maksud saya ini. Salam Kasih Kristus Tuhan..!

Soli Deo Gloria.
SnK

Sabtu, 11 Oktober 2003 06.46

Karunia Keselamatan #2

— Antara Iman dan Perbuatan #2

When The Light Goes Out
When The Light Goes Out
amandavangils.com

1. Keselamatan

Manusia memang sudah kehilangan kemuliaan yang dikaruniakan Allah pada saat manusia pertama diciptakan. Tetapi tidak berarti bahwa manusia kehilangan harganya di mata Allah. Justru manusia —bahkan dunia— demikian berharga dan dikasihi-Nya, hingga Dia memandang perlu untuk menyelamatkannya (bdk. Yohanes 3:16). Allah ingin semua manusia selamat dan memperoleh kemuliaannya kembali karena manusia adalah citra Allah sendiri.

Hampir tidak ada orang —khususnya yang beragama samawi— yang berkeberatan bahwa keselamatan adalah pemberian (anugerah, karunia) Allah yang merupakan hak prerogatif Allah yang kita tidak tahu bagaimana penetapannya. Dengan demikian, Allah sajalah yang tahu siapa yang akhirnya akan memperoleh keselamatan.

2. Iman

Tetapi, saya rasa, pernyataan bahwa iman adalah anugerah Allah bukanlah persoalan yang sederhana. Siapakah yang akan dianugerahi iman oleh Allah? Apakah semua orang bisa mendapatkannya ataukah hanya orang-orang tertentu yang sudah dipilih oleh Allah sebagaimana dipercayai oleh para penganut paham predestinasi? Bagaimana pulakah kriterianya?

Dan manakah yang lebih dahulu terjadi: memiliki iman [atas anugerah Allah] ataukah mempercayai Yesus (menjadi Kristen)?

  1. Jika iman lebih dahulu, sementara dikatakan bahwa iman sudah cukup untuk keselamatan, masih perlukah seseorang menjadi [beragama] Kristen?

  2. Jika percaya kepada Yesus lebih dahulu daripada iman, maka sudah jelas bahwa di situ manusialah yang berperan. Dengan kata lain, anugerah Allah akan tercurah setelah manusia bertindak.

Menurut pendapat saya, iman adalah respons/tanggapan manusia pada panggilan Allah dalam rangka penyelamatan itu. Bukan iman an-sich yang dianugerahkan Allah, melainkan uluran kasih tangan Allah. Dan ini berlaku bagi semua orang dalam berbagai cara (yang diistilahkan dengan cara misterius Allah).

Paulus mengatakan bahwa iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus (bdk. Roma 10:17), yang nota bene menyiratkan adanya tanggapan manusia pada panggilan Allah. Ada peran manusia di sana. (Soal penafsiran apakah "pendengaran oleh firman Kristus" sama artinya dengan "menjadi [beragama] Kristen" bisa kita bahas lain waktu.)

Alkitab mengisahkan bahwa Yesus beberapa kali mengatakan "imanmu menyelamatkan" kepada orang-orang yang bukan pengikutnya. Bahkan Yesus mengatakan bahwa Dia tidak pernah menjumpai iman pada seorang pun di antara orang Israel yang sebesar iman seorang perwira Romawi yang meminta kesembuhan bagi hambanya yang lumpuh (bdk. Matius 8:5-13).

Bagaimana kita memahami semua itu?

Mari kita lihat beberapa fakta yang diberikan oleh Alkitab (yang tentu saja dengan bantuan beberapa literatur lain guna memahami konteks saat itu):

  1. Orang Romawi adalah penjajah yang menguasai wilayah Yahudi/Palestina dimana Yesus hidup. Secara sosial-politik, mereka memiliki status lebih tinggi daripada orang Yahudi.

  2. Orang Romawi adalah penganut ajaran paganisme yang menyembah dewa-dewa (politeisme) ataupun menyembah kaisar sebagai Allah. Sangatlah kecil kemungkinannya —jika tidak dapat dikatakan mustahil— orang Romawi pada saat itu memeluk agama Yahudi, apalagi menjadi pengikut Yesus yang pada saat itu belum disebut Kristen.

  3. Sebagai aparat kekuasaan Romawi, perwira tersebut bisa saja memerintahkan Yesus datang ke tempatnya. Untuk itu, dia cukup memerintahkan prajuritnya. Tetapi, pada kenyataannya, perwira itu sendirilah yang menemui Yesus.

  4. Status hamba dalam kondisi sosial saat itu sama dengan budak yang dapat dibeli dan dimiliki secara total oleh majikannya. Seorang hamba bahkan bisa saja dibunuh tanpa ada risiko hukuman apa-apa. Kematian seorang hamba tidak memiliki arti apa-apa.

Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat kita lihat bagaimana Yesus —dalam pandangan saya— memandang persoalan.

iman yang besar adalah yang ditunjukkan dengan perbuatan yang bersedia berkorban atau merendahkan diri demi kebaikan dan keselamatan orang lain, terutama orang-orang marjinal (dianggap hina, terbuang, teralienasi)

Dan dalam hal ini, Yesus tidak pernah menanyai siapa pun apa agama yang dianutnya maupun mensyaratkan mereka menjadi pengikut-Nya.

3. Perbuatan

Berkenaan dengan diskusi yang membahas iman dan perbuatan semacam ini, berulangkali saya kemukakan pemahaman saya bahwa iman [secara spiritual] saja tidak akan menyelamatkan. Iman saja tidak cukup. Tentu saja pandangan saya ini sangat bertentangan dengan prinsip sola fide yang dipahami oleh sebagian orang Kristen.

Dalam Alkitab tercantum tulisan berikut ini:

Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?
— Yakobus 2:14

Berulangkali Yesus mengatakan bahwa yang akan memperoleh keselamatan adalah orang-orang yang melakukan kehendak Bapa.

Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.
— Matius 7:21

Apakah bentuk nyata melaksanakan kehendak Bapa itu?

Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkamkan kepicikan orang-orang yang bodoh.
— 1 Petrus 2:15

Jadi sangatlah jelas bahwa Alkitab sendiri yang mengatakan bahwa keselamatan (masuk ke dalam Kerajaan Sorga) bukan datang dari iman spiritual yang hanya menyebut-nyebut nama Tuhan [Yesus] melainkan dari perbuatan melakukan kehendak Bapa yang oleh Petrus dinyatakan dengan berbuat baik.

Yesus pula yang mengatakan bahwa perbuatan kita terhadap sesama yang menderita adalah bukti nyata kasih kita terhadap Allah (bdk. Matius 25:31-46).

Dan dengan merujuk pada perkataan Yesus tentang Hukum Kasih (bdk. Matius 22:37-40), dimana hukum kedua (mengasihi sesama manusia) adalah sama dengan hukum yang pertama (mengasihi Allah), maka pernyataan-pernyataan Yesus di atas menjadi sangat jelas bahwa perbuatan kita kepada sesama manusia adalah pernyataan langsung dari iman kita (kasih kepada Allah). Mengasihi sesama manusia sama arti dan nilainya dengan mengasihi Allah.

Dari situ dapatlah dikatakan bahwa semua orang, terlepas dari apapun agamanya, sudah mengikuti perintah Yesus ketika mereka melaksanakan hukum kedua dari Hukum Kasih itu. Secara anonim, mereka semua sudah menjadi pengikut ajaran Yesus alias menjadi Kristen. Mereka sudah bersifat kristiani.

4. Memahami Alkitab

Benarkah pemahaman yang saya ajukan di atas? Demikiankah yang dimaksudkan oleh para penulis Alkitab?

Belum tentu!

Membaca Alkitab memang mudah. Tetapi memahami apa yang hendak disampaikan oleh Alkitab bukanlah persoalan gampang. Apalagi untuk menarik kesimpulan kebenaran atas pembacaan kita tersebut.

Bukannya satu-dua kali saya berhadapan dengan orang yang mengajukan kata-kata pamungkas "Roh Kudus yang membimbing saya" saat kami berbeda pendapat mengenai suatu makna dalam Alkitab. Jika sudah demikian, saya pikir hanya akan sia-sia saja jika saya lanjutkan diskusi dengannya. Arogansi semacam itulah yang membuat agama Kristen terpecah-belah menjadi puluhan ribu denominasi. Semua beranggapan bahwa pandangannyalah yang paling benar dalam nama Roh Kudus.

Itu sebabnya diperlukan eksegese yang bukan "sekedar" mengandalkan penerangan Roh Kudus yang —menurut saya— malah bisa menjerumuskan ke dalam mistisisme fatalistis. Bukannya maksud saya menafikan peran Roh Kudus, melainkan perlunya kita bersikap jujur dan terbuka disamping pemahaman terhadap metodologi eksegese.

Hingga saat ini, metode eksegese terus berkembang, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan dinamika dan budaya manusia. Dengan demikian, eksegese dapat dilangsungkan dengan lebih komprehensif sehingga kita bisa melihat benang merah yang menjembatani semua bagiannya, sekaligus menghubungkan konteks masa lalu (saat Alkitab ditulis) dengan konteks masa kini. Dari situlah kita bisa menemukan hakikat yang disampaikan, bukan sekedar makna literalnya saja.

Adalah sebuah kesombongan untuk menganggap kemampuan kita memahami Alkitab sudah benar dan sangat mencukupi sehingga tidak mau mendengarkan pendapat orang lain yang memiliki kompetensi dan dedikasi di bidang itu, apalagi jika pemahaman tersebut berbeda dengan kita.

Walau [hingga kini] tidak ada manusia yang bisa mengklaim bahwa pemahamannya adalah yang paling benar, kita perlu menghargai upaya para pakar yang sudah mendedikasikan hidup, pengetahuan, dan kebijaksanaannya dalam memberikan wawasan tentang Alkitab. Kecuali jika diberi anugerah khusus oleh Allah, kita —selaku kaum awam— tidak memiliki kompetensi sebaik mereka, sehingga menjadi "salib" kitalah untuk menerima buah karya mereka.

Oleh sebab itu, kita tidak bisa menafikan adanya pendapat-pendapat lain yang memberi tafsir berbeda dengan pemahaman kita dengan dalih bahwa semua itu adalah "teori manusia". Pada kenyataannya, semua hal yang dihasilkan dari teologi (termasuk di dalamnya hermeneutika) adalah hasil akal-budi manusia dalam memahami pesan Alkitab. Bahkan, kita sangat memerlukan pendapat yang berbeda dengan pendapat kita guna menguji apa yang sudah kita miliki.

Tentu saja tidak semua pemahaman itu harus diterima sehingga malah membingungkan kita. Alkitab mengajarkan kita untuk menguji segala sesuatu, termasuk menguji semua roh, sehingga kita tidak dengan gampang mengklaim bahwa semua itu berasal dari Roh Kudus.

sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu.
— 1 Korintus 3:13

Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.
— 1 Tesalonika 5:21

Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu—yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api—sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.
— 1 Petrus 1:7

Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia.
— 1 Yohanes 4:1

Kadang kita tidak bisa membedakan eksegese dengan eisegese yang hanya bermaksud membenarkan apa yang sudah dipercayainya saja. Cara penafsiran semacam itulah yang akan melahirkan fundamentalisme.

— Sabtu, 11 Oktober 2003 06:46
[revisi: Kamis, 29 Desember 2005 01:57]

From: Parlindungan
To: hkbp@yahoogroups.com
Sent: Friday, 10 October 2003 06:13
Subject: Re: Lagi... Soal keselamatan (was: Re: [hkbp] Re: [debat-alkitab] Kesaksian : DR.SUN YAT SEN)

Iman dan keselamatan adalah pemberian Allah. Lae dan saya sudah tidak berharga di mata Tuhan dan sudah kehilangan kemuliaan Allah(baca Roma 3 : 23). Sehingga untuk BERUSAHA sampai kepada Tuhan merupakan hal yang mustahil, ada jurang pemisah antara kita dengan Allah, bahkan perbuatan baikpun tidak. Iman yang kita miliki juga bukan karena usaha atau potensi kita melainkan anugerah Roh Kudus. Roh Kuduslah yang menumbuhkan dan menggerakkan iman seseorang untuk melihat dan menerima anugerah keselamatan tersebut. Ayat yang saya maksud dalam posting saya terdahulu, tanpa dieksposisi lebih jauh juga sudah sangat jelas. Tapi okelah saya akan coba meng-eksegesenya dalam posting tersendiri.

Ayat-ayat dalam Alkitab tidak berkontradiksi, pemahaman kita yang kurang dan sepotong-potonglah yang membuat kita melihatnya seolah-olah berlawanan. Apalah dengan mencampuradukan pendapat-pendapat luar (teori manusia) untuk memaksakan penafsiran ayat yang ada.

salam,
Parlin

# catatan kaki